Kamis, 26 Juli 2012

SISTEM PERADILAN ANAK INDONESIA

     Sejak tahun 1901, didalam KUHP Belanda telah ditambahkan beberapa ketentuan pidana yang baru khusus mengatur masalah tindak pidana anak yang dilakukan oleh anak – anak beserta akibat hujumnya. Ketentuan – ketentuan pidana itu oleh para penulis Belanda disebut sebagai hukum pidana anak. Ternyata ketentuan – ketentuan pidana tersebut hanya sebagian saja telah dimasukan kedalam KUHP, sebagaimana diatur dalam pasal – pasal 45, 46, dan 47 KUHP.Sebelum lahir Undang – undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, hukum pidana anak diatur dalam KUHP hanya meliputti tiga pasal tersebut diatas, sedangkan Undang – undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya sedikit  sekali menyinggung tentang anak, yaitu pasal 153 (3), 153 (5), 171 sub a.
        Surat Kejaksaan Agung kepada Mahkamah Agung No.P.1/20, tanggal 30 Maret 1951 menjelaskan bahwa Anak Nakal adalah mereka yang menurut hukum pidana melakukan perbuatan yang dapat dihukum yang belum berusia 16 (enam belas) tahun. Dalam surat ini, Jaksa Agung menekankan bahwa menghadapkan anak – anak kedepan pengadilan, hanya sebagai langkah terakhir (ultimum remedium). Bagi anak nakalm masih dimunginkan ada penyelesaian lain yang dipertimbangkan secara masak faedahnya. Lembaga yang dianggap tepat untuk menyelesaikan hal ini adalah Kantor Pejabat Sosial dan Pro Juventute. Pro Juventute didirikan pada tahun 1957 oleh Departemen Kehakiman yang selanjutnya bernama Pra Yuwana.
          Tahun 1979 bertepatan dengan peringatan ulang tahun ke-20 Deklarasi Hak - Hak Anak dicanangkan sebagai  Tahun Anak Internasional, Pemerintah Polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Indonesia menyambut baik resolusi tersebut dengan melahirkan Undang - undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
        Lahirnya Undang – undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menjadi acuan pertama peradilan terhadap anak nakal, selain itu undang – undang ini ditujukan untuk memperbaiki hukum pidana anak di Indonesia, agar putusan pengadilan anak menjadi lebih baik dan bekualitas, karena putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan anak dimasa yang akan datang. Apabila dikaji dasar pertimbangan sosiologis maupun filofofis dibentuknya undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, antara lain karena disadari bahwa anak merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, serta sebagai sumber daya insansi bagi pembangunan nasional. Atas dasar hal itu, terhadap anak diperlukan pembinaan yang terus menerus baik fisik, mental, maupun kondisi sosialnya, serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan.Termasuk, munculnya fenomena penyimpangan perilaku di kalangan  anak, bahkan perbuatan melanggar hukum yang dapat merugikan baik bagi dirinya sendiri, maupun masyarakat.
       Menurut Soedarto “pemidanaan anak meliputi segala aktifitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak”. Menurut analisis sejarah Eropa dan Amerika, ikut campurnya pengadilan dalam kehidupan anak dan keluarga ditujukan kepada menanggulangi keadaan buruk, seperti kriminalitas anak dan terlantarnya anak.
         Peradilan pidana anak meliputi: (1) sebelum sidang peradilan; (2) selama pada saat sidang peradilan; (3) setelah sidang peradilan. Perlindungan anak adalah suatu usaha untuk melindungi anak agar anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang dan manusiawi. Perwujudannya berupa pembinaan, pembimbingan, pendampingan, penyertaan, pengawasan, pencegahan, pengaturan, penjaminan yang edukatif yang mendidik konstruktif, integratif, kreatif yang positif dan usaha ini tidak mengabaikan aspek – aspek mental, fisik dan sosial anak.
           Tindak pidana anak atau anak nakal batas usia pertanggungjawaban pidana anak, sesuai pasal 1 Undang – undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Pasal 1
Dalam Undang - undang ini yang dimaksud dengan :
1. Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Yang dimaksud dengan batas umur minimum seorang anak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya, yaitu batas umur minimum seorang anak dapat dituntut dan diajukan dimuka sidang pengadilan dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang melanggar peraturan pidana.
         Dalam Pasal 1 ayat 2, dijelaskan mengenai anak nakal :
2. Anak Nakal adalah :
a. anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturanperundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sistem peradilan pidana terhadap anak nakal berbeda dengan sistem peradilan pidana orang dewasa, di Indonesian juga terdapat kekhususan, dalam hal hukum acaranya, anak yang diduga melakukan tindak pidana dilakukan penahaanan ditempat yang berbeda dengan orang dewasa, ini bertujuan agar tidak terpengaruh orang dewasa, karena anak – anak cenderung meniru dan cepat mempelajari hal yang tidak diketahuinya. Sesuai pasal 1, Penyidik yang melakukan penyidikan terhadap anak adalah penyidik anak, Penuntut Umum adalah penuntut umum anak, Hakim adalah hakim anak (maupun hakim banding dan kasasi). Dalam pasal 6 disebutkan : Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas, serta Pasal 8 (1) Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup, tujuannya adalah agar anak lebih rileks dan tidak tertekan secara mental / psikologis serta bersedia menceritakan kejadian / hal yang di alami / diketahuinya.
Dalam pemeriksaan anak nakal, Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan, proses penyidikan terhadap perkara Anak Nakal wajib dirahasiakan (Pasal 42)
Pengadilan yang berwenang mengadili kasus anak adalah Pengadilan Anak, Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum (Pasal 2 UUPA), artinya bahwa Pengadilan Anak itu adalah bagian dari Badan Peradilan Umum yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi untuk memeriksa perkara anak nakal dan bermuara pada Mahkamah Agung sebagai Lembaga Peradilan Tertinggi. Undang – undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan landasan kerangka hukum Indonesia. Pasal 10 ayat (1) Undang – undang Nomor 4 Tahun 2004 menentukan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dalam pasal 23 dan pasal 24 dapat dijatuhkan pidana atau tindakan terhadap anak nakal :
Pasal 23
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.
(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 24
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
Pasal 25
(1) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(2) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf b, Hakim menjatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Masa penahanan terhadap anak yang melakukan tindak pidana lebih singkat (pasal 44-49), hukumannya lebih ringan, maksimum hukuman 10 tahun (pasal 22-32). Peran petugas Kemasyarakatan yang terdiri dari Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial dan Pekerja Sosial Sukarela dari Organisasi Sosial Kemasyarakatan, berperan penting dalam peradilan anak (pasal 34-39).
Sistem peradilan pidana anak di Indonesia terhadap anak berbeda dengan sistem peradilan pidana orang dewasa, tentunya disini ada perbedaan tujuan atau sasaran tertentu yang ingin dituju dari peradilan pidana terhadap anak, seperti yang tercantum dalam pertimbangan lahirnya Undang – undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, peradilan pidana anak bertujuan : Bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.
Hukum pidana untuk anak yang diatur dalam Undang - undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dianggap belum memberikan perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Tujuan dan dasar pemikiran dari peradilan pidana anak tidak dapat dilepaskan dari tujuan utama mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan bagian integral dari kesejahteraan sosial.
Penerapan hukum pidana untuk menanggulangi anak nakal sampai saat ini belum mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap menurunnya tingkat kenakalan anak di Indonesia. Melihat fakta yang ada, tampaknya esensi dikeluarkannya undang - undang Pengadilan Anak sebagai wujud perlindungan terhadap anak bermasalah sangat jauh dari apa yang diharapkan.
Lady Wotton, menyatakan tujuan dari hukum pidana untuk mencegah terjadinya perbuatan - perbuatan yang dapat merusak masyarakat dan bukanlah untuk membalas kejahatan yang telah dilakukan pembuat dimasa yang lampau akan doktrin yang telah berlaku secara konvensional ini telah menempatkan mens rea ditempat yang salah.
Marlina, menyatakan tujuan dari hukum pidana anak adalah untuk menyembuhkan kembali keadaan kejiwaan anak yang telah terguncang akibat perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Jadi tujuan pidana tidak semata-mata menghukum anak yang sedang bersalah, akan tetapi membina dan menyadarkan kembali anak yang telah melakukan kekeliruan aatau telah melakukan perbuatan menyimpang. Hal ini penting mengingat bahwa apa yang telah dilakukannya perbuatan salah yang melanggar hukum. Untuk itu penjatuhan pidana bukanlah satu - satunya upaya untuk memproses anak yang telah melakukan tindak pidana.
Mewujudkan kesejahteraan anak, menegakkan keadilan merupakan tugas pokok badan peradilan menurut Undang – undang. Peradilan tidak hanya mengutamakan penjatuhan pidana saja, tetapi juga perlindungan bagi masa depan anak, merupakan sasaran yang dicapai oleh Peradilan Pidana Anak. Filsafat Peradilan Anak adalah untuk mewujudkan kesejahteraan anak, sehingga terdapat hubungan erat antara Peradilan Pidana Anak dengan Undang – undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Peradilan Pidana Anak hendaknya memmsberi pengayoman, bimbingan, pendidikan melalui putusan yang dijatuhkan. Aspek perlindungan anak dalam  Peradilan Pidana Anak ditinjau dari segi psikologi bertujuan agar anak terhindar kekerasan, ketelantaran, penganiayaan, tertekan, perlakuan tidak senonoh, kecemasan dan sebagainya.



Made Sadhi Astuti, 1997, Pemidanaan terhadap Anak sebagai pelaku Tindak Pidana, IKIP, Malang
Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung
Nurini, Bahan Kuliah Hukum Pidana Anak, Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya
Roeslan Saleh, 1982, Pertanggung Jawaban Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,Jakarta
Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama,Bandung
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Rabu, 25 Juli 2012

Tipe Hukum Philippe Nonet dan Philip Selznick


Dalam bukunya Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi ini, pendekatan hukum responsif diharapkan bisa membantu memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Tujuan hukum harus benar-benar untuk men-sejahterakan masyarakat dalam kepentingan yang lebih besar, bukan untuk kepentingan mereka yang berkuasa. Philippe Nonet dan Philip Selznick mengakhiri suatu cara berfikir tertentu yang bersifat linier dan matematis, yang dimaksud adalah meletakkan perkembangan dan pembangunan hukum secara linier yang dikemas dalam bentuk “Teori Modernisasi”. Teori tersebut berjaya pada tahun 60-an tetapi mulai surut sejak tahun 70-an. Teori modernisasi secara sederhana mengatakan, bahwa negara-negara berkembang akan mencapai suatu tingkat perkembang hukum yang dinikmati oleh negara-negara maju atau modern asal mau mengikuti jalan yang ditempuh oleh masyarakat maju tersebut. Apabila negara berkembang mampu menghilangkan hambatan-hambatan ke arah modernisasi, maka akan dijamin menjadi negara maju. Jaminan tersebut lebih banyak tidak terbukti dan mulailah teori tersebut ditinggalkan.
Maka dari itu Philippe Nonet dan Philip Selznick mengembangkan model development.  Kelebihan model development Philippe Nonet dan Philip Selznick terletak pada pemahamannya tentang betapa kompleksnya kenyataan antara hukum dan masyarakat. oleh teori modernisasi, realitas yang kompleks telah direduksi menjadi sangat sederhana, sehingga gagal lah teori tersebut membuat ramalan tentang perkembangan hukum dalam masyarakat. Philippe Nonet dan Philip Selznick menyadari kenyataan yang rumit antara hukum dan masyarakatnya. disitulah kelebihan development model mereka. hal tersebut memperkuat keyakinan kita bahwa semakin kokoh suatu teori berpijak pada pada kenyataan semakin besar pula kekuatannya. kendatipun Nonet dan Selznick mengunggulkan tipe hukum yang responsive tetapi itu tetap dipegangnya dengan reserve. keberhasilan hukum responsif akan sangat ditentukan oleh oleh tersedianya modal sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. bahkan apabila yang kita inginkan adalah stabilitas, maka kedua penulis itu lebih mengunggulkan tipe hukum yang otonom.
Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu: (1) hukum sebagai pelayanan kekuasaan refresif, (hukum represif), (2) hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan refresi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan (3) hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model). Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar. Karakter masing-masing tipe dapat dilihat seperti tabel Tiga Tipe Hukum di bawah ini:

TIGA TIPE HUKUM

HUKUM REPRESIF
HUKUM OTONOM
HUKUM RESPONSIF
TUJUAN HUKUM
Ketertiban
Legitimasi
Kompetensi
LEGITIMASI
Ketahanan sosial dan tujuan negara (raison d’etat)
Keadilan prosedural
Keadilan substansif
PERATURAN
Akeras dan rinci namun berlaku lemah terhadap pembuat hukum
Luas dan rinci; mengikat penguasa maupun yang dikuasai
Subordinat dari prinsif dan kebijakan
PERTIMBANGAN
Ad hoc: memudahkan mencapai tujuan dan bersifat partikular
Sangat melekat pada otoritas legal; rentan terhadap formalisme dan legalisme
Purposif (berorientasikan tujuan); perluasan kompetensif kognitif
DISKRESI
Sangat luas; oportunistik
Dibatasi oleh peraturan; delegasi yang sempit
Luas, tetapi tetap sesuai dengan tujuan
PAKSAAN
Ekstensif; dibatasi secara lemah
Dikontrol oleh batasan-batasan hukum
Pencarian positif bagi berbagai alternatif, seperti intensif, sistem kewajiban yang mampu bertahan sendiri
MORALITAS
Moralitas komunal; moralisme hukum; “moralitas pembatasan”
Moralitas kelembagaan; yakni dipenuhi dengan integritas proses hukum
Moralitas sipil; “ kerja sama”
POLITIK
Hukum subordinat terhadap politik kekuasaan
Hukum “independen” politik; pemisahan kekuasaan
Terintegrasinya aspirasi hukum dan politik; keterpaduan kekuasaan
HARAPAN AKAN KETAATAN
Tanpa syarat; ketidaktaatan per se dihukum sebagai pembangkangan
Penyimpangan peraturan yang dibenarkan, misalnya untuk menguji validitas undang-undang atau perintah
Pembangkangan dilihat dari aspek bahaya substantif; dipandang sebagai gugatan terhadap legitimasi

sumber: Philippe Nonet dan Philip Selznick Hukum Responsif " Pilihan di Masa Transisi

Selasa, 17 Juli 2012

KUHP JERMAN

       Jerman merevisi dan memberlakukan KUHP - nya yang baru pada tahun 1975. Revisi ini dapat dikatakan pemolesan KUHP lama, sehingga sesuai dengan perkembangan zaman. Beberapa hal yang perlu dicatat sebagai sesuatu yang berbeda dengan KUHP Indonesian adalah sebagai berikut :
1.     Sesudah perang dunia II berakhir, negara – negara eropa pada umumnya sangat kecewa terhadap model rehabilitasi dalam pemidanaan. Jerman menerapkan pembinaan klinik ( clinical tretment ).
2.     Diterapkan alternatif denda sebagai penganti pidana penjara yang singkat, dalam hal ini diperlukan apa yang disebut denda harian  (day fine) pada tahun 1975. Sebenarnya sistem denda harian ini sudah lama dikenal di negara – negara Skandinavia. Denda harian berarti perhitungan besar denda didasarkan kepada pendapatan pelanggar per hari. Jadi, perimbangan berapa lama orang seharusnya dipidana penjara dibanding dengan jika diganti denda, maka besar denda yang dikenakan ialah berapa besar pendapatan orang itu per hari. Maksud ketentuan ini agar pidana (denda) menjadi adil. Untuk tiba pada denda harian individual yang lebih jitu, hakim menempuh cara – cara seperti yang dibawah ini.
a.  Kesalahan dinyatakan dan dikonversasi dalam pidana penjara menurut hari.
b.  Denda harian diperhitungkan sesuai dengan pendapatan per bulan terdakwa.
c.   Utang – utang yang ada sekarang dikurangkan
d.  Jumlah itu dibagi jumlah hari dalam sebulan.
e.  Jumlah yang ditentukan dalam bagian 1 dan 4 dikali sehingga diperoleh jumlah denda yang harus dibayar misalnya :
[ A ($300) : B (30)] * C (100) = F ($100)
A = Jumlah pendapatan per bulan
B = jumlah hari per bulan
C = jumlah hari seimbang dalam pidana penjara
F = jumlah denda yang harus dibayar
3.      Dasar pemikiran Alfons Wohl, seorang bekas jaksa federal, mempertahankan bahwa langkah pertama dalam memperbarui sistem pidana, ialah menganut ajaran bahwa pembuat delik harus dibebaskan segera setelah kelihatan dapat diterima baik oleh dia maupun oleh masyarakat.
4.      Disamping denda harian sebagai alternatif pemenjaraan, juga diadakan penundaan pidana, dikenal pula penghentian penuntutan yang dikenakan oleh penuntut umum sebagai pidana percobaan praperadilan.
5.      Pidana pokok dalam KUHP jerman hanya dua yang penting, yaitu pidana penjara yang maksimum 15 tahun atau seumur hidup, dan pidana denda sebagai alternatif terpenting. Disamping itu, dikenal pidana yang ditunda (suspended sentence).


Andi Hamzah, 2008, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Sinar Grafika, Jakarta.