Jumat, 12 Oktober 2012

DISKRESI KEPOLISIAN


Dalam sistem peradilan pidana pemidaan itu bukanlah merupakan tujuan akhir dan bukan pula merupakan satu - satunya cara untuk mencapai tujuan pidana atau tujuan sistem peradilan pidana. Banyak cara dapat ditempuh, dapat menggunakan hukum pidana maupun dengan cara diluar hukum pidana atau diluar pengadilan.Secara umum, hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.
Diskresi sebagai salah satu wewenang yang diberikan kepada Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI)  merupakan upaya pencapaian penegakan hukum, dan diskresi merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri. Di dalam Undang – undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia maupun Undang - undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, terdapat wewenang - wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk bertindak lain menurut penilaiannya sendiri.
Di negara Belanda mengenai wewenang Kepolisian dinyatakan dengan tegas oleh pengadilan tertinggi Hooge Raad dalam arrestnya pada tanggal 19 Maret 1917 bahwa tindakan polisi dapat dianggap rechmatig (sah) walaupun tanpa : “Speciale wettelijke machtinging” (pemberian kekuasaan secara khusus oleh undang - undang ) dengan pembatasan harus didasarkan kepada wewenang umum (elgemene bevoegdhied) dan harus termasuk lingkungan kewajiban - kewajiban (plichmatigheid) dari pada si petugas itu.
Di Indonesia tercantum dalam Undang – undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia pasal 18, disebutkan :
(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang – undangan, serta kode etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Wewenang untuk melakukan tindakan yang diberikan kepada POLRI umumnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu : wewenang - wewenang umum yang mendasarkan tindakan yang dilakukan polisi dengan azas Legalitas dan Plichmatigheid yang sebagian bersifat preventif dan yang kedua adalah wewenang khusus sebagai wewenang untuk melaksanakan tugas sebagai alat negara penegak hukum khususnya untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, dimana sebagian besar bersifat represif.
Unsur – unsur kewajiban sebagai syarat agar tindakan itu dianggap sah yang kemudian dikenal sebagai 4 (empat ) prinsip plichtmatigheid yang terdiri dari :
a. Notwendigkeit yaitu menginginkan adanya tindakan yang betul – betul diperlukan, tetapi juga tidak boleh dari pada apa yang seharusnya menurut kewajiban si petugas.
b. Sachlichkeit menghendaki tindakan yang zakelijk, menurut ukuran - ukuran Kepolisian tidak boleh didorong oleh motif - motif perorangan.
c.   Zweckmussingkeit ingin tindakan - tindakan yang betul - betul mencapai tujuan. Tindakan manakah dari sekian jumlahnya alternatif tidak menjadi soal, asas tujuan dapat dicapai.
d.   Verhathism assighheit menghendaki adanya keseimbangan antara cara atau alat yang dipergunakan dengan obyek dari pada tindakan, ini dilakukan agar yang ditindak tidak lebih menderita dari pada apa yang seperlunya saja.
Didalam hukum positif atau perundang – undangan tidak disebutkan secara rinci tindakan lain polisi, tetapi dalam tindakannya itu polisi dibatasi oleh undang – undang, menjadi hal yang dilematis bagi polisi, disatu sisi bertujuan mencari keadilan tetapi disatu sisi lain harus tetap mengikuti arah hukum, sehingga polisi berubah fungsi menjadi robot pemerintah, bertindak adil yang kadang terbentur nleh hukum tertulis.
Pemberian diskresi kepada polisi menurut Chambliss dan Seidman pada hakekatnya bertentangan dengan negara yang didasarkan pada hukum. Diskresi ini menghilangkan kepastian terhadap apa yang akan terjadi. Tetapi suatu tatanan dalam masyarakat yang sama sekali dilandaskan pada hukum juga merupakan suatu ideal yang tidak akan dapat dicapai. Di sini dikehendaki, bahwa semua hal dan tindakan diatur oleh peraturan yang jelas dan tegas, suatu keadaan yang tidak dapat dicapai.
Dengan dimilikinya kekuasaan diskresi oleh polisi maka polisi memiliki kekuasaan yang besar karena polisi dapat mengambil keputusan dimana keputusannya bisa diluar ketentuan perundang-undangan, akan tetapi dibenarkan atau diperbolehkan oleh hukum. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Samuel Walker bahwa: ”Satu hal yang dapat menjelaskan berkuasanya kepolisian atau lembaga lain dalam melaksanakan tugas, yaitu adanya diskresi atau wewenang yang diberikan oleh hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas sendiri”.
Sekalipun polisi dalam melakukan diskresi terkesan melawan hukum, namun hal itu merupakan jalan keluar yang memang diberikan oleh hukum kepada polisi guna memberikan efisiensi dan efektifitas demi kepentingan umum yang lebih besar, selanjutnya diskresi memang tidak seharusnya dihilangkan. Hal ini seperti pendapat yang dikemukakan oleh Anthon F. Susanto bahwa diskresi tidak dapat dihilangkan dan tidak seharusnya dihilangkan. Diskresi merupakan bagian integral dari peran lembaga atau organisasi tersebut. Namun, diskresi bisa dibatasi dan dikendalikan, misalnya dengan cara diperketatnya perintah tertulis serta adanya keputusan terprogram yang paling tidak mampu menyusun dan menuntut tindakan diskresi. Persoalannya, keputusan-keputusan tidak terprogram sering muncul dan membuka pintu lebar - lebar bagi pengambilan diskresi.
Meskipun diskresi dapat dikatakan suatu kebebasan dalam mengambil keputusan, akan tetapi hal itu bukan hal yang sewenang-wenang dapat dilakukan oleh polisi. Menurut Skolnick adalah keliru untuk berpendapat, bahwa diskresi itu disamakan begitu saja dengan kesewenang - wenangan untuk bertindak atau berbuat sekehendak hati polisi.
Tindakan yang diambil oleh polisi menurut Skolnick bahwa, Tindakan yang diambil oleh polisi didasarkan kepada pertimbangan - pertimbangan yang didasarkan kepada prinsip moral dan prinsip kelembagaan, sebagai berikut:
a. Prinsip moral, bahwa konsepsi moral akan memberikan kelonggaran kepada seseorang, sekalipun ia sudah melakukan kejahatan.
b. Prinsip kelembagaan, bahwa tujuan istitusional dari polisi akan lebih terjamin apabila hukum itu tidak dijalankan dengan kaku sehingga menimbulkan rasa tidak suka dikalangan warga negara biasa yang patuh pada hukum.
Mengingat kekuasaan diskresi yang menjadi wewenang polisi itu sangat luas, maka diperlukan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh petugas, terutama didalam menilai suatu perkara. Hal ini diperlukan guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan mengingat diskresi oleh polisi didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif pada diri polisi sendiri. Sebagai contoh didalam melaksanakan KUHAP polisi sebelum mengadakan penyidikan didahului dengan kegiatan penyelidikan. Sesungguhnya fungsi penyelidikan ini merupakan alat penyaring atau filter terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi apakah dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Untuk mencegah tindakan sewenang-wenang atau arogansi petugas tersebut yang didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif, menurut buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara polisi maka :
Tindakan diskresi oleh polisi dibatasi oleh:
1.    Asas keperluan, bahwa tindakan itu harus benar-benar  diperlukan.
2.    Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian.
3.  Asas tujuan, bahwa tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu gangguan atau tidak terjadinya suatu kekhawatiran terhadap akibat yang lebih besar .
4.   Asas keseimbangan, bahwa dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak.
Tugas pokok kepolisian secara profesional sesuai pasal 13 Undang -  undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Terkait dengan profesionalisme ini adalah juga adanya diskresi suatu profesi melakukan pekerjaannya. Diskresi ini juga ada pada setiap anggota kepolisian dalam melakukan profesinya.
Terdapat beberapa aturan perundang - undangan yang langsung maupun tidak berhubungan dengan masalah diskresi kepolisian ini. Dalam ketentuan Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP pada Pasal 7 (j), memberikan wewenang kepada penyidik yang karena kewajibannya dapat melakukan tindakan apa saja yang menurut hukum bertanggungjawab.
Konsep mengenai diskresi kepolisian terdapat dalam pasal 18 Undang undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, yang berbunyi :
(1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. 
Rumusan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum Kepolisian (plichtmatigheids beginsel) yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum. Secara umum, kewenangan ini dikenal sebagai “diskresi kepolisian” yang keabsahannya didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk tugas kewajiban. Substansi Pasal 18 ayat (1) Undang - undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian merupakan konsep kewenangan kepolisian yang baru diperkenalkan walaupun dalam kenyataan sehari-hari selalu digunakan. Oleh karena itu, pemahaman tentang “diskresi kepolisian” dalam pasal 18 ayat (1)  Undang - undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian harus dikaitkan juga dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam pasal 1, 32, dan 33 Undang - undang Nomor 2 tahun 2002 sehingga terlihat adanya jaminan bahwa petugas Kepolisisan Negara Republik Indonesia akan mampu mengambil tindakan secara tepat dan professional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
Rumusan dalam pasal 18 ayat (2) Undang - undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia merupakan rambu - rambu bagi pelaksanaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu selain asas keperluan, tindakan diskresi tetap harus sesuai dan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.Sehingga polisi memang benar-benar mempunyai wewenang untuk melakukan diskresi sebagai contoh dalam hal penyidikan seperti menghentikan, mengenyampingkan perkara atau tidak melaksanakan tindakan terhadap suatu pelanggaran, tetapi dalam batas yang telah ditetapkan dalam undang - undang.
Dengan adanya diskresi kepolisian maka akan mempermudah polisi didalam menjalankan tugasnya, pada saat penyelidikan, penyidikan atau didalam menghadapi perkara pidana yang dinilai kurang efisien jika dilanjutkan ke proses selanjutnya.



Adam Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta
Warsito Hadi Utomo, 2005, Hukum Kepolisian Di Indonesia, Prestasi Pustaka,  Jakarta
Satjipto Raharjo & Anton Tabah, 1993, Polisi Pelaku Dan Pemikir, Gramedia Pustaka  Utama Jakarta
Anthon  F Susanto, 2004, Wajah Peradilan Kita, Refika Aditam, Bandung
MABESPOLRI, 2002, Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara POLRI Di Lapangan. Jakarta.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002

Rabu, 10 Oktober 2012

KRIMINALISASI JILID II

Komisi pemberantasan korupsi (KPK) lahir sebagai amanah  reformasi berdasarkan Undang – undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kelahiran KPK merupakan semangat baru bagi bangsa Indonesia untuk menumpas habis korupsi sampai ke akar-akarnya. KPK sebagai lembaga negara agencies, dimana lembaga ini ada karena dalam penyelenggaraan oleh lembaga negara dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) tidak maksimal dalam memberantas korupsi. Jadi bisa dikatakan KPK merupakan “seketurunan” dengan POLRI.
KPK yang merupakan lembaga “superbody” , dalam perjalanannya banyak mendapatkan tantangan besar dalam memberantas praktik korupsi, masih teringat diingatan kita tuduhan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh ketua KPK Antasari, kasus ini masih menimbulkan tanda tanya publik karena diduga upaya pelemahan terhadap KPK. Tiga tahun yang lalu perseteruan antara KPK dan POLRI menjadi bukti keberadaan KPK menjadi ancaman serius bagi tikus-tikus berdasi, perseteruan yang di beri jargon “CICAK VS BUAYA” ini oleh banyak kalangan di nilai sebagai upaya kriminalisasi terhadap KPK, Konflik yang muncul ketika itu dikarenakan ada oknum polisi yang diduga terlibat kasus penyuapan oleh seorang pengusaha, setelah ini mereda berbagai serangan ditujukan terhadap KPK terus tersaji di media massa, mulai diajukannya revisi terhadap undang-undang KPK yang mengurangi kewenangan KPK, sampai yang terbaru upaya kriminalisasi terhadap penyidik KPK.
Konferesi pers yang dilakukan KPK pada Sabtu pagi pukul 01.00 WIB yang kemudian diiukuti oleh konferesi pers POLRI menjadi pertanda dimulainya genderang perang antara KPK vs POLRI jilid II. Kedua kubu memberikan keterangan berbeda yang membuat perang semakin panas. setelah Irjen. DS dipanggil KPK karena diduga terlibat kasus korupsi simulator SIM, malam harinya kantor KPK dipenuhi oleh anggota kepolisian yang ingin menangkap Komisaris Polisi Novel Baswedan yang merupakan penyidik simulator SIM, dimana melibatkan pejabat POLRI, Novel di tuduh telah melakukan penganiayaan pada tahun 2004.
LAGI-LAGI UPAYA PELEMAHAN KPK
            Kriminalisasi jilid II ini dinilai rakyat merupakan “serangan balik” terhadap tindakan KPK yang sebelumnya memeriksa anggota POLRI, terlepas dari tuduhan tindak pidana yang dilakukan oleh Novel, ada beberapa fakta yang harus kita uraikan. Yang pertama, upaya penangkapan ini bersamaan dengan pemeriksaan terhadap anggota POLRI yang dituduh terlibat dalam kasus simulator SIM. Yang kedua, tuduhan tindak pidana yang dilakukan Novel tempos delictusnya adalah tahun 2004. Yang ketiga, Novel merupakan salah satu penyidik terbaik yang dimiliki KPK. Ketiga fakta ini cukup membuka mata publik, bahwa upaya penangkapan terhadap penyidik Novel sarat dengan muatan politik atau kepentingan, karena cara dan waktunya tidak tepat, yang disebut oleh wakil KPK Bambang Widjayanto sebagai upaya kriminalisasi terhadap sebagian penyidik KPK.
Sungguh suatu hal yang sangat ironis, bahkan melahirkan banyak stigma dimasyarakat terhadap citra POLRI, terlepas dari banyaknya prestasi  POLRI, namun persengketaan antar kedua lembaga yang sama-sama sebagai law enforcement semakin memanas, bahkan Presiden dinilai kembali lamban menyelesaikan konflik ini. Padahal peran Presiden sangat penting sebagai orang Nomor Satu di Negeri ini.
KPK dan POLRI seharusnya bekerja sama untuk memberantas wabah korupsi yang semakin hari semakin mengkhawatirkan, tapi kenyataannya dua lembaga yang seketurunan ini, malah terlibat konflik, padahal jelas para penyidik di KPK adalah anggota kepolisian. Persengketaan terjadi bukan karena persoalan kewenangan, namun bisa jadi karena ketakutan dari POLRI atau hanya ingin melindungi, atau hanya bentuk  “balas dendam” karena KPK memeriksa seorang jenderal, apapun itu POLRI dan KPK sama-sama mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terhadap penumpasan korupsi, pemeriksaan jendral itu juga sebagai langkah untuk membersihkan institusi POLRI dari image negative, oleh karena itu ego dari masing-masing lembaga dan sentimental harus segera dimusnahkan.
RAKYAT BERSAMA KPK
Ditengah krisis kepercayaan yang dialami masyarakat terhadap penyelenggara negara, lembaga negara yang notabene penegak hukum, pengayom dan pelindung masyarakat kembali berulah, kebencian masyarakat semakin memuncak terhadap POLRI, polisi yang seharusnya beriringan melawan korupsi melakukan “manuver illegal” terhadap KPK, seharusnya kasus ini bisa diselesaikan secara internal, tidak dibiarkan naik kepermukaan yang melibatkan publik, sehingga publik semakin tidak apresiasi terhadap POLRI, apa yang terjadi kemarin, seolah membuktikan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang sengaja menciptakan konflik untuk melemahkan KPK, ada aktor yang bermain dibalik layar, namun sekali lagi, masyarakat Indonesia akan tetap mendukung KPK untuk menjalankan tugasnya, terbukti pada waktu konferesi pers Sabtu pagi rakyat memenuhi gedung KPK untuk memberi dukungan moril, karena ke depan akan banyak kasus-kasus yang harus diungkap oleh KPK demi menyelamatkan bangsa Indonesia agar tidak “mati suri”, bahkan bisa di label sebagai Negara yang GAGAL. Akan sangat membahayakan apabila Negara-negara lain menyaksikan Indonesia dalam keadaan mati suri, yang nantinya mereka akan menjajah dengan bentuk kolonialisme modern, karena ulah perampok-perampok uang Negara. Masyarakat rindu akan datangnya perubahan, KPK merupakan satu-satunya lembaga yang dipercayai masyarakat saat ini, oleh karena itu sudah saatnya lembaga-lembaga negara lain menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat, antar lembaga harus saling berintegrasi, dan tanggungjawab ini menjadi tanggungjawab bersama, baik dilevel lembaga negara maupun kita semua, yang mencintai negara kesatuan Republik Indonesia.

Senin, 08 Oktober 2012

MENGAPA KORUPSI SUBUR?


        Korupsi yang terus menggerogoti bangsa Indonesia saat ini tidak henti – hentinya dibicarakan, mulai kalangan akademisi, tayangan televisi, koran, majalah, sampai “obrolan warung kopi”, tetapi semakin ramai dibicarakan korupsi semakin meraja lela.  Korupsi sudah menjadi budaya buruk di negeri ini, sudah menyentuh semua lini kehidupan, dari atas sampai kebawah, semuanya sudah terkontaminasi, Dewan Perwkilan Rakyat (DPR), Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Pejabat pemerintah pusat maupun daerah bahkan sampai pejabat desa sekalipun, Birokrasi, Swasta dan lainya, para pejabat ini berdiri paling depan dalam mengumandangkan “berantas korupsi”, namun mereka pula yang mencari celah untuk menyuburkan korupsi, dengan berbagai modus baru agar tidak dapat dijangkau oleh hukum, tidak ada salahnya para pengamat mengatakan, “ bagaimana membersihkan kalau sapunya sendiri kotor”, rakyat kecil sebagai korban utama sudah menyerah dengan keadaan ini, mereka sudah benar – benar menderita dan akhirnya sudah tidak ada kepercayaan lagi yang diberikan oleh rakyat kepada penyelenggara negara. Korupsi sebagai extra ordinary crime benar – benar merusak bangsa ini sampai ke akar – akarnya, korupsi terus menyebar bagaikan virus, entah vaksin apa yang bisa melumpuhkan dan perlahan membunuhnya, semakin besar usaha memberantasnya semakin deras pula gelombang korupsi yang terjadi di bangsa ini. Hampir tidak ada celah untuk menutupi geraknya, namun bukan tidak mungkin, apabila bangsa ini terus membiarkan korupsi berkembang biak maka bangsa ini akan terus menjadi pesakitan.  
            Korupsi bukan gejala baru di Indonesia, jauh sebelum Indonesia merdeka, para pendahulu bangsa sudah melegalkan praktik korupsi dalam lembaga konvensional pemerintahan mereka sendiri. Kehancuran kerajaan - kerajaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram adalah karena perilaku korup sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya penerus kerajaan sepeninggal Bala Putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (Perang Paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda. Semua kehancuran itu terjadi karena praktik korupsi yang berjalan dalam sistem kehidupan sosial Lebih luas lagi, bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda pun gemar berkorupsi ria di institusinya. Kita tahu penyebab hancur dan runtuhnya VOC (berdiri pada Maret 1602) juga karena praktik korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korupsi dan langsung dipulangkan ke Belanda. Kongsi dagang Belanda ini dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799 dengan utang sebanyak ±136,7 juta gulden.
            Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang nyaris seumur dengan usia kemerdekaan. Pada dekade 1950-an, kita mengenal Jaksa Agung Soeprapto yang gigih melakukan berbagai gebrakan pemberantasan korupsi sejak awal sampai akhir dekade tersebut. Pemberantasan korupsi bahkan pernah melibatkan operasi militer, yakni untuk membasmi sebuah korupsi logistik pada tahun 1957. Sedangkan dimasa Orde Baru, Presiden Soeharto pernah setidaknya lima kali membentuk tim pemberantasan korupsi.Dimasa ini pula untuk pertama kalinya undang – undang tentang korupsi lahir, yaitu Undang – undang Nomor 3 Tahun 1971. Pada era reformasi pasca jatuhnya rezim presiden Soeharto dikeluarkannya Undang – undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sebagai langkah awal pemerintah untuk memerangi tindak pidana korupsi, selanjutnya lahir Undang – undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah dengan Undang – undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai upaya lebih lanjut lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang – undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada tahun 2009 pemerintah mengeluarakan Undang – undang Nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang sekarang menjadi dipermasalahkan oleh beberapa kalangan, termasuk ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, agar pengadilan tindak pidana korupsi di daerah dibubarkan, karena melihat banyaknya terdakwa korupsi yang diputus bebas serta indisipliner para pejabat pengadilan tipikor daerah.
              Beberapa undang – undang yang telah dikeluarkan pemerintah tersebut tidak mampu menangkis perilaku korupsi yang terus menjamur. Data dari ICW (Indonesia Corruption Watch) yang dikutip dari Vivanews tertanggal 4 Agustus 2010, merilis bahwa ICW mendapati 176 kasus korupsi yang ditangani aparat hukum di level pusat maupun daerah. Nilai kerugian negara dalam kasus - kasus itu ditaksir mencapai Rp 2,102 triliun. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun 2009, tercatat hanya ada sebanyak 86 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp1,7 triliun. ICW juga mencatat jumlah pelaku korupsi yang telah ditetapkan sebagai tersangka di semester I tahun 2010 ada 441 orang, sedangkan sepanjang tahun 2009 hanya 217. Data dari Januari hingga Agustus 2011 perkara yang ditangani oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi Negeri, Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri seluruh Indonesia yang dikutip dari Republika jumlah perkara tindak pidana korupsi di Tanah Air yang memasuki tahap penyidikan mencapai 1.018 kasus, perkara tindak pidana korupsi yang memasuki tahap penyelidikan sebanyak 357 kasus. Dari seribuan perkara korupsi tersebut, terdapat 825 perkara tindak pidana korupsi memasuki tahap penuntutan.
              Data dari ICW dan Kejaksaan tersebut menunjukan adanya peningkatan kasus tindak pidana korupsi dari tahun 2009 sampai 2011. Namun, yang lebih mengherankan publik, hasil survei dan data tersebut tidak diiringi dengan perubahan pola penegakan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, para koruptor yang menjadi terdakwa lolos (bebas) dari jeratan hukum, survei yang dilakukan oleh The World Justice Project pada Juni tahun 2011, rangking supremasi hukum Indonesia di dunia tercatat dalam peringkat 47 dari 66 negara, Indonesia berada di urutan kedua paling bawah dari negara - negara Asia Pasifik dalam pemberantasan korupsi.Komisi Pemberantas Korupsi yang berada dibaris depan menindak para pelaku korupsi pada awal kelahiranya merupakan momok yang paling menakutkan bagi para koruptor, tetapi lagi – lagi akal koruptor ternyata lebih pintar. Memang, kejahatan dan kriminalitas tidak akan bisa hilang dibelahan manapun didunia ini, seperti yang dipaparkan oleh Todung Mulya Lubis pada akhir kuliah umumnya di Universitas Brawijaya tanggal 10 November 2011, “Seberapa banyak KPK, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, tidak akan mampu menghilangkan korupsi 100% karena perilaku korupsi sudah sistemik dan endemik”, korupsi merupakan extra ordiary crime yang memerlukan penanganan secara khusus. Penegak hukum dan substansi undang – undang dengan sistem pemidanaannya merupakan faktor yang memiliki andil sangat besar dalam mempengaruhi penegakkan hukum.
              Menurut Soedarto, masalah pemidanaan merupakan masalah yang kurang mendapat perhatian dalam perjalanan hukumnya, bahkan ada yang menyatakan sebagai anak tiri (Maurach). Padahal syarat – syarat yang harus dipenuhi untuk memungkinkan penjatuhan pidana, maka masalah pidana dan pemidanaan merupakan masalah yang sama sekali tidak boleh dilupakan. Bagian yang terpenting dari suatu Kitab Undang – undang Hukum Pidana adalah stesel pidananya.
              Di Indonesia dalam Undang – undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tercantum pidana mati, tetapi sistem pemidanaan ini terlalu lemah sehingga tidak efektif karena ancaman pidana mati hanya berlaku apabila korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, dalam penjelasan pasal 2 ayat (2) disebutkan, “Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana - dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi”. Pemberlakuan sistem pemidanaan dalam pasal ini masih jauh dari efektif terbukti para pelaku koruptor masih bisa mencari celah dengan adanya pasal ini. Parameter dari produk hukum (undang - undang) adalah tercapainya keadilan dan kesejahteraan masyarakat, undang – undang tindak pidana korupsi yang dikeluarkan pemerintah jauh dari kesejahteraan dan harapan masyarakat.



Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung
Todung Mulya Lubis, Membatasi Transaksi Tunai, Memberantas Korupsi, Kuliah Umum Universitas Brawijaya, Malang, 10 November 2011

Senin, 01 Oktober 2012

MODERN CRIMINOLOGY

Kinds of crime and deviance
Our discussion proceeds generally from the most to the least serious forms of crime and deviance. it needs to be emphasized, however, that the designation of seriousness is empirically, rather than ethically, determined. some studiest of crime and deviance point out that unethically but noncrimenal business practices are often morally more serious than rapes, robberies, or even murders of individuals. they argue, for example, that unethical multinational business arrangements can create conditions of poverty, inhumanity, degradation, and famine . the role of the Nestle corporation in exporting milk formulas for babies to third world countries where they increased the nutritional problems of already endangered children is a graphic illustration. from an ethical viewpoint, these arguments are extremely important. however, our purpose here is not to create a  universal scale of immorality. our goal is to  describe and explain the institutionalization and the violations of the norms of an existing social order. the results of this approach will likely be relevant to, although not sufficient for, the formation of moral judgments.
Criminal forms of deviance
The forms of deviance regarded s most serious are defined by law as criminal. However, this should not be taken to mean that there is permanence to such designations. We have made the point repeatedly in this chapter and the preceding one that conceptions of crime change. Berket al. (1977) have made this point in a unique why by actually classifying and counting changes made in the california penal code between 1955 and 1971. In doing this, all laws affecting the kinds of behavior labeled “illegal” were taken into account, with particular attention given to whether the net effect was to bring more or less bahavior under control. Among the results is a graphing of the cumulative changes for all behaviors included or excluded from the california code over this period. Perhaps the most important finding apperent from this exercise is that for no part of this period was the overall net effect of the state legislature’s actions to decriminalize behavior. That is, while specific kinds of behavior were taken out of the code during this period, the overall effect was to increase the range of behavior included. As we will see, a variety of different kinds of behaviors are liable to this fate.
The consensus crimes
Our attention is directed first to the crimes that concern most of us ,the more visible, predatory crimes. Legal philosophers at one time characterized such acts of deviance as mala en se- “ wrong in themselves”. However, model sociologist emphasize that few, if any, human behaviors are universal or timeless in their criminal character. Nonetheless, for several centuries most western societies have shown considerable consensus in designating  as criminal a select group of behaviors. Among the most easly listed of these offenses are premeditated murder, forcible rape, and kidnapping for rancom.
The pioneering work this kind was done by  sellin and wolfgang (1964). Using samples of judges, police, and college students in philadelphia, they obtained ratings of the seriousness of  141 offenses. A subgroup of fifteen offenses was then selectedfrom the larger list and supplemented with descriptions of the consequences to victims of the criminal acts. A set of fifteen descriptions of these criminal acts and scale scores for each resulted, along with tho major conclusions. The first conclusion was that respondents were able to complete the rating tasks rather easily, sugessting that people make judgments of this kind in their everyday lives. The second conclusion was that there was considerable agreement among subgroups about both the relative ordering of criminal acts and the scale scores given.
Another major piece of research of this kind is reported by rossi et al. (1974) from a survey of an adult  population drawn from baltimore, maryland. This survey finds that in a sample of 200 adult there is  very substantial agreement on the relative seriousness of 140 0ffenses, including various kinds of white – collar as well as more conventional crimes. The seriousness rankings are reproduced in table 2-1. The first is that education and youth are correlated with the overall sample means. That is the,  more  highly educated and the younger the respondent, the more likely they are to agree with average  ratings computed over the entire sample.
The second finding of note is that less-educated blacks are the subgroup most deviant from the overall consensus-especially in regard to their lower seriousness rankings of interpersonal violence between people who know one another.
Social scientists have two different empirical conditions in mind when they speak of consensus and conflict. They refer first to sentiments of the general population on a particular issue, as measured, for example, by a frequency distribution of attitudinal expressions indicating what proportion of a group as a whole approves or disapproves of a particular behavior. They refer second to the attitudes of specific status groups, as related to a particular issue and indicated by some measure of association, for example , the difference in the percentage of black as contrasted with white americans who approve of of assault. Using both of these criteria, consensus can be said to exist where a population generally is agreed in its attitudes and where these attitudes are related weakly, if at all, to few, if any, status-group memberships. In contrast, conflict can be said to exist where attitudes are related more widely and more strongly to status group memberships. Using these criteria, criminal behaviors can be located relative to one another and with reference to an overall continuum of attitudes toward criminal behaviors. Our position is that “consensus crimes” are located toward one end of this continuum, while “conflict crimes” are located toward the other. We talk further about the conflict crimes below.
Meanwhile, it is essential to note that the group of behaviors we have called “consensus crimes” is neither immutably nor permanently criminal. Nonetheless, the fact that some behaviors have been consensually defined as crimes for successive generations makes them of primary interest to some criminologists.
The conflict crimes
Continuing controversy surrounds the presence of many offenses in our criminal codes. These crimes are sometimes referred to as mala prohibita, or “wrong by prohibition” for example, as proscribed and punished by statute. As one moves away from the statutes, however, it becomes clear that public opinion is divided about the appropriate status of such offenses. Most importantly, social class and interest groups are the frequently cited roots of such conflict. The sociological concern is that the criminal law may be used by one class or interest group to the disadvantage  of another. Included in a noexhaustive list of the conflict crimes are the public disorder offenses ( malicious mischief, vagrancy, and creating a public disturbance), chemical offenses (alcohol and narcotics offenses), political crimes (treason, sedition, sabotage, espionage, subversion, and conspiracy ), minor property offenses (petty theft, shoplifting, and vandalism) and the “right to life” offenses (abortion and euthanasia). The feature that unites these offenses is the public debate that surrounds them.this is a different why of saying that we lack societal consensus on the dimensions of public disorder, use of comforting chemical, permisible politic, the protection of private property, and the limits of life. Lacking a consensus, many of us, given the opportunity or need, may feel free to deviate,
It is not surprising, then, that criminologists ussualy are lesr interested in asking why individuals are involved in conflict crimes, and are more concerned with the reasons why such persons are considered criminals by law. We will argue in following chapters that the theories of  overcontrol are well suited to adress this question. These theories can be helpful in explainig the status of the noncriminal forms of deviance we consider brefly next.
Noncriminal forms of deviance
Not all forms of deviance are designated as criminal, yet many noncriminal forms of deviance are treated in ways analogous to those required by criminal law, while other forms of non criminal deviance are not. In general, the more serious a noncriminal form of deviance is considered, the more likely it is to be treated in a criminal fashion. Because our scientific interest is as much in behavior and its treatment as in its stated definition, and because these form of noncriminal deviance constitute a pool of behaviors that in the past may have been, or in the future may become, criminal, they noncriminal forms of deviance also are an important source of concern for criminologists. Two types of noncriminal deviance concern as : what we call the “social deviations” and the “social diversions”.
The social deviations
Although social deviations are sometimes threated as if they were criminal, there are clearly some very important differences. The most frequent of these deviations are of three types : adolescent (juvenile delinquency), vocational (noncriminal violations of public and financial trust ), and interpersonal (psychosocial  disturbances). The feature that unites these experiences is that although they are not considered criminal, they are nonetheless considered disreputable. Of particular interest is the stigma that may follow contact with noncriminal agencies of social control, and how this stigma may compare to the consequent to processing by agensies of crime control. Noncriminal agencies typically attempt to minimize their stimatizing effects. Juvenile courts “treat” rather than convict  “deliquents” ; professional bodies “suspend” and “expel” occipational “violators” ; civil courts “process technical violators” ; and psychiatric agencies protect the identities of their “patients.” These efforts vary in their effectiveness, and sociologists and criminologists have been particularly interested in determining how access to personal  resources and professional protection affect the outcomes. For example, in an innovative piece of research, schwartz, and skolnick (1964) have demonstrated that while doctors can be found in malpractice without experiencing a loss of income, “common criminals” encounter a stigma that makes earning their future livelihoods difficult. This study illustrates how significant the distinction between criminal and noncriminal forms of deviance can be, and the relevance to criminology of their comparative study.
The social diversions
The social diversions are regarded as less serious forms of deviance, and consequently are less likely to be criminalized. Included among the social diversions are varied expressions of preferences with regard to sex, clothing, language, and leisure. We included them in our discussion partly for the sake of completeness, but also because they too are occasionally liable to criminalization, and because they display some significant parallels to things called “criminal” . they latter point has been made in a number of intereseting ways. Sykes and Matza (1961), for example, note that in our society there is a set of “subterranean values,” including the search for adventure, excitement, and thrills, that exists alongside such comformity producing values as security, routinization, and stability (see also Davis, 1944; veblin, 1967). A result is that the lines drawn between crime, deviance and divertion in our society are uncertain and subject to change. It is to the prospect of change that that we turn last.
The comings and goings of crime
In this chapter we have cinsidered a wide range of criminal and deviant acts, from the less frequent consensual crimes to the much more common social diversions. We have argued that among the varieties of devience, the criminal forms are the more serious, and the noncriminal forms less so. This conclusion is not based on our own moral evaluation of the acts involved, but rather it is based on an index meansuring the perception of harm, agreement about the norm, and the severity of societal response to infractions. Most significantly, however, we have emphasized that the location of persons and acts within subcategories of this scale necessarily will vary by time, place, and circumstance. In other words, behaviors will be variably located on this scale according to the context considered. Further discussion of an example introdused at the beginning of the chapter may help to confirm this point.
During the early 1960’s, as the vietnamese war gradually became an american war, enforcement of the selective service act became an increasingly important responsibility of the federal distric courts. During this early period, there was widespread acceptance of the selective service act a necessary part of american life, providing enforcement of the statute with the type of support we have associated with consensus  crimes (cook, 1977). It was generally agreed that violation of the act was wrong, that such violations were harmful to the nation and its defense, and that severe penalties, such as imrisonment, were required for effective enforcement. However, by 1969, thee mood of the nation had changed, and support of the act had so diminished that violation of the statute now took on the character of a conflict crime. There was no longer public agreement that such violations were wrong; instead they were increasingly thought to be consistent with, rather than harmful to, the national interest, and imprisonment was increasingly thought to be an inappropriate sentence for violators. Nonetheless, the selective service act was never repealed. Instead, federal court judges whose responsibility it was to enforce this now unpopular law turned to the use of probation. Thus in a prominent American city where much of the draft-resistence effort was focused, Hagan and Bernstein (1979) report that from 1963 through 1968 the use of imprisonment rate of 76.8 percent. However, between 1968 and 1969, the imprisonment rate decreased from 72.7 percent to 42.9 percent, and from 1969 through 1976, the overall imprisonment rate was 33.7 percent. Duringthe latter period, the most common disposition was probation. By the end of the vietnamese war, almost alt draft offenders were receiving probation.t
The point of the above discussion is not that draft resistance is a good or bad thing, moral or immoral. The point is that over time the public evaluation of the seriousness of selective service violations changed in a measurable way, and doubtless it will change again as time and circumstance demand. The approach to the definition of crime and deviance presented in this chapter allows us ti take changes of this kind into account. Recognition and study of such changes are an important part of modern criminology, and therefore of our approach to the definition of its subject matter.
We have consideredcincsome detail, then, the various kinds of crime and deviance and the more general link between law and morality. In doing so we noted briefly a fundamental division of views as to whether las is the product of consensual morality or of a conflict Between moralities. Our approach to the definition of crime and deviance, with its enumeration of consensus crimes and conflict crimes, implies that both processes are at work. Following chapter we examine this issue in greater detail by focusing on the way in which specific kinds of criminal laws have come into being.

*From : Jhon Hagan, Modern Criminology, Crime, Criminal Behavior, and its Control, University of Toronto, McGraw-Hill Book Company.