Sabtu, 24 November 2012

ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA


Kritis Terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
            Munculnya gerakan hukum kritis menjadi ksatria ditengah ketidakberdayaan kaum marjinal terhadap kapitalisme yang tak terbendung di era modern ini, sehingga diharapkan mampu melumpuhkan dominasi positivisme yang kian perkasa. Perjalanan positivisme hukum banyak memakan korban, ketidakmampuan aparat penegak hukum memaknai hukum dengan hati nurani menjadikan keadilan dan kemanfaatan hukum dikorbankan demi mencapai kepastian hukum. Lembaga peradilan yang seharusnya independen sudah terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan, masyarakat tidak memiliki kepercayaan lagi terhadap negara, keadaan kini semakin diperparah oleh lembaga-lembaga negara yang saling berbenturan.
Alternative Dispute Resolution (ADR) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan beberapa macam istilah, seperti alternatif penyelesaian sengketa (APS), pilihan penyelesaian sengketa (PPS), mekanisme penyelesaian sengketa (MAPS), pilihan penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan berbagai istilah lainnya, merupakan suatu pilihan ditengah krisis kepercayaan terhadap lembaga peradilan saat ini.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan undang-undang yang lahir guna penyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, sebagai jalan alternatif yang bertujuan efisiensi waktu serta biaya atas proses peradilan umum yang dirasa memerlukan waktu yang lama sehingga menghabiskan biaya yang mahal. Peradilan umum diselenggarakan berdasar atas asas sederhana, murah, dan cepat, upaya arbitrase dan penyelesaian sengketa merupakan kelengkapan atas sistem peradilan dan sebagai jalan yang ditempuh untuk memangkas waktu dan biaya terhadap perkara perdata. Lahirnya undang-undang ini diharapkan menjadi acuan bagi para pihak yang bersengketa, sehingga tidak berorientasi kepada peradilan umum semata.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 (UU No. 30 Tahun 1999), walau berjudul Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), namun hampir keseluruhan isinya mengatur mengenai arbitrase, sementara pengaturan mengenai APS lainnya tidak dijabarkan secara detail. Pengaturan APS hanya dimuat dalam Pasal 1 angka 10 (definisi) dan Pasal 6. Selebihnya Undang-Undang ini mengatur mengenai Arbitrase. Mekanisme APS lainnya seperti konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli sangat minim dimuat dalam Undang-Undang ini. Bahkan pengertian dari masing-masing mekanisme APS tersebut tidak didefiniskan dalam Undang-Undang ini. Dalam Ketentuan Umum, hanya istilah Arbitrase yang didefinisikan secara tegas (Pasal 1 angka 1). Sedangkan istilah konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli tidak didefinisikan secara tegas namun hanya dicantumkan sebagai bagian dari APS (Pasal 1 angka 10)

Model Alternatif Penyelesaian Sengketa
Negosiasi, Mediasi, Konsultasi, Konsiliasi, atau Penilaian Ahli merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang tercantum dalam UU No. 30 Tahun 1999.
a.  Negosiasi
Negoisasi adalah komunikasi dua arah dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat keduabelah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama atau berbeda.
Keuntungan Negoisasi : Mengetahui pandanga pihak lawan; Kesempatan mengutarakan isi hati untuk didengar piha lawan; Memungkinkan sengketa secara bersama-sama; Mengupayakan solusi terbaik yang dapat diterima oleh keduabelah pihak; Tidak terikat kepada kebenaran fakta atau masalah hukum; Dapat diadakan dan diakhiri sewaktu waktu. Sedangkan kelemahan Negoisasi : Tidak dapat berjalan tanpa adanya kesepakatan dari keduabelah pihak; Tidak efektif jika dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang mengambil kesepakatan; Sulit berjalan apabila posisi para pihak tidak seimbang; Memungkinkan diadakan untuk menunda penyelesaian untuk mengetahui informasi yang dirahasiakan lawan; Dapat membuka kekuatan dan kelemahan salahsatu pihak; Dapat membuat kesepakan yang kurang menguntungkan.
b.  Mediasi
Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator). Dengan demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah). Dari pengertian di atas, mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan). Pada mediasi, para pihak yang bersengketa, datang bersama secara pribadi. Saling berhadapan antara yang satu dengan yang lain. Para pihak berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga yang netral. Peran dan fungsi mediator, membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi di antara para pihak. Dalam mencari kompromi, mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari kemenangan. Sebab kalau timbul gejala yang seperti itu, para pihak akan terjebak pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no the way). Manfaat yang paling mennjol, antara lain: Penyelesaian cepat terwujud (quick). Biaya Murah (inexpensive), Bersifat Rahasia (confidential), Bersifat Fair dengan Metode Kompromi, Hubungan kedua belah pihak kooperatif, Hasil yang dicapai WIN-WIN, Tidak Emosional.
c.   Konsultasi
Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan dalam  UU No. 30 Tahun 1999 mengenai makna maupun arti dari konsultasi. Jika melihat pada Black's Law Dictionary dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan konsultasi(consultation) adalah : Act of consulting or conferring : e.g. patient with doctor, client with lawyer. Deliberation of persons on some subject. Dari rumusan yang diberikan dalam Black's Law Dictionary tersebut dapat diketahui, bahwa pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut.
Didalam konsultasi, klien adalah bebas untuk menentukan sendiri keputusan yang akan ia ambil untuk kepentingannya sendiri, walau demikian tidak menutup kemungkinan klien akan dapat mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan tersebut. Ini berarti dalam konsultasi, sebagai suatu bentuk pranata alternative penyelesaian sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidak dominan sama sekali, konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.
d.  Konsoliasi
UU No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi. Bahhkan tidak dapat ditemui satu ketentuan pun dalam UU No. 30  Tahun 1999 ini mengatur mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dan Alenia ke-9 Penjelasan Umum Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tersebut.
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit dibedakan. Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini, yaitu konsiliasi lebih formal daripada mediasi. Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi. Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Dalam tahap pertama, (sengketa yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Kelebihan dari alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini hampir sama dengan mediasi yakni: cepat, murah, dan dapat diperoleh hasil yang efektif. Sedangkan yang menjadi kelemahan alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini adalah bahwa putusan dari lembaga konsiliasi ini tidak mengikat, sehingga sangat tergantung sepenuhnya pada para pihak yang bersengketa.
Kelemahan Undang-undang
Dalam Penjelasan Umum UU No. 30 Tahun 1999, tersirat pertimbangan filosofis pembentukan Undang-Undang ini, yaitu dalam rangka mengakomodir perkembangan dunia usaha dan lalu lintas di bidang perdagangan baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya. Bila ini yang menjadi dasar filosofis pembentukan UU No. 30 Tahun 1999 maka sebenarnya Undang-Undang ini belum sepenuhnya mengakomodir landasan filosofis dari diadakannya alternatif penyelesaian sengketa itu sendiri.
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 memakai nama “Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Namun substansinya lebih banyak mengatur tentang lembaga arbitrase, sedangkan untuk alternative penyelesaian sengketa yang lain (konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli) tidak diatur secara jelas dalam Undang-undang ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa Nama Undang-undang ini (Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa) tidak mencerminkan isi dari Undang-undang ini. Sehingga kedepannya pembentuk Undang-undang lebih memperhatikan dalam merumuskan nama yang tepat sesuai dengan substansi yang diatur dalam pembaharuan Undang-Undang ini dimasa yang akan datang.
Penafsiran sistematis pasal 1 angka 1 dikaitkan dengan Pasal 1 angka 10 UU No. 30 Tahun 1999 menunjukan bahwa Arbitrase dan APS adalah dua hal yang berbeda yang masing-masing berdiri sendiri. Dalam UU No. 30 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.” Sedangkan dalam Pasal 1 angka 10 dinyatakan bahwa “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.” Dengan demikian, Arbitrase merupakan suatu proses tersendiri yang secara tegas dibedakan dari APS yang hanya mencakup konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Campur tangan berlebih dari Pengadilan juga menyebabkan arbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bonafide (bonafid) atau jujur dan dapat dipercaya. Para pihak yang bonafid adalah mereka yang memiliki kredibilitas dan integritas, artinya patuh terhadap kesepakatan, pihak yang dikalahkan harus secara suka rela melaksanakan putusan arbitrase. Sebaliknya, jika ia selalu mencari-cari peluang untuk menolak melaksanakan putusan arbitrase, perkara melalui arbitrase justru akan memakan lebih banyak biaya, bahkan lebih lama daripada proses di pengadilan. Misalnya, pengusaha yang dikalahkan tidak setuju dengan suatu putusan arbitrase, maka ia dapat melakukan berbagai cara untuk mendapatkan stay of execution (penundaan pelaksanaan putusan) dengan membawa perkaranya ke pengadilan.
Dengan adanya campur tangan pengadilan pada dasarnya kompetensi absulot penyelesaian sengketa arbitrase menjadi rancu. Hal ini tentunya menghilangkan esensi arbitrase sebagai mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih cepat, murah, dan proses yang sederhana dibanding proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi). Dengan demikian, ketentuan di atas merupakan ketentuan yang inkonsisten dan counter productive (kontra produktif) terhadap tujuan UU No. 30 Tahun 1999. Ketentuan yang bersifat counter productive seyogyanya tidak tercantum dalam UU No. 30 Tahun 1990. Prinsip yang harus ditekankan di sini adalah prinsip limited court involvement (Keterlibatan pengadilan yang terbatas). Pengadilan seyogyanya tidak ikut campur dalam penyelesaian sengketa arbitrase sehingga kompetensi absolut yang diberikan kepada lembaga arbitrase tidak dirancukan dengan campur tangan pengadilan tersebut.
Rekomendasi
Maka dari ini UU No. 30 Tahun 1999 perlu segera direvisi, beberapa alasan perlunya revisi UU No. 30 Tahun 1999 adalah ditinjau dari segi komposisi pasal dan jumlah ketentuannya, UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, nampak tidak adil. Sebab, lembaga arbitrase dalam undang-undang ini dibahas secara lengkap dalam ketentuan yang jumlahnya 80 pasal. Sedangkan ketentuan mengenai alternatif penyelesaian sengketa hanya disebutkan hanya dalam 2 pasal saja. Yakni dalam Pasal 1 butir (10), dan Pasal 6 yang terdiri dari 9 ayat. 
Menurut saya, undang-undang ini perlu direvisi dengan beberapa alternatif. Pertama, menghilangkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 butir (10) dan Pasal 6. Sehingga nama UU ini menjadi UU Arbitrase. Sedangkan pengaturan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) dibuatkan UU sendiri yang isinya lengkap dan tuntas. Kedua, jika UU No. 30 Tahun 1999 direvisi dengan tetap diberi nama UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, namun isinya harus ada keseimbangan jumlah ketentuan pasal ADR secara secara proporsional. Pertimbangan lainnya adalah ADR dalam sejarahnya sangat berkaitan erat dengan soal-soal sengketa perdata. Bidang bisnis dan perdagangan termasuk dalam bidang yang sangat membutuhkan penyelesaian sengekata di luar pengadilan. Karena bagi kalangan bisnis, lebih menyukai pilihan penyelesaian sengketa yang tidak bertele-tele seperti di pengadilan. Hal itu logis, karena dalam ADR dikenal metode negosiasi. Menurut penulis, dalam proses negosiasi itu pasti terdapat keinginan dari para pihak untuk menyelesaikan perkara secara win win solution (saling menguntungkan).
Seiring dengan reformasi di bidang hukum yang disesuaikan dengan perkembangan binsis dan perdagangan, saat ini sudah ada perubahan-perubahan terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait. Pertama, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Merupakan produk peraturan perundang-undangan pasca reformasi, dan sebagai pengganti dari undang-undang yang lama yakni Undang-Undang  Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Kedua, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Merupakan produk peraturan perundang-undangan pasca reformasi, dan sebagai pengganti dari undang-undang yang lama yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Ketiga, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Merupakan produk peraturan perundang-undangan pasca reformasi, dan sebagai pengganti dari undang-undang yang lama yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.    Sejalan dengan pemikiran itu, maka lahirnya peraturan terbaru mengenai Undang-Undang Penanaman Modal dan Undang-Undang Perseroan Terbatas itu sudah seharusnya menjadi pertimbangan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar