Rabu, 16 November 2011

TEKNIK PENEMUAN HUKUM DENGAN METODE INTERPRETASI GRAMATIKAL

Sebelum menjelaskan penemuan hukum dengan metode interpretasi gramatikal atau interpretasi bahasa, perlu disini saya menjabarkan beberapa metode penemuan hukum menurut J. A Pontier dalam bukunya "Rechtsvinding", yaitu : 
1.       Metode Interpretasi
a.       Interpretasi gramatikal atau interpretasi bahasa
b.       Interpretasi sistematikal
c.       Interpretasi Sejarah undang – undang
d.       Interpretasi sejarah hukum          
e.       Interpretasi teleologikal
f.       Interpretasi antisipatif
g.      Interpretasi evolutif – dinamikal
2.      Penghalusan hukum (interpretasi restriktif dan ekstensif)
3.      Penalaran
4.      Penerapan atau penafsiran undang – undang secara rasional
5.      Menimbang – nimbang kepentingan

Machtel Boot menyatakan, “Every legal norm needs interpretation”, berarti bahwa setiap norma hukum membutuhkan interpretasi. Senada dengan Boot adalah van Bemmelen dan van Hattum yang secara tegas menyatakan “Elke geschreven”wetgeving behoeft interpretatie”. (Setiap aturan perundang – undangan tertulis membutuhkan interpretasi). Demikian pula Remmelink yang berpendapat bahwa sekalipun rangkaian kata – kata yang ditemukan dalam hukum pidana diberi bobot lebih berat dibandingkan dengan hukum keperdataan dan penerapan analogi tidak diterima dalam hukum pidana, pakar hukum pidana, terutama hakim pidana, tidak mungkin menerapkan perundang – undangan tanpa menggunakan penafsiran. Sementara Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa hukum tidak akan berjalan tanpa penafsiran, oleh karena hukum membutuhkan pemaknaan lebih lanjut agar menjadi lebih adil dan membumi. Membuat hukum adalah suatu hal dan menafsirkan hukum yang sudah dibuat merupakan keharusan berikutnya.
Dalam kaitannya dengan penafsiran, mengemukalah suatu pertanyaan mendasar apakah antara penafsiran hukum dan pembuat hukum ada secara ketat dan tajam ataukah tidak. Jawaban atas pertanyaan tersebut membawa konsekuensi perbedaan aliran dalam penafsiran hukum. Jika antara penafsiran hukum dan pembuatan hukum harus dipisahkan secara ketat dan tajam, maka penafsiran hukum akan ditempatkan pada kedudukan di bawah pembuatan hukum. Berarti penafsiran hukum tidak boleh melampui batas – batas yang sudah dibuat oleh pembentuk undang – undang. Jawaban ini melahirkan aliran begrriffsjurisprudenz bersama yang lain seperti dogmatik hukum, normatif hukum, dan legal positivism yang menganggap teks hukum sebagai sesuatu yang memiliki otonom mutlak. Jika antara penafsiran hukum dan pembuatan hukum tidak dilakukan pemisahan secara ketat dan tajam, maka penafsiran hukum akan ditempatkan pada kedudukan diatas pembuatan hukum. Dalam hal ini, hukum hanya dianggap sebagai pedoman yang terkadang bisa ditepis. Jawaban ini melahirkan aliran realisme yang menolak memberi kekuasaan mutlak kepada pembentuk undang – undang untuk menentukan dan merumuskan arti sesuatu. Esensi dari aliran realisme ini adalah ketidakbisaan kita menerima peraturan yang dirasa tidak adil dan karena itu kita memilih melakukan pembebasan, keluar dari lingkaran peraturan yang ada.
Interpretasi gramatikal atau interpretasi bahasa, menurut J.A Pontier, sebuah kalimat dapat memainkan peranan penting pada penentuan makna dari sebuah teks undang – undang. Jika hakim berusaha memahami makna teks yang didalamnya kaidah hukum, dinyatakan dan dalam hal ini bertolak dari makna menurut pemakaian bahasa yang biasa (sehari - hari) atau dari makna teknik yuridikal yang sudah dilazimkan. Hakim misalnya menyesuaikan diri pada konvensi – konvensi kemasyarakatan tentang sebuah pemakaian kata tertentu atau pada konvensi – konvensi dari para hakim, pembentuk undang – undang dan doktrin. Hakim dalam sebuah putusan dapat juga secara eksplisit menyatakan arti dari teks undang – undang menurut pemakaian bahasa yang biasa atau menurut arti teknik yuridikal yang sudah lazim. Teks Harafiah undang – undang bagi hakim merupakan salah satu dari titik taut paling penting dalam penemuan hukum, pemakaian bahasa atau makna teknik yuridik yang lazim selalu akan menjadi titik tolak pada pembacaan teks dari undang – undang.
Mikhail Bhaktin, Goodrich menggambarkan bahasa hukum sebagai bahasa yang dapat memiliki makna atau arti yang berbeda – beda dan sangat ditentukan oleh konteks sosial (dialog sosial). Bahasa hukum menerjemahkan realitas sosial ke dalam peristilahannya sendiri dalam rangka mengontrolnya, sehingga terbuka bagi manipulasi yang disengaja, yakni bagi beraneka ragam pengunaan. Istilah – istilah hukum, seperti kewajiban, keharusan, badan hukum dan lainnya dapat diterapkan dengan berbagai macam cara yang luas cakupannya, dan ini berarti bahasa hukum bersifat lebih retoris daripada sekedar sebagai sebuah peraturan, artinya bahasa hukum merupakan sebuah retorika yang dibungkus logika.
Menurut Sudikno, Hukum memerlukan bahasa. Hukum tak mungkin ada tanpa bahasa. Oleh karena itu bahasa merupakan sarana penting bagi hukum: peraturan perundang – undangan dituangkan dalam bentuk bahasa tertulis, putusan pengadilan disusun dalam bahasa yang logis sistematis, untuk mengadakan perjanjian diperlukan bahasa. Untuk mengetahui makna ketentuan undang – undang maka ketentuan undang – undang itu ditafsirkan atau dijelaskan dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari – hari. Disini arti atau makna ketentuan undang – undang dijelaskan menurut bahasa umum sehari – hari.
Sutjpto Rahardjo sebagai pejuang hukum progresif menyatakan, Sejak menjadi hukum dalam bentuk teks, maka bahasa mengambil peranan utama. Hukum adalah sesuatu yang berbentuk kebahasaan (talig, Belanda) atau sebuah languange game. Tanpa disadari atau disadari, cara berhukumpun sudah memasuki dimensi baru, yaitu berhukum dengan/melalui skema. Panggung hukumpun sudah bergeser dari dunia nyata ke dunia maya yang terdiri dari kalimat dan kata – kata. Pergeseran tersesebut juga dapat dimaknai sebagai sebuah perkembangan dari sesuatu yang utuh menjadi sesuatu yang direduksi. Setiap kali membuat rumusan tertulis, maka setiap kali itu pula kita mereduksi suatu gagasan yang utuh kedalam tata kalimat. Membuat hukum tetulis adalah tidak sama dengan memindahkan realitas secara sempurna kedalam teks, sehingga terjadi padanan yang sempurna, melainkan “menterjemahkan kenyataan tersebut dengan kalimat”. Kalimat – kalimat ini mereduksi sesuatu gagasan yang utuh menjadi skema, kerangka atau skeleton. Manusia yang semula utuh telah didefinisikan kembali menjadi satu skema. Dalam proses perumusan tersebut pasti ada aspek – aspek yang terseser. Pencurian yang konon dalam komunitas jawa ada lebih dari sepuluh macam (misalnya, maling, jambret, copet, ngutil, dan lain sebagainya) didefinisikan kembali menjadi “barang siapa yang mengambil barang orang lain”. Sebuah potret pencurian yang penuh telah direduksi menjadi sebuah konstruksi bahasa.
Apabila semula berhukum itu berkaitan dengan masalah keadilan atau pencarian keadilan, maka sekarang kita dihadapkan kepada teks, pembacaan teks, pemaknaan teks. Sejak hukum itu berubah dari substansi keadilan dan hidup berkeadilan menjadi teks, skema, kebahasaan, maka kita berharapan dengan substansi pengganti (surrogate), bukan lagi barang asli. Di sini kita tidak lagi membicarakan “hukum sebenarannya”, melainkan “mayat – mayat hukum”. Berhukum yang didasarkan pada teks memiliki kecenderungan kuat untuk berhukum secara kaku dan regimentatif. Cara berhukum yang demikian itu, apa lagi yang sudah bersifat eksesif, menimbulkan berbagai persoalan besar, khususnya dalam hubungan dengan pencapaian keadilan. banyak hala yang tidak terwadahi dalam teks tertulis, seperti suasana dan kebutuhan – kebutuhan yang ada pada suatu saat, serta moral yang dipeluk masyarakat pada suatu kurun waktu tertentu, tidak mungkin terekam dalam teks hukum tersebut.
Menurut saya, teknik penemuan hukum dengan metode interpretasi gramatikal atau interpretasi bahasa dari pendapat para ahli secara umum sama, karena mereka mencoba menguraikan esensi original penemuan hukum, namun pendapat Sutjipto Rahardo lebih mengkritisi undang – undang sebagai skema yang dalam bentuk teks. Saya sependapat dengan beliau, tetapi hukum itu harus nyata, dapat dirasakan dengan panca indera karena dengan begitu hukum tidak berada pada tempat yang asing dan tidak diakui eksistensinya, sehingga kepentingan individu tidak terlindungi, dengan adanya teks undang – undang maka jaminan kepastian hukum kepada seluruh lapisan masyrakat terjamin dengan tidak mengurangi atau tidak membatasi pembentukan hukum, penggalian hukum, penghalusan hukum ataupun penemuan hukum. Upaya dalam mengaplikasikan metode interpretasi gramatikal ini harus dititik beratkan kepada polisi karena merekalah yang terlibat langsung dengan masyarakat, dengan tidak mengurangi esensi aslinya bahwa penemuan hukum oleh polisi dengan mengaplikasikan metode interpretasi gramatikal bertujuan untuk penajaman hukum agar tercapai keadilan dalam masyarakat. Tidak bisa dipungkiri dan tidak bisa dihindari hukum sebagai skema harus kita jalankan, karena secara konstitusi Indonesia mengakui sebagai negara hukum, maka peraturan perundang – undangan adalah pelindung bagi masyarakat luas, oleh karena bahasa sehari – sehari masyarakat diterjemahkan kedalam peraturan perundang – undangan, maka metode interpretasi gramatikal harus dipahami dan disadari oleh aparat penegak hukum terutama polisi sebagai pintu gerbang peradilan.



Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta
Anthon F. Susanto, 2010, Dekonstruksi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta
Sudikno Mertokusumo, 2010, Penemuan Hukum, Universitas Atmajaya, Yogjakarta
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakkan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar