Rabu, 16 November 2011

HERMENEUTIKA HUKUM


Pada abad ke-19 dan khususnya pada paruh kedua dari abad itu, terdapat sebuah pandangan yang sangat berpengaruh tentang cara bagaimana putusan – putusan kehakiman harus terbentuk, menempati posisi sentral. Di Belanda, pandangan tentang penemuan hukum ini dikaitkan dengan legisme, aliran pemikiran dalam teori hukum yang mengidentikan hukum dengan undang – undang. Gagasan bahwa penemuan hukum seyogianya harus memiliki karakter yang sangat formalistik atau logikal, juga ditekankan oleh sebuah aliran teori hukum lain yang dinamakan begriffsjurisprudenz aliran ini dianut dinegara – negara Germania pada abad ke-19. Legisme dan model penemuan hukum mendominasi di abad ke-19, namun pada akhir abad ke-19, reaksi yang semakin gencar menentang legisme menyebabkan aliran ini pada akhirnya kehilangan penganut. Berbagai faktor melatarbelakangi pemunculan reaksi demikiann diantaranya gambaran teoritikal tradisional tentang pekerjaan hakim ternyata tidak sesuai dengan praktik penemuan hukum oleh hakim. Demi alasan politik, diperjuangkan pemunculan bentuk atau cara penemuan hukum lain yang lebih bebas.
Teori penemuan hukum hukum pada masa kini mencakup, berbeda ketimbang pada masa legisme, berbagai teori bagian. Teori tersebut ditengarai dengan kemajemukan dalam sudut pandang dan landasan pemahaman yang dipergunakan. Masing – masing pendekatan seringkali hanya menampilkan satu aspek khusus dari penemuan hukum, misalnya hubungan antara hakim, fakta dengan kaidah, interpretasi dari teks – teks dan fakta – fakta oleh hakim dari sebuah masyarakat politik tertentu, pembagian dua dalam proses penemuan hukum dan “motivering” putusan – putusan.
Pengakuan bahwa hakim memiliki peran tersendiri (memiliki kontribusi sendiri) pada pembentukan putusan – putusan hukum, dan tidak lagi dapat dipandang sekedar sebagai pejabat yang hanya menerapkan undang – undang (penerap undang - undang) saja, sangat bermakna bagi pemikiran tentang penemuan hukum. Pengakuan demikian, antara lain, yang memunculan pembedaan antara faktor – faktor otonom dan heteronom di dalam kegiatan penemuan hukum.
Pada perkembangan dalam teori penemuan hukum, muncul beberapa pandangan – pandangan. J. A Pontier menjabarkan beberapa pandangan, dengan tidak mengurangi pentingnya pandangan yang lainnya dalam hal ini saya sangat tertarik mengulas perkembangan pada orientasi ulang terhadap penemuan hukum, tentang pandangan terhadap hubungan hakim fakta, dan kaidah dengan menggunakan metode pendekatan hermeneutik.
Menurut J.A Pontier pada abad ke-19 dan permulaan abad duapuluh, dalam teori hermeneutik sudah ditekankan pemahaman bahwa manusia tidak mungkin pernah mengenal suatu objek ataupun teks secara murni (dalam kemurniannya), tetapi sebaliknya, bahwa verstehen (memahami) hanya mungkin terjadi berlandaskan sudut pandang (optik) tertentu. Dalam pendekatan hermeneutik terhadap penemuan hukum ini, pengertian lingkaran “hermeneutikal” dipandang mempunyai arti penting untuk mengungkapkan kembali apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh hakim. Hakim, masih terperangkap dalam suatu lingkaran khusus. Ia menetapkan makna dari rumusan kaidah hukum, tidak hanyak beranjak dari suatu tradisi bahasa tertentu, melainkan juga dengan memperhatikan fakta – fakta yang dipandangnya relevan. Namun fakta – fakta tersebut diseleksi oleh hakim  dengan mengacu pada makna yang ia kaitkan pada kaidah tersebut. Terdapat hubungan timbal balik antara fakta dan norma (kaidah) yang ke dalamnya hakim melibatkan diri. Isi apa dan makna apa yang hendak diberikan pada fakta dan kaidah akan tergantung pada sudut pandang (optik) mereka yang mempelajarinya. Penemuan hukum yang dilakukan dengan beranjak dari wawasan hermeneutikal selalu bersifat perspektivistik. Hakim menentukan relevansi fakta – fakta tertentu yang ada dan makna rumusan kaidah – kaidah dengan berangkat dari suatu vorverstandnis tertentu. Melalui vorverstandis tersebut, gagasan atau pandangan tentang keadilan dan pandangan – pandangan tentang kemanfaatan (fungsionalitas) memainkan makna.
Sudut pandang hermeneutikal ini mengubah pandangan – pandangan tentang penemuan hukum pada abad duapuluh. Dalam pendekatan hermeneutikal dewasan ini tekanan diberikan pada pandangan bahwa hakimlah yang hingga derajad tinggi mengkonstruksikan sendiri ruang lingkup makna kaidah – kaidah hukum serta relevansi yuridikal dari fakta – fakta, juga jika ia pada waktu melakukan konstruksi itu mencari pertautan pada pandangan atau perkembangan pemikiran tentang hukum di dalam masyarakat. Dewasa ini dalam pemikiran hermeneutikal abad duapuluh juga memuat kritik terhadap hermeneutikal yuridik abad sembilan belas yang didalamnya diuraikan bahwa dengan bantuan metode – metode interpretasi yuridikal, makna yang sebenarnya dari suatu teks dapat ditetapkan. Berbeda dengan itu, dalam pemikiran hermeneutikal kontemporer, dianggap bahwa metode – metode interpretasi itu hanya sekedar sarana – sarana bantu untuk memaknakan suatu teks atau fakta tertentu. Hal menginterpretasi teks – teks dan fakta – fakta dalam kenyataan sesungguhnya adalah suatu tindakan yang terikat erat pada subjeknya (pelaku interpretasi itu).
Menurut Bernard Arief Sidharta, dikutip dalam Jazim Hamidi, mula pertama hermeneutika itu dikembangkan adalah sebagai metode atau seni untuk menafsiran teks, supaya dapat memahami isi dari naskah (teks) kuno.
Ibnu Arabi mendefinisikan teks sebagai wahyu Allah yang tidak memerlukan interpretasi apapun. Dalam dunia penafsiran Injil, teks juga merujuk kepada wahyu yang tertuang dalam kitab suci. Dalam kajian semiotika atau komunikasi teks sering dimaknai berkaitan dengan tanda atau simbol – simbol budaya tertentu. Sedangkan  Ali Harb berpendapat, teks mempunyai gagasan (rancangan) dan dunianya sendiri, sebagaimana dikatakannya, dunia teks membutuhkan perhatian, dengan tanpa mentransformasikan kepada pengarangnya dan dunia luar. Menurut Ali Harb, teks mempunyai gagasan (rancangan) dan dunianya sendiri. Sebagaimana dikatakan olehnya, dunia teks membutuhkan perhatian, dengan tanpa mentransformasikan kepada pengarangnya dan dunia luar. Dalam logika kritik, teks terlepas dari pengarangnya dan terlepas dari acuannya, agar dapat menyuguhkan dunia wacana yang memiliki kebenaran dan keadilan dari semua yang ada. Lebih lanjut Ali Harb mengatakan teks adalah wacana yang sempurna setelah diakui dan diresmikan (formalkan).
Bagi pemikiran hukum alam, teks hukum tidak sebatas kepada apa yang diformalkan semata – mata, namun terlihat bahwa teks lebih luas makna dan pengertiannya dengan menunjuk kepada realitas alam, atau Tuhan dalam melihat hukum. Bagi pandangan Thomas Aquinas misalnya saja dijelaskan mengenai hukum yang bersifat irasional dan rasional tentang lex aeterna, Lex Divina, Natural dan Lex Positif, adalah rangkaian teks yang bersifat gradasi, dimulai tentang teks yang ditulis Tuhan dan diturunkan kepada manusia melalui Kitab sucinya. Pandangan Ricoeur, bahwa undang – undang merupakan pengertian bahasa dalam pengertian event dan bukan dalam pengertian meaning, karena dalam  pengertian meaning, hermeneutika tidak terlalu diperlukan karena ujaran yang disampaikan masih terikat kepada pembicara, dan makna yang tekandung di dalamnya dapat dipahami dengan merujuk langsung kepada intonasi maupun gerak isyarat dan si pembicara.
Dalam perkembangan ilmu hukum di inggris, menurut Peter Goodrich, sejarah hermeneutika hukum mulai berkembang sejak abad ke – 16.Paradigma hermeneutika dalam ilmu hukum, menurut C.W Maris mengalami perkembangan pesat dan signifikan baru di era abad ke-20. Dimana hermeneutika hukum hadir mengambil posisi tengah antara dua tendensi (kecendrungan) yang saling berlawanan dan inhern dalam pandangan dunia secara ilmiah atau pandangan ilmiah tentang dunia (scientific worldview,  wetenshappelijke wereldbeeld) yaitu : antara “tendensi nihilistik” dengan “tendensi emansipatorik” di satu pihak. Di pihak lain, hermeneutika hukum juga berada pada posisi antara aliran filsafat “positivisme Logikal” dengan “ Rasionalisme Kritikal”.
Kata hermeneutics berasal dari turunan kata benda “hermeneia” (bahasa yunani), yang secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘penafsiran’ atau ‘interpertasi’. Dalam kosa – kata kerja, ditemukan istilah “hermeneuo” dan/atau “hermeneuein”.hermeneuo artinya ‘mengungkapkan pikiran – pikiran seseorang dalam kata – kata’; dan hermeneuien bermakna ‘mengartikan’, ‘ menafsirkan’ atau ‘menerjemahkan’ dan juga ‘bertindak sebagai penafsir’.
Hermeneutika dalam sejarah pertumbuhannya mengalami perkembangan dan perubahan – perubahan persepsi dan model pemakaiannya, sehingga muncul keragaman pendefinisian dan pemahaman terhadap hermeneutika itu sendiri. Terminologi hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab pertama kali dimunculkan sekitar abad 17-an oleh J.C Dannhauer dalam bukunya “Hermeneutica Sacra Siva Methodus Expondarum Sacrarum Litterarum”. Meskipun sebenarnya kegiatan penafsiran dan pembicaraan tentang teori – teori penafsiran, baik itu terhadap kitab suci, sastra maupun dalam bidang hukum, sudah berlangsung sejak lama.
Setelah hermeneutika mengalami beragam pendifinisian di tangan beberapa tokoh, dari mulai pengertian sebagai teori penafsiran konvensional sampai merupakan bagian dari metode filsafat, kemudian muncullah seorang tokoh bernama Paul Ricoeur yang menarik kembali diskursus hermeneutika kedalam kegiatan penafsiran dan pemahaman teks (textual eksegesis). Lebih lanjut dia mengatakan, hermeneutika adalah teori mengenai aturan – aturan penafsiran, yaitu penafsiran terhadap teks tertentu atau sekumpulan tanda atau simbol yang dianggap sebagai teks.
Hans-Georg Gadamer dalam bukunya “Truth and Method” mengilustrasikan secara singkat, bahwa pada mulanya hermeneutika berkembang antara lain dibawah pengaruh inspirasi Ilmu Hukum. Sebagaimana diresepsi oleh Kodifikasi Yustisianus (Corpus Iuris Iustiniani) dari abad keenam sesudah kristus. Di Italia pada abad ke-12 timbul kebutuhan pada suatu metode yang membuat teks – teks yuridikal yang berlaku dari suatu periode historitikal terdahulu lewat interprestasi dapat ditetapkan utnuk suatu jenis (tipe) masyarakat yang sama sekali berbeda. Dikemudian hari, hermeneutika diperluas dari penafsiran teks menjadi suatu metode untuk dapat menginterprestasi perilaku manusia pada umumnya. Jadi titik tolak dari hermeneutika (hukum) adalah kehidupan manusiawi dan produk – produk kulturalnya (termasuk teks – teks yuridikal).
Drucilla Corneel menempatkan hermeneutika / interpretasi hukum secara benar – benar baru dan lebih jelas, Corneel menilai bahwa hermeneutika hukum itu termasuk kelompok Studi Hukum Kritis (Critikal Legal Studies (CLS) movement), yang tergolong indeterminasi tesis kedepan dengan menyimpulkan prinsip – prinsip politik dan etis. Cornel juga menenteng mereka yang menganggap hermeneutika / interpretasi hukum sebagai sebuah penemuan atau apropriasi pemisahan masa lalu dari visi keadilan kontemporer.
Hermeneutika hukum sangat berperan penting dalam implementasi bagi hakim dalam penemuan hukum dengan tidak mengesampikan pendekatan hukum lain. Sebagaimana yang saya kutip dalam Jazim Hamidi, penemuan hukum tidak semata – mata hanya penerapan peraturan hukum terhadap peristiwa konkret, tetapi sekaligus penciptaan hukum dan pembentukan hukum. Memang dalam sejarahnya hermeneutika hukum diartikan atau didefinisikan berbeda, keberadaan hermeneutika hukum menjadi sangat penting bagi penegak hukum lainnya, baik polisi yang sebagai berhadapan langsung dengan fakta, jaksa, ataupun hakim, karena keberadaan peradilan sesungguhnya mencari kebenaran, yang dalam pencarian kebenaran itu diperlukan pendekatan hermeneutika ataupun pendekatan lain.


J.A. Pontier, 2008, Penemuan Hukum, Penerjemah B. Arief Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung
Jazim Hamidi, 2011, Hermeneutika Hukum, Edisi Revisi, UB Press, Malang
Anthon F. Susanto, 2010, Dekonstruksi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar