Senin, 24 September 2012

UPAYA NON PENAL DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN


        Dalam sistem peradilan pidana pemidaan itu bukanlah merupakan tujuan akhir dan bukan pula merupakan satu - satunya cara untuk mencapai tujuan pidana atau tujuan sistem peradilan pidana. Banyak cara dapat ditempuh, dapat menggunakan hukum pidana maupun dengan cara diluar hukum pidana atau diluar pengadilan. Dilihat dari segi ekonomisnya sistem peradilan pidana disamping tidak efisien, juga pidana penjara yang tidak benar - benar diperlukan semestinya tidak usah diterapkan.
      Penegakan hukum dengan sarana penal merupakan salah satu aspek saja dari usaha masyarakat menanggulangi kejahatan. Disamping itu masih dikenal usaha masyarakat menanggulangi kejahatan melalui sarana non penal. Usaha non penal dalam menanggulangi kejahatan sangat berkaitan erat dengan usaha penal. Upaya non penal ini dengan sendirinya akan sangat menunjang penyelenggaraan peradilan pidana dalam mencapai tujuannya. Pencegahan atau atau menanggulangi kejahatan harus dilakukan pendekatan integral yaitu antara sarana penal dan non penal.
       Menurut M. Hamdan, upaya penaggulangan yang merupakan bagian dari kebijakan sosial pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) yang dapat ditempuh dengan 2 jalur, yaitu:
1.  Jalur penal, yaitu dengan menerapkan hukum pidana (criminal law application)
2.  Jalur nonpenal, yaitu dengan cara :
a.     Pencegahan tanpa pidana (prevention without punisment), termasuk di dalamnya penerapan sanksi administrative dan sanksi perdata.
b.     Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pembinaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment).
Secara sederhana dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan pada sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “non penal” lebih menitik beratkan pada sifat “preventif” (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.
Beberapa dekade terakhir berkembang ide-ide perbuatan tanpa pidana, artinya tidak semua tindak pidana menurut undang-undang pidana dijatuhkan pidana, serentetan pendapat dan beberapa hasil penelitian menemukan bahwa pemidanaan tidak memiliki kemanfaatan ataupun tujuan, pemidaan tidak menjadikan lebih baik. Karena itulah perlunya sarana nonpenal diintensifkan dan diefektifkan, disamping beberapa alasan tersebut, juga masih diragukannya atau dipermasalahkannya efektifitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. Di berbagai Kongres PBB mengenai “The Prevention of Crime and Treatment of Offenders” ditegaskan upaya-upaya strategis mengenai penanggulangan sebab-sebab timbulnya kejahatan.
Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata – mata dengan “penal”. Di sinilah keterbatasan jalur “penal” dan oleh karena itu, harus ditunjang oleh jalur “nonpenal”. Salah satu jalur “nonpenal” untuk mengatasi masalah – masalah sosial seperti dikemukakan diatas adalah lewat jalur “kebijakan sosial” (social policy). Yang dalam skema G.P. Hoefnagels di atas juga dimasukkan dalam jalur “prevention without punishment”. Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya - upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan.
Salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat (social hygiene), baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun kesehatan/ kesejahteraan keluarga (termasuk masalah kesejahteraan anak dan remaja), serta masyarakat luas pada umumnya. Penggarapan masalah “mental health”, “national mental health” dan “child welfare” ini pun dikemukakan dalam skema Hoefnagels di atas sebagai salah satu jalur “prevention (of crime ) without punishment” (jalur “nonpenal”). Prof. Sudarto pernah juga mengemukakan, bahwa “kegiatan karang taruna, kegiatan Pramuka dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama” merupakan upaya – upaya nonpenal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan.
Pembinaan dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat memang tidak berarti semata – mata kesehatan rohani/mental, tetapi juga kesehatan budaya dan nilai – nilau pandangan hidup masyarakat. Ini berarti penggarapan kesehatan masyarakat atau lingkungan sosial yang sehat (sebagai salah satu upaya nonpenal dalam strategi politik kriminal), tidak hanya harus berorientasi pada pendekatan religius tetapi juga berorientasi pada pendekatan identitas budaya nasional. Dilihat dari sisi upaya nonpenal ini berarti, perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk mengektifkan dan mengembangkan “extra legal system” atau “informal and traditional system” yang ada di masyarakat.
Upaya nonpenal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat  (secara materiil dan immateriil) dari faktor – faktor kriminogen. Ini berarti, masyarakat dengan seluruh potensinya harus dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan atau faktor “antikriminogen” yang merupakan bagian integral dari keseluruhan politik kriminal. Disamping upaya – upaya nonpenal dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan mengali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya nonpenal itu digali dari berbagai sumber lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif. Sumber lain itu misalnya, media pers/media massa, pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal dengan istilah “techno-prevention”) dan pemanfaatan potensi efek-preventif dari aparat penegak hukum. Mengenai yang terakhir ini, Prof. Sudarto pernah mengemukakan, bahwa kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara kontinu termasuk upaya nonpenal yang mempunyai pengaruh preventif bagi penjahat (pelanggar hukum) potensial. Sehubungan dengan hal ini, kegiatan razia/operasi yang dilakukan kepolisian di beberapa tempat tertentu dan kegiatan yang berorientasi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan komunikatif edukatif dengan masyarakat, dapat pula dilihat sebagai upaya nonpenal yang perlu diefektifkan.
         Tindakan hukum dikatakan “efektif” ketika perilaku bergerak kearah yang dikehendaki, ketika subyek patuh atau menurut, banyak tindakan hukum tidak “efektif” dalam pengertian ini. Orang-orang mengabaikan atau melanggar ketentuan.Lazimnya sanksi dibagi menjadi dua bagian, imbalan dan hukuman, yakni sanksi positf dan negatif. Gagasannya adalah bahwa orang-orang yang menjadi subyek hukum akan memilih satu dan menghindari yang lainnya. Para pembuat hukum berasumsi bahwa sanksi yang berlabel “hukuman” adalah bersifat menyakitkan dan “imbalan” adalah yang bersifat menyenangkan, sehingga konsekuensi perilaku yang dikehendaki akan mengikuti secara otomatis. Bentuk-bentuk hukuman yang lazim dalam hukum pidana adalah denda dan kurungan. Hukuman fisik atau hukuman jasmaniah lainnya, pada masa lalu, sering digunakan dalam hukum.
         Di indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya ketertiban dalam pembangunan, merupakan sesuatu yang dipandang penting dan sangat diperlukan.Upaya nonpenal merupakan kerangka pembangunan hukum nasional yang akan datang (ius constituendum). Pencegahan kejahatan harus mampu memandang realitas sosial masyarakat, hukum sebagai panglima harus mampu menciptakan suatu tatanan sosial melalui kebijakan sosial
         Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan – kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat kemajuan pembangunan  di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa, sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruhpembangunan hukum pada hakikatnya mencakup pembinaan hukum serta pembaharuan hukum. Pembinaan hukum pada hakikatnya berarti usaha – usaha untuk lebih menyempurnakan hukum yang sudah ada, sehingga sesuai dengan perkembangan masyarakat.
         Hukum sesungguhnya merupakan fasilitasi interaksi antara manusia yang bertujuan untuk mencapai keteraturan kehidupan sosial sehingga kaidah-kaidah hukum yang akan diterapkan haruslah memiliki kerangka falsafah, nilai kebudayaan dan basis sosial yang hidup di masyarakat. Satjipto Rahardjo mengatakan, hukum itu tertanam ke dalam dan berakar dalam masyarakatnya. Setiap kali hukum dan cara berhukum dilepaskan dari konteks masyarakatnya maka kita akan dihadapkan pada cara berhukum yang tidak substansil. Hukum itu merupakan pantulan dari masyarakatnya, maka tidak mudah memaksa rakyat untuk berhukum menurut cara yang tidak berakar pada nilai-nilai dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat itu. Selalu ada tarik menarik antara hukum yang berlaku dan diberlakukan dengan masyarakatnya. Hukum bukan institutif yang steril dar satu skema yang selesai. Hukum tidak ada di dunia abstrak melainkan juga berada dalam kenyataan masyarakat.
         Optimalisasi jalur non penal sejalan dengan cita-cita bangsa dan tujuan negara, seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat Pancasila. Segala bentuk pembangunan harus berangkat dari nilai-nilai Pancasila, karena pada hakikatnya pancasila merupakan tonggak konvergensi berbagai gagasan dan pemikiran mengenai dasar falsafah kenegaraan yang didiskusikan secara mendalam oleh para pendiri negara. Pancasila menjadi kesepakatan luhur (modus vivendi) yang kemudian ditetapkan sebagai dasar ideologi negara. Dalam hal ini, upaya non penal dalam pencegahan tindak pidana merupakan salah satu aspek cita-cita Pancasila, Pancasila menjadi dasar rasional mengenai asumsi tentang hukum yang akan dibangun sekaligus sebagai orientasi yang menunjukan kemana bangsa dan negara harus dibangun.



Susanto, Anthon F, 2004, Wajah Peradilan Kita, Refika Aditama, Bandung
M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Barda Nawawi, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Cet.Ke-2, Kencana, Jakarta
Lawrence M.Friedman, 2011, Sistem Hukum, Diterjemahkan oleh M. Khozim, Cet.ke-4, Nusa Media, Bandung
Soerjono Soekanto, 2007, Hukum Adat di Indonesia, Cet.ke-2, Rajawali Pers, Jakarta
Satjitpto Rahardjo, 2009, Hukum dan Prilaku : Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik, Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Mahfud MD, “Menguatkan Pancasila Sebagai Dasar Ideologi Negara”, Dimuat dalam Mahkamah Konstitusi dan Penguatan Pancasila, Majalah Konstitusi No.52-Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar