Sabtu, 08 Desember 2012

OPTIMALISASI ADVOKASI


Munculnya gerakan hukum kritis menjadi ksatria ditengah ketidakberdayaan kaum marjinal terhadap kapitalisme yang tak terbendung di era modern ini, sehingga diharapkan mampu melumpuhkan dominasi positivisme yang kian perkasa. Perjalanan positivisme hukum banyak memakan korban, ketidakmampuan aparat penegak hukum memaknai hukum dengan hati nurani menjadikan keadilan dan kemanfaatan hukum dikorbankan demi mencapai kepastian hukum. Lembaga peradilan yang seharusnya independen sudah terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan, masyarakat tidak memiliki kepercayaan lagi terhadap negara, keadaan kini semakin diperparah oleh lembaga-lembaga negara yang saling berbenturan. Diperlukan perubahan yang radikal terhadap tatanan yang sudah sedemikian kacau, salah satunya adalah advokasi(advocate), mempengaruhi para pembuat kebijakan, putusan pengadilan serta membentuk, merubah dan mempengaruhi paradigma untuk mendesak terjadinya perubahan.
Advokasi harus diletakkan dalam konteks mewujudkan keadilan social, yaitu advokasi yang meletakkan korban kebijakan sebagai subjek utama.Kepentingan merekalah yang justru yang harus menjadi agenda pokok dan penentu arah suatu kegiatan advokasi. Hanya dengan demikian maka suatu kegiatan advokasi tidak lagi menempatkan organisasi, misalnya ornop, menjadi ‘pahlawan’ dan ‘bintang’, melainkan suatu proses yang menghubungkan antarberbagai unsur progresif dalam masyarakat warga (civil society), melalui terbentuknya aliansi – aliansi strategis yang memperjuangkan terciptanya keadilan social dengan cara mendesakkan terjadinya perubahan – perubahan kebijakan publik.Tujuan atau sasaran akhir advokasi adalah terjadinya perubahan peraturan atau kebijakan (policy reform) dengan kata lain, advokasi sebenarnya perupakan upaya untuk memperbaiki atau merubah suatu kebijakan public sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka yang mendesakkan terjadinya perbaikkan atau perubahan tersebut.
Menurut Soetrisno, ada beberapa permasalahan dan hambatan yang menjadi penyebab lemahnya masyarakat sipil (civil society) di Indonesia. Pertama, kebanyakan keberadaan masyarakat sipil tidak otonom.Kedua, aparat pemerintah tidak sensitive terhadap kritik dan pikiran alternative dari masyarakt sipil (civil society). Ketiga, lemahnya partai politik dan pers sebagai wahana masyarakat untuk berperan serta dalam proses pengambilan keputusan public.
Pemberdayaan berdasarkan pada prinsip pemihakan kepada kelompok masyarakt marjinal, tertindas, dan mereka berada pada lapisan bawah struktur sosial. Orang yang terlibat dalam pemberdayaan merupakan orang yang berkepentingan terhadap proses perubahan, yakni perubahan keadaan kaum tertindas yang telah diabaikan harkat dan martabatnya menjadi lebih baik dan menjadi lebih berdaya. Namun kaum tersebut, tidak memiliki kapasitas untuk memahami dan menyadari problem yang dihadapi maupun mengambil tindakan untuk mendorong terjadinya perubahan.Dengan demikian, usaha pemberdayaan dalam konteks ini dimaksudkan untuk mentransformasikan kesadaran rakyat sehingga dapat ambil bagian secara aktif mendorong perubahan.Oleh karena itu, pemberdayaan dimaksudkan untuk memampukan rakyat mempunyai posisi dan kekuatan tawar – menawar sehingga mampu memecahkan masalah dan mengubah posisinya.Pemberdayaan bukan semata – mata diarahkan pada upaya perbaikan kualitas hidup rakyat dalam konteks ekonomi, tetapi juga dalam pengambilan keputusan.
Untuk mencapai hal itu diperlukan suatu strategi, yakni jalan untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini pengembangan strategi membutuhkan (1) suatu pengetahuan yang menyeluruh, kritis, dan objektif mengenai kekuatan penghalang perubahan dan juga peta seluruh kekuatan internal termasuk analisis data dengan kejujuran kekuatan internal yang dimiliki; dan (2) suatu susunan langkah yang akan diambil sehubungan dengan tujuan yang ingin dicapai dikaitkan dengan kenyataan yang ada mengenai “kekuatan penghalang perubahan”.Dalam hal itu, suatu strategi yang baik tidak ditentukan oleh hasil kerja individual melainkan oleh suatu hasil kerja bersama, terutama untuk memperoleh data akurat tentang masalah social yang menjadi tujuan perubahan dan kekuatan strategi yang biak harus didasarkan pada pengetahuan yang akurat. Jika tidak, strategi tersebut hanya merupakan dogma atau impian yang dapat mengakibatkan kehancuran.
Dalam pemberdayaan, berbagai teknik dapat dipergunakan, antara lain (1) agitasi, provokasi, dan propaganda, (2) infiltrasi, dan (3) pengorganisasian.Agitasi merupakan upaya untuk mengungkapkan atau membongkar bagian – bagian yang terselubung (diselubngkan).Provokasi, provokasi merupakan bentuk tindakan agitasi yang bertujuan merangsang atau memberi stimulasi kesadaran kritis. Propaganda merupakan suatu metode penyebar luasan doktrin, prinsip, dan lain – lain yang bersifat relijius maupun seluker. Infiltrasi adalah cara masuk dan bekerja di tempat musuh.  Pengorganisasian dimaksudkan untuk memperkuat rakyat sehingga mampu mandiri dan mengenali berbagai persoalan yang ada dan dapat mengembangkan jalan keluar.



Referensi : Rachmad Safa’at, 2011,  Advokasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Latar Belakang, Konsep dan Implementasinya, Surya Pena Gemilang, Malang.

BIROKRASI DAN MODERNISASI

Berangkat dari teori paternalisme, negara diibaratkan sebagai orangtua yang menentukan arah anak, anak disini yaitu warga negara, negara mempunyai otoritas mengatur dan memaksa setiap warga negaranya, negara diberikan kekuasaan oleh undang-undang melalui fungsi eksekutif, yudikatif dan legislatif, sesuai teori yang ajarkan oleh Montesque. Kegagalan orangtua mendidik anak menjadikan rumah tangga yang “gagal”, keadaan ini dianalogikan keadaan bangsa saat ini yang tak tentu arah, cita-cita bangsa sesuai pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sudah melenceng jauh, tidak sesuai ekspetasi pendiri bangsa.
Birokrasi merupakan alat administrasi negara, sebagai penggerak roda pemerintahan, namun masalah birokrasi sangat kompleks, berbicara tentang birokrasi maka tidak bisa terlepas dari “abuse of power”, sudah menjadi rahasia umum praktik birokrasi kita sangat kacau, dan bodohnya lagi kita membiarkan semua kebohongan di negara ini, kita semua tidak mampu melawan kebohongan, kesalahan, penyimpangan, kita mendukung semua kebohongan ini. Kebohongan-kebohongan itu memang nyata, dan kita tidak ada daya dan upaya untuk mengungkapnya, lagi-lagi data, semua harus berdasar data. Hasil pemikiran Descartes dan Newton yang mengagung-agungkan ilmu pengetahuan ini, membawa kita berpikir rasional, tidak ada kebenaran tanpa data.
       Sungguh memprihatinkan keadaan negara kita saat ini, membenarkan segala cara untuk mencapai kemanfaatan, hasil dari pemikiran Jeremy Bentham ini masih menjadi alat pembenar para penyelenggara negara kita. Kita sebagai warga negara melawanpun tak bisa, harus siap-siap menggali kuburan dan menulis surat wasiat, atau siapkan mental untuk berada dibalik jeruji besi, menyedihkan sekali rasanya, tidak bisa berbuat apa-apa. Kita semua seakan kompak untuk tidak melawan, lebih memilih diam dan aman daripada harus melawan arus, dan kita semua mau tidak mau, suka atau tidak suka, terima atau tidak terima, harus mengakui, bahwa kita semua penakut!!!
Tumbuh besar dan mengetahui kenyataan yang ada di negeri ini, harus diimbangi dengan belajar “menahan rasa sakit”, semakin kita tahu maka semakin besar kesakitan itu, kita sering mendengar ungkapan, “praktik tidak seperti teorinya”, itu adalah ungkapan favorite masyarakat dan para lulusan sarjana kita, sungguh menyedihkan, ini adalah termasuk kebodohan kultur kita, ketakutan kita dan pengecutnya kita, itulah permasalahannya, kekacauan dinegeri ini karena praktik tidak sesuai teorinya, tetapi hal ini masih menjadi warisan pemikiran. Kekecawaan terhadap penyelenggaraan hukum dinegara ini terkadang membuat akademisi kita pesimis, idealis dikampus, didunia kerja seolah-olah disuntik menjadi bisu, terjebak dalam lingkaran sistem, diam tak tenang apalagi bersuara, sehingga pantaslah kiranya generasi kita disebut generasi “tanpa arah”, negara ini sudah terlanjur terbawa derasnya aliran kapitalisme, negara kita dijadikan pasar oleh negara-negara maju, para remaja didoktrin melalui budaya, seni, fashion ala barat. Para penyelenggara negara ini menelanjangi semua aturan yang ada demi pembangunan ekonomi, mereka tidak bermoral, mereka tidak “punya hati”, pembangunan yang berprinsip sustainable development ditabrak demi mencapai nafsu serakah mereka.
Sejak meledaknya revolusi industri di Eropa dan seiring dampak yang dirasakan berbagai upaya dilakukan didunia Internasional, penataan ruang dimaksudkan untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup terhadap pembangunan ekonomi yang tidak bisa dielakkan, lebih-lebih Indonesia sebagai negara konsumen, negara yang memiliki populasi penduduk terbanyak ke empat, dan negara berkembang yang dalam hal ini mengejar pembangunan ekonomi melalui industri, tentu akan menghasilkan banyak limbah dan dampak lainnya masih terus berevolusi.
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 yang mengatur tata ruang serta Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 yang menggantikan undang-undang terdahulu, kemudian lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan merupakan sebuah langkah maju sebagai bentuk proteksi terhadap kualitas lingkungan yang semakin menurun.Namun, kelahiran kedua undang-undang ini belum mampu beradaptasi dengan kegiatan para birokrat dan korporat yang terlanjur akut, berbagai kalangan menilai lingkungan terus dieksploitasi, pertambangan, industri, perumahan, apartemen, ruko, hotel, semakin tumbuh pesat mengabaikan hak lingkungan hidup, hutan terus digunduli, sungai semakin tercemar, ruang terbuka hijau semakin menipis, rupanya pemerintah daerah sedang giat melakukan pembangunan ekonomi, hebatnya sebagian besar masyarakat tidak peduli malah ikut merayakan perusakan dan pencemaran lingkungan ini, sebagian besar masyarakat bangga dengan pembangunan yang dilakukan pemerintah tanpa mengerti untuk apa itu semua dibangun. Tetapi ada pula yang diam mengetahui semua kebohongan, penipuan, kesalahan, kejahatan yang ada dinegara ini. Merupakan sebuah dilema bagi negeri ini, disatu sisi harus memajukan perekonomian, sektor lainnya terabaikan, lebih lebih sektor lingkungan, untuk itulah lahirnya undang-undang penataan ruang, guna pengaturan ruang, karena pembangunan tidak bisa dihindari.
 Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 (amandemen ke empat tahun 2002) masih kalah perkasa apabila disandingkan dengan pembangunan ekonomi, konstitusi (UUD 1945) kitapun sangat didominasi oleh pengaruh ekonomi yang bisa dibilang demokrasi ekonomi, sehingga peraturan dibawahnya berpatokan terhadap undang-undang yang lebih tinggi.Otonomi daerah memang disatu sisi memakan korban yang jauh lebih mematikan, tujuan otonomi yang seharusnya memajukan perekonomian rakyat melalui optimalisasi peran daerah menjadi salah sasaran, pemerintah daerah berlomba-lomba mengekploitasi lingkungan, industri dibuka dimana-mana, rakyat tidak dilibatkan, penolakan tidak dihiraukan, perlindungan terhadap rakyat miskin hanyalah sebuah slogan politik untuk mendapatkan simpati serta menaikan popularitas partai atau individu.
Berbagai peraturan yang mengatur lingkungan hidup maupun peraturan perundang-undangan lainnya terus berkembang di negeri ini, tetapi, seperti yang dikatakan Prof.Siti Sundari Rangkuti dari Unair, hukum lingkungan hanya sebuah “macan kertas”, yang mengaum-ngaum dikertas dengan sanksi pidana yang berat, namun implementasinya jauh dari cita-cita “mewujudkan kesejahteraan rakyat”, para perusak dan pencemar lingkungan tidak terpengaruh terhadap undang-undang penatan ruang dan undang-undang lingkungan yang terus diperbaharui. Hukum lingkungan harus diakui sudah memiliki substansi yang bagus dalam melindungi dan mengelola lingkungan, begitu juga penataan ruang, hukum sudah cukup memproteksi, namun birokrasi, aparat penegak hukum tidak mampu mengimbangi kekuatan undang-undang serta tidak menggunakan moralitasnya untuk memahami undang-undang.

Jumat, 30 November 2012

KORUPSI VS MALADMINISTRASI


Sebagai sebuah negara hukum kesejahteraan yang dianut di Indonesia, maka tugas utama pemerintah untuk mewujudkan tujuan negara salah satunya melalui pelayananan publik. Namun, korupsi di negeri ini yang sudah tidak terbendung lagi, modus operandinya yang semakin beragam, pejabat birokrasi pemerintahan menjadi sorotan tajam pada saat ini, karena mereka sebagai pejabat publik yang menjalankan roda administrasi pemerintahan sangat rawan terhadap praktik-praktik korupsi. Perlu dipahami adalah pejabat birokrasi memiliki kewenangan yang dijamin oleh undang-undang dalam menjalankan admnistrasi pemerintahan, seringkali keputusan para pejabat birokrasi melampaui kewenangan yang diberikan undang-undang dan etika birokrasi, yang biasa disebut maladministrasi. Salah satunya adalah keputusan terhadap pemberian izin yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah mempunyai otoritas dalam pengelolaan lingkungan hidup dengan menerapkan izin lingkungan.
Perbuatan maladministrasi menurut Pasal 1 angka 3 UU Ombudsman (UU No. 37/2008) adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan public yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintah yang menimbulkan kerugian materiil dan atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan Komisi Ombudsman Nasional memberikan indicator bentuk-bentuk mal-administrasi, antara lain melakukan tindakan yang janggal (inappropriate), menyimpang (deviate), sewenang-wenang (arbitrary), melanggar ketentuan (irregular), penyalahgunaan wewenang (abuse of power), atau keterlambatan yang tidak perlu (undue delay), dan pelanggaran kepatutan (equity).
Pelaksanaannya, maladministrasi seringkali dibenturkan dengan tindak pidana korupsi, bahkan para penegak hukum sendiri masih kesulitan membedakan dan membuktikan perbuatan maladministrasi dan korupsi, karena perbedaan keduaanya sangat tipis, bahkan ada pula maladministrasi yang masuk kategori korupsi.
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1.  Kerugian keuangan negara
2.  Suap-menyuap
3.  Penggelapan dalam jabatan
4.  Pemerasan
5.  Perbuatan curang
6.  Benturan kepentingan dalam pengadaan
7.  Gratifikasi
Selain bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan diatas, masih ada tindak pidana lain yang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang pada UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Jenis tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi itu adalah:
1.  Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi
2.  Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
3.  Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
4.  Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
5.  Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu
6.  Saksi yang membuka identitas pelapor
Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Rumusan korupsi pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, pertama kali termuat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1971. Perbedaan rumusan terletak pada masuknya kata ”dapat” sebelum unsur ”merugikan keuangan/perekonomian negara” pada UU No. 31 Tahun 1999. Sampai dengan saat ini, pasal ini termasuk paling banyak digunakan untuk memidana koruptor. Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal ini, harus memenuhi unsur-unsur :
1.  Setiap orang;
2.  Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
3.  Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana;
4.  Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dalam membuat keputusan pemerintah harus memperhatikan syarat materiil dan syarat formil agar keputusan tersebut sah.  Dan setiap keputusan yang diambil harus mampu dipertanggungjawabkan.  Tanggung jawab jabatan berkenaan dengan legalitas (keabsahan) tindakan pemerintah. Dalam hukum adminitrasi, persoalan legalitas tindakan pemerintah berkaitan dengan pendekatan terhadap kekuasaan pemerintah. Tanggung jawab pribadi berhubungan dengan fungsional atau pendekatan perilaku dalam hukum administrasi. Tanggungjawab pribadi berkaitan dengan maladminitrasi dalam penggunaan wewenang maupun public service.
Istilah maladministrasi menurut laporan tahunan 1997 Ombudsman Eropa ”maladministration occurs when a public body fail to act in accordance with the rule or principle which is binding upon it” . Anton Sujata memperjemahkan maladminitrasi dengan penyimpang pejabat publik. Sementara Hadjon menelaah arti kata maladministrasi, kata dasar mal/ male dalam bahasa latin artinya jahat (jelek). Kata adminitrasi  artinya melayani dan dipadukan menjadi pelayanan jelek. Dengan  pengertian dasar tersebut, maladministrasi selalu dikaitkan dengan  perilaku dalam pelayanan yang dilakukan pejabat publik. Mal administrasi juga dapat diartikan adalah penyimpangan perilaku yang dilakkan oleh para adminitrator negara dalam praktek administrasi negara. Penyimpangan ini diukur dari standar nilai yang diakui sebagai etika administrasi negara. Nilai adalah aturan yang menuntun perilaku orang-orang sehingga dari sana orang tersebut dapat dikatakan apakah berperilaku baik atau buruk.
Karena sebagaian besar administrator negara adalah birokrat, maladministrasi bisa juga dikatakan sebagai mal praktek dalam birokrasi. Birokrasi disini dikonsepkan sebagai sekumpulan pegawai atau pejabat pemerintah. Maladministrasi secara lebih umum diartikan sebagai perilaku yang menyimpang atau melanggar etika adminstrasi dimana tidak tercapainya tujuan administrasi. Contohnya : Penundaan dan pelayanan berlarut, berlaku tidak adil, permintaan imbalan, penyalahgunaan wewenang. Pelaku Maladministrasi Publik adalah Pejabat Pemerintah pusat maupun daerah, Aparat Penegak Hukum, Petugas BUMN/BUMD dan Aparat Penyelenggaraan Negara lainnya.
Dari uraian dan penjelasan singkat diatas, saya berpendapat bahwa maladminstrasi bisa dikategorikan sebagai korupsi apabila memenuhi unsur-unsur pada pasal yang telah dijelaskan diatas, tetapi perbuatan maladminstrasi belum tentu perbuatan korupsi, perumusan tindak pidana korupsi haruslah memenuhi unsusr pasal Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, sanksi maladministrasi dapat berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana apabila itu merupakan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian materil negara yang dikategorikan korupsi, sedangkan tindak pidana korupsi berupa sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan.

Sabtu, 24 November 2012

ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA


Kritis Terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
            Munculnya gerakan hukum kritis menjadi ksatria ditengah ketidakberdayaan kaum marjinal terhadap kapitalisme yang tak terbendung di era modern ini, sehingga diharapkan mampu melumpuhkan dominasi positivisme yang kian perkasa. Perjalanan positivisme hukum banyak memakan korban, ketidakmampuan aparat penegak hukum memaknai hukum dengan hati nurani menjadikan keadilan dan kemanfaatan hukum dikorbankan demi mencapai kepastian hukum. Lembaga peradilan yang seharusnya independen sudah terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan, masyarakat tidak memiliki kepercayaan lagi terhadap negara, keadaan kini semakin diperparah oleh lembaga-lembaga negara yang saling berbenturan.
Alternative Dispute Resolution (ADR) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan beberapa macam istilah, seperti alternatif penyelesaian sengketa (APS), pilihan penyelesaian sengketa (PPS), mekanisme penyelesaian sengketa (MAPS), pilihan penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan berbagai istilah lainnya, merupakan suatu pilihan ditengah krisis kepercayaan terhadap lembaga peradilan saat ini.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan undang-undang yang lahir guna penyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, sebagai jalan alternatif yang bertujuan efisiensi waktu serta biaya atas proses peradilan umum yang dirasa memerlukan waktu yang lama sehingga menghabiskan biaya yang mahal. Peradilan umum diselenggarakan berdasar atas asas sederhana, murah, dan cepat, upaya arbitrase dan penyelesaian sengketa merupakan kelengkapan atas sistem peradilan dan sebagai jalan yang ditempuh untuk memangkas waktu dan biaya terhadap perkara perdata. Lahirnya undang-undang ini diharapkan menjadi acuan bagi para pihak yang bersengketa, sehingga tidak berorientasi kepada peradilan umum semata.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 (UU No. 30 Tahun 1999), walau berjudul Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), namun hampir keseluruhan isinya mengatur mengenai arbitrase, sementara pengaturan mengenai APS lainnya tidak dijabarkan secara detail. Pengaturan APS hanya dimuat dalam Pasal 1 angka 10 (definisi) dan Pasal 6. Selebihnya Undang-Undang ini mengatur mengenai Arbitrase. Mekanisme APS lainnya seperti konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli sangat minim dimuat dalam Undang-Undang ini. Bahkan pengertian dari masing-masing mekanisme APS tersebut tidak didefiniskan dalam Undang-Undang ini. Dalam Ketentuan Umum, hanya istilah Arbitrase yang didefinisikan secara tegas (Pasal 1 angka 1). Sedangkan istilah konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli tidak didefinisikan secara tegas namun hanya dicantumkan sebagai bagian dari APS (Pasal 1 angka 10)

Model Alternatif Penyelesaian Sengketa
Negosiasi, Mediasi, Konsultasi, Konsiliasi, atau Penilaian Ahli merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang tercantum dalam UU No. 30 Tahun 1999.
a.  Negosiasi
Negoisasi adalah komunikasi dua arah dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat keduabelah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama atau berbeda.
Keuntungan Negoisasi : Mengetahui pandanga pihak lawan; Kesempatan mengutarakan isi hati untuk didengar piha lawan; Memungkinkan sengketa secara bersama-sama; Mengupayakan solusi terbaik yang dapat diterima oleh keduabelah pihak; Tidak terikat kepada kebenaran fakta atau masalah hukum; Dapat diadakan dan diakhiri sewaktu waktu. Sedangkan kelemahan Negoisasi : Tidak dapat berjalan tanpa adanya kesepakatan dari keduabelah pihak; Tidak efektif jika dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang mengambil kesepakatan; Sulit berjalan apabila posisi para pihak tidak seimbang; Memungkinkan diadakan untuk menunda penyelesaian untuk mengetahui informasi yang dirahasiakan lawan; Dapat membuka kekuatan dan kelemahan salahsatu pihak; Dapat membuat kesepakan yang kurang menguntungkan.
b.  Mediasi
Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator). Dengan demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah). Dari pengertian di atas, mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan). Pada mediasi, para pihak yang bersengketa, datang bersama secara pribadi. Saling berhadapan antara yang satu dengan yang lain. Para pihak berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga yang netral. Peran dan fungsi mediator, membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi di antara para pihak. Dalam mencari kompromi, mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari kemenangan. Sebab kalau timbul gejala yang seperti itu, para pihak akan terjebak pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no the way). Manfaat yang paling mennjol, antara lain: Penyelesaian cepat terwujud (quick). Biaya Murah (inexpensive), Bersifat Rahasia (confidential), Bersifat Fair dengan Metode Kompromi, Hubungan kedua belah pihak kooperatif, Hasil yang dicapai WIN-WIN, Tidak Emosional.
c.   Konsultasi
Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan dalam  UU No. 30 Tahun 1999 mengenai makna maupun arti dari konsultasi. Jika melihat pada Black's Law Dictionary dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan konsultasi(consultation) adalah : Act of consulting or conferring : e.g. patient with doctor, client with lawyer. Deliberation of persons on some subject. Dari rumusan yang diberikan dalam Black's Law Dictionary tersebut dapat diketahui, bahwa pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut.
Didalam konsultasi, klien adalah bebas untuk menentukan sendiri keputusan yang akan ia ambil untuk kepentingannya sendiri, walau demikian tidak menutup kemungkinan klien akan dapat mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan tersebut. Ini berarti dalam konsultasi, sebagai suatu bentuk pranata alternative penyelesaian sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidak dominan sama sekali, konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.
d.  Konsoliasi
UU No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi. Bahhkan tidak dapat ditemui satu ketentuan pun dalam UU No. 30  Tahun 1999 ini mengatur mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dan Alenia ke-9 Penjelasan Umum Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tersebut.
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit dibedakan. Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini, yaitu konsiliasi lebih formal daripada mediasi. Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi. Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Dalam tahap pertama, (sengketa yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Kelebihan dari alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini hampir sama dengan mediasi yakni: cepat, murah, dan dapat diperoleh hasil yang efektif. Sedangkan yang menjadi kelemahan alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini adalah bahwa putusan dari lembaga konsiliasi ini tidak mengikat, sehingga sangat tergantung sepenuhnya pada para pihak yang bersengketa.
Kelemahan Undang-undang
Dalam Penjelasan Umum UU No. 30 Tahun 1999, tersirat pertimbangan filosofis pembentukan Undang-Undang ini, yaitu dalam rangka mengakomodir perkembangan dunia usaha dan lalu lintas di bidang perdagangan baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya. Bila ini yang menjadi dasar filosofis pembentukan UU No. 30 Tahun 1999 maka sebenarnya Undang-Undang ini belum sepenuhnya mengakomodir landasan filosofis dari diadakannya alternatif penyelesaian sengketa itu sendiri.
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 memakai nama “Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Namun substansinya lebih banyak mengatur tentang lembaga arbitrase, sedangkan untuk alternative penyelesaian sengketa yang lain (konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli) tidak diatur secara jelas dalam Undang-undang ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa Nama Undang-undang ini (Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa) tidak mencerminkan isi dari Undang-undang ini. Sehingga kedepannya pembentuk Undang-undang lebih memperhatikan dalam merumuskan nama yang tepat sesuai dengan substansi yang diatur dalam pembaharuan Undang-Undang ini dimasa yang akan datang.
Penafsiran sistematis pasal 1 angka 1 dikaitkan dengan Pasal 1 angka 10 UU No. 30 Tahun 1999 menunjukan bahwa Arbitrase dan APS adalah dua hal yang berbeda yang masing-masing berdiri sendiri. Dalam UU No. 30 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.” Sedangkan dalam Pasal 1 angka 10 dinyatakan bahwa “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.” Dengan demikian, Arbitrase merupakan suatu proses tersendiri yang secara tegas dibedakan dari APS yang hanya mencakup konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Campur tangan berlebih dari Pengadilan juga menyebabkan arbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bonafide (bonafid) atau jujur dan dapat dipercaya. Para pihak yang bonafid adalah mereka yang memiliki kredibilitas dan integritas, artinya patuh terhadap kesepakatan, pihak yang dikalahkan harus secara suka rela melaksanakan putusan arbitrase. Sebaliknya, jika ia selalu mencari-cari peluang untuk menolak melaksanakan putusan arbitrase, perkara melalui arbitrase justru akan memakan lebih banyak biaya, bahkan lebih lama daripada proses di pengadilan. Misalnya, pengusaha yang dikalahkan tidak setuju dengan suatu putusan arbitrase, maka ia dapat melakukan berbagai cara untuk mendapatkan stay of execution (penundaan pelaksanaan putusan) dengan membawa perkaranya ke pengadilan.
Dengan adanya campur tangan pengadilan pada dasarnya kompetensi absulot penyelesaian sengketa arbitrase menjadi rancu. Hal ini tentunya menghilangkan esensi arbitrase sebagai mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih cepat, murah, dan proses yang sederhana dibanding proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi). Dengan demikian, ketentuan di atas merupakan ketentuan yang inkonsisten dan counter productive (kontra produktif) terhadap tujuan UU No. 30 Tahun 1999. Ketentuan yang bersifat counter productive seyogyanya tidak tercantum dalam UU No. 30 Tahun 1990. Prinsip yang harus ditekankan di sini adalah prinsip limited court involvement (Keterlibatan pengadilan yang terbatas). Pengadilan seyogyanya tidak ikut campur dalam penyelesaian sengketa arbitrase sehingga kompetensi absolut yang diberikan kepada lembaga arbitrase tidak dirancukan dengan campur tangan pengadilan tersebut.
Rekomendasi
Maka dari ini UU No. 30 Tahun 1999 perlu segera direvisi, beberapa alasan perlunya revisi UU No. 30 Tahun 1999 adalah ditinjau dari segi komposisi pasal dan jumlah ketentuannya, UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, nampak tidak adil. Sebab, lembaga arbitrase dalam undang-undang ini dibahas secara lengkap dalam ketentuan yang jumlahnya 80 pasal. Sedangkan ketentuan mengenai alternatif penyelesaian sengketa hanya disebutkan hanya dalam 2 pasal saja. Yakni dalam Pasal 1 butir (10), dan Pasal 6 yang terdiri dari 9 ayat. 
Menurut saya, undang-undang ini perlu direvisi dengan beberapa alternatif. Pertama, menghilangkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 butir (10) dan Pasal 6. Sehingga nama UU ini menjadi UU Arbitrase. Sedangkan pengaturan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) dibuatkan UU sendiri yang isinya lengkap dan tuntas. Kedua, jika UU No. 30 Tahun 1999 direvisi dengan tetap diberi nama UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, namun isinya harus ada keseimbangan jumlah ketentuan pasal ADR secara secara proporsional. Pertimbangan lainnya adalah ADR dalam sejarahnya sangat berkaitan erat dengan soal-soal sengketa perdata. Bidang bisnis dan perdagangan termasuk dalam bidang yang sangat membutuhkan penyelesaian sengekata di luar pengadilan. Karena bagi kalangan bisnis, lebih menyukai pilihan penyelesaian sengketa yang tidak bertele-tele seperti di pengadilan. Hal itu logis, karena dalam ADR dikenal metode negosiasi. Menurut penulis, dalam proses negosiasi itu pasti terdapat keinginan dari para pihak untuk menyelesaikan perkara secara win win solution (saling menguntungkan).
Seiring dengan reformasi di bidang hukum yang disesuaikan dengan perkembangan binsis dan perdagangan, saat ini sudah ada perubahan-perubahan terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait. Pertama, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Merupakan produk peraturan perundang-undangan pasca reformasi, dan sebagai pengganti dari undang-undang yang lama yakni Undang-Undang  Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Kedua, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Merupakan produk peraturan perundang-undangan pasca reformasi, dan sebagai pengganti dari undang-undang yang lama yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Ketiga, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Merupakan produk peraturan perundang-undangan pasca reformasi, dan sebagai pengganti dari undang-undang yang lama yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.    Sejalan dengan pemikiran itu, maka lahirnya peraturan terbaru mengenai Undang-Undang Penanaman Modal dan Undang-Undang Perseroan Terbatas itu sudah seharusnya menjadi pertimbangan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Rabu, 21 November 2012

KRIMINOLOGI : TEORI KONTROL SOSIAL


Travis Hirchi sebagai pelopor teori ini, mengatakan bahwa “Perilaku kriminal merupakan kegagalan kelompok – kelompok sosial seperti keluarga, sekolah, kawan sebaya untuk mengikatkan atau terikat dengan individu”, Artinya “individu dilihat tidak sebagai orang yang secara intrinsik patuh pada hukum ; namun menganut segi pandangan antitesis dimana orang harus belajar untuk tidak melakukan tindak pidana”. argumentasi ini , didasarkan pada bahwa kita semua dilahirkan dengan kecenderungan alami untuk melanggar aturan hukum. Dalam hal ini kontrol sosial, memandang delinkuen sebagai “konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk mengembangkan larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum”
Manusia dalam teori kontrol sosial dipandang sebagai mahluk yang memiliki moral murni, oleh karena itu, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu.
Albert J. Reiss Jr membedakan dua macam kontrol, yaitu personal control dan social control. Personal control adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sedangkan social control adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat melaksanakan norma –norma atau peraturan-peraturan menjadi efektif. Pada tahun 2957, Jackson Toby memperkenalkan pengertian “comitment” individu sebagai kekuatan yang sangat menentukan dalam membentuk sikap kontrol sosial. Kemudian, Scot Briar dan Irvine Piliavian menyatakan bahwa peningkatan komitmen individu dan adaptasi/penyesuaian diri memegang peranan dalam mengurangi penyimpangan.
Kejahatan atau delinkuen dilakukan oleh keluarga, karena keluarga merupakan tempat terjadinya pembentukan kepribadian, internalisasi, orang belajar baik dan buruk dari keluarga. Apabila internal dan eksternal kontrol lemah, alternatif untuk mencapai tujuan terbatas, maka terjadilah delinkuen, hal ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Menurut F. Ivan Nye manusia diberi kendali supaya tidak melakukan pelanggaran, karena itu proses sosialisasi yang adequat (memadai) akan mengurangi terjadinya delinkuensi. Sebab, di sinilah dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang yang diajari untuk melakukan pengekangan keinginan (impulse). Di samping itu, faktor internal dan eksternal kontrol harus kuat, juga dengan ketaatan terhadap hukum (law-abiding).
Asumsi teori kontrol dikemukakan F.Ivan Nye terdiri dari :
1.  Harus ada kontrol internal maupun eksternal ;
2.  Manusia diberikan kaidah-kaidah supaya tidak melakukan pelanggaran;
3.  Pentingnya proses sosialisasi bahwa ada sosialisasi adequat (memadai), akan mengurangi terjadinya delinkuen, karena di situlah
4.  Dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang; dan
5.  Diharapkan remaja menaati hukum (law abiding).
Menurut F. Ivan Nye terdapat empat tipe kontrol sosial, yaitu :
1.  Direct control imposedfrom without by means of restriction and punisment (kontrol langsung yang diberikan tanpa mempergunakan alat pembatas dan hukum);
2.  Internalized control exercised from within through conscience (kontrol internalisasi yang dilakukan dari dalam diri secara sadar);
3.  Indirect control related to affectional identification with parent and other non-criminal persons (kontrol tidak langsung yang berhubungan dengan pengenalan [identifikasi] yang berpengaruh dengan orangtua dan orang-orang yang bukan pelaku kriminal lainnya);
4.  Availability of alternative to goal and values (ketersediaan sarana-sarana dan nilai-nilai alternatif untuk mencapai tujuan).
Dalam teori kontrol sosial, ada elemen yang harus diperhatikan :
1.  Attachment (kasih sayang)
Attachment adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain, jika attachment sudah terbentuk, maka orang tersebut akan peka terhadap pikiran, perasaan, dan kehendak orang lain. Berbeda dengan psikopat, kalau psikopat lahir dari pribadi yang cacat, yang disebabkan karena keturunan dari biologis atau sosialisasi.
Attachment, dibagi menjadi dua bentuk :
1.  Attachment total : suatu keadaan di mana seseorang individu melepaskan rasa ego yang terdapat dalam dirinya dan diganti dengan rasa kebersamaan. Rasa kebersamaan inilah yang mendorong seseorang untuk menaati peraturan, larena melanggar peraturan berarti menyakiti perasaan orang lain. Tujuan akhir dari attachment ini adalah, akan mencegah hasrat seseorang untuk melakukan deviasi.
2.  Attachment Partial ; suatu hubungan antara seorang individu dengan individu lainnya, di mana hubungan tersebut tidak didasarkan kepada peleburan ego yang lain, akan tetapi karena hadirnya orang lain yang sedang mengawasi perilaku individu. Dengan kata lain, attachment ini, hanya akan menimbulkan kepatuhan pada individu, bila sedang diawasi perilakunya oleh orang lain.
Teori kontrol sosial pada dasarnnya berusaha menjelaskan kenakalan remaja dan bukan kejahatan oleh orang dewasa, namun disini saya menghubungkan antara perilaku menyimpang pada waktu kecil atau remaja membawa dampak pada anak sampai tumbuh menjadi dewasa dan akan melakukan kejahatan, pengaruh bawaan dari masa lalu atau remaja membuat seorang menjadi serakah, berkurangnya pendekatan keluarga atau pembentukan pada masa anak-anak, kurangnya pembentukan kepribadian dari keluarga maupun lingkungan sekolah akan berpengaruh pada waktu seseorang itu menempati posisi tertentu dalam jabatannya nanti. Perilaku pada masa kanak-kanak akan berpengaruh besar dalam karirnya dan akan menjadi kebiasaan.
Kriminologi masa lalu beranjak dari pemahaman yang dangkal mengenai kejahatan, padahal kejahatan tak hanya bisa ditilik dari segi fenomenalnya saja, melainkan merupakan aspek yang tidak terpisah dari konteks politik, ekonomi dan sosial masyarakatnya, termasuk dinamika sejarah kondisi – kondisi yang melandasinya (yakni struktur – struktur sosial yang ditentukan secara historis). Kejahatan sebagai suatu gejala adalah selalu kejahatan dalam masyarakat (crime in society), dan merupakan bagian dari keseluruhan proses – proses sosial produk sejarah dan senantiasa terkait pada proses – proses ekonomi yang begitu mempengaruhi hubungan antar manusia. Pemahaman kejahatan pada masa lampau seringkali kehilangan makna oleh karena meninggalkan konsep total masyarakat (the total concept of society).

Sumber : Yesmil Anwar & Adang, 2010, Kriminologi, Refika Aditama, Bandung

SISTEM HUKUM

Dalam studi hukum di Indonesia, ada empat sistem hukum menjadi bintang pemandu, sistem hukum berpengaruh terhadap produk undang-undang, tulisan ini akan menguraikan secara singkat empat sistem hukum dalam studi hukum di Indonesia, yaitu : sistem hukum Eropa kontinental, Anglo saxon, Hukum Islam dan Hukum Adat. Sistem hukum Eropa kontinental berkembang di negara – negara Eropa daratan yang sering disebut sebagai “Civil Law” yang semula berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku dikekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Justinianus abad VI sebelum masehi. Prinsip utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa Kontinental itu ialah “hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik didalam kodifikasi atau kompilasi tertentu, prinsip dasar ini dianut mengingat bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah “kepastian hukum”.
Sistem hukum Anglo Saxon yang kemudian dikenal dengan sebutan “Anglo Amerika” mulai berkembang di Inggris pada abad XI yang sering disebut sebagai sistem “Common Law” dan sistem “Unwritten Law” (tidak tertulis), walaupun tidak sepenuhnya tidak tertulis, dalam sistem ini dikenal pula adanya sumber-sumber hukum yang tertulis (statutes). Sumber hukum dalam sistem Anglo Saxon ialah “putusan-putusan hakim/pengadilan” (Judicial decisions). Melalui putusan-putasan hakim yang mewujudkan kepastian hukum, prinsip-prinsip dan kidah-kaidah hukum dibentuk dan menjadi kaidah yang mengikat umum.
Sistem hukum Islam semula dianut oleh masyarakat Arab sebagai awal dari timbulnya dan penyebaran agama Islam. Kemudian berkembang ke negara-negara lain di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika secara individual atau kelompok. Sistem hukum Islam ini menganut suatu keyakinan dari ajaran agama Islam dengan keimanan lahir batin secara individual. Sumber hukum dalam sistem hukum Islam adalah Al-Qur’an, Sunnah/Hadits nabi, Ijma dan Qiyas.
Sistem hukum adat hanya terdapat dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, seperti Cina, Jepang dan negara lainnya. Istilahnya berasal dari bahasa Belanda “Adatrecht” yang untuk pertama kali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje. Pengertian hukum adat yang diguankan oleh van Vollenhoven mengandung makna bahwa hukum Indonesia dan kesusilaan masyarakat merupakan hukum adat. Sistem hukum adat bersumber pada peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Hukum adat itu mempunyai tipe yang bersifat tradisional dengan berpangkal kepada kehendak nenek moyang. Untuk ketertiban hukumnya selalu diberikan penghormatan yang sangat besar bagi kehendak suci nenek moyang itu. Oleh karena itu, keinginan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu selalu dikembalikan kepada pangkalnya, kehendak nenek moyang sebagai tolok ukur terhadap keinginan yang akan dilakukan.




Kamis, 08 November 2012

TEORI KEADILAN JOHN RAWLS

John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung.
Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokokkesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus. Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill.
Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat. Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.
Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.Dengan demikian, prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang melberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.



John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Kamis, 01 November 2012

KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA?

Perkembangan manusia di abad ke-21 ini sangatlah cepat dan kompleks. Revolusi industri yang terjadi di Eropa berhasil mendorong terjadinya perubahan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut tidak hanya mempengaruhi kehidupan masyarakat Eropa, akan tetapi juga masyarakat di belahan dunia lainnya. Berbagai pembangunan yang dilakukan oleh negara-negara besar telah mendorong beragam kemajuan pada negara-negara dunia ketiga. Perkembangan ini ternyata tidak saja didominasi oleh bidang tekhnologi saja,melainkan juga diiringi oleh berbagai kemajuan disegala bidang kehidupan masyarakat global. Kemajuan-kemajuan tersebut diyakini akan selalu mengalami perkembangan kearah yang lebih modern dan akan melibatkan seluruh negara-negara didunia tanpa terkecuali. Kondisi yang dialami dunia secara global ini berdampak kepada pentingnya pelayanan negara kepada rakyatnya.
Di Indonesia, tujuan negara tercantum jelas pada pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI 1945) yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan  umum,mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.Karenanya negara membuat sebuah sistem pemerintahan negara yang bertujuan untuk mewujudkan tujuan negara secara keseluruhan dan berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam mencapai tujuan negara, hambatan-hambatan bisa datang dari luar (ekstern) maupun dari dalam (intern), Ancaman keamanan negara merupakan hambatan yang serius bagi tujuan negara, dimana keamanan merupakan bagian yang terpenting didalam suatu negara bagi keberlangsungnya kehidupan bangsa, isu keamanan yang mencuat akhir-akhir ini terus bergulir, berbagai negara memproteksi diri, baik secara fisik maupun secara substansi yang didalamnya terkandung peraturan perundang-undangan sebagai kekuatan dasar.
Dalam konsep-konsep tradisional, para ilmuwan biasanya menafsirkan keamanan yang secara sederhana dapat dimengerti sebagai suasana bebas dari segala bentuk ancaman bahaya, kecemasan, dan ketakutan - sebagai kondisi tidak adanya ancaman fisik (militer) yang berasal dari luar. Walter Lippmann merangkum kecenderungan ini dengan pernyataannya yang terkenal :
“suatu bangsa berada dalam keadaan aman selama bangsa itu tidak dapat dipaksa untuk mengorbankan nilai-nilai yang dianggapnya penting (vital) .., dan jika dapat menghindari perang atau jika terpaksa melakukannya, dapat keluar sebagai pemenang.”

Dengan semangat yang sama, kolom keamanan nasional dalam International Encyclopedia of the Social Sciences mendefinisikan keamanan sebagai “kemampuan suatu bangsa untuk melindungi nilai-nilai internalnya dari ancaman luar". Tiga ciri penting dari pengertian tradisional itu adalah: pertama, identifikasi “nasional” sebagai “negara”; kedua, ancaman diasumsikan berasal dari luar wilayah negara; dan, ketiga, penggunaan kekuatan militer untuk menghadapi ancaman-ancaman itu.Tak heran jika Arnold Wolfers sampai pada kesimpulan , bahwa masalah utama yang dihadapi setiap negara adalah membangun kekuatan untuk menangkal (to deter) atau mengalahkan (to defeat) suatu serangan.
Ancaman militer dari luar bukan merupakan satu-satunya jenis ancaman yang dihadapi oleh negara maupun warga negaranya, ancaman dari dalam negeri yang menghambat tujuan negara juga merupakan  ancaman yang dihadapi negara, jenis-jenis ancaman ini sangat beragam, lahirnya gerakan-gerakan yang anti pemerintah dalam upaya menggulingkan pemerintah yang sah serta munculnya beberapa kelompok pemberontak yang mengancam keamanan negara.
Di Indonesia seperti bagian negara lainnya muncul hambatan dari dalam negeri yang mengancaman keamanan negara, munculnya gerakan atau organisai yang menuntut memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti : Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). OPM yang pada akhir-akhir ini bergejolak menuntut pemisahan diri dari wilayah NKRI dianggap sebagai kejahatan, keamanan di Papua sampai detik ini menjadi suatu yang mahal, kekerasan terus menerus terjadi tiap tahunnya, OPM yang pada mulanya sebagai organisasi biasa berubah menjadi gerakan separatisme yang dalam mencapai tujuannya menggunakan kekerasan.
Gerakan separatisme oleh OPM merupakan ancaman serius bagi Indonesia, karena wilayah adalah kedaulatan dan kepentingan negara, oleh karena itu dalam konstitusi Indonesia mengatur pula hal ini sebagai upaya mempertahankan wilayah NKRI, UUD RI 1945 menegaskan dalam :
Pasal 25A
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang berciri
Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 30
(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
(2) Untuk pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahananm dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
 (3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
(4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undangundang.

Makna dari UUD RI 1945 diatas adalah negara mempunyai kekuasaan tntuk mempertahankan wilayah NKRI dengan sistem pertahanan serta berbagai alat negara, Tentara Nasional Indonesia (TNI) ataupun Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) sesuai fungsi, tugas serta wewenang yang diberikan oleh undang-undang, sebagai upaya lebih lanjut dari UUD RI 1945, pemerintah telah mengeluarakan beberapa produk undang-undang terkait TNI dan POLRI telah menetapkan bagi orang yang melakukan gerakan separatisme terhadap negara sebagai ancaman terhadap keamanan negara.
Negara Indonesia memandang gerakan separatisme atau pemberontak yang menuntut pemisahan dari wilayah NKRI sebagai kejahatan terhadap keamanan negara, bentuk-bentuk kejahatan terhadap keamanan negara tercantum didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Buku kedua tentang kejahatan pada pasal 104 sampai pasal 129, ini adalah suatu bentuk proteksi negara terhadap bentuk-bentuk pemberontakan/gerakan separatisme atau bentuk perbuatan yang mengganggu kepentingan negara terkait wilayah. Negara berkuasa membentuk peraturan perundang-undangan, negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi memiliki otoritas menentukan kejahatan dan hukuman.




Kusnanto Anggoro, Makalah Keamanan nasional, pertahanan negara, dan ketertiban umum, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI Hotel Kartika Plaza, Denpasar, 14 Juli 2003