Kamis, 12 September 2013

HUKUM PROGRESIF

MEMAHAMI HUKUM SECARA HOLISTIK

Oleh: Taufan, S.H.,M.H
         
Pemahaman hukum apabila berhenti pada pemahaman norma hukum(normwissenschaft) maka hukum akan mengalami suatu kemandekan. Praktek hukum di Indonesia saat ini masih didominasi oleh positivisme hukum. Hukum yang seharusnya merepresentasikan nilai-nilai masyarakat yang tercermin dalam Ideologi Pancasila beralih kepada produk politik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sarat dengan kepentingan partai politik. Hukum tidak lagi berasal dari masyarakat, pengaruhnya adalah hukum tidak mampu dan tidak efektif dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, sudah menjadi “patologi” bangsa ini dalam keterlambatan hukum membaca perkembangan perilaku manusia dan arah pola pikir manusia, hukum di Indonesia selalu terlambat membaca arah pertumbuhan dan perkembangan manusia, kemajuan yang pesat seringkali menimbulkan kekaburan, pertentangan ataupun kekosongan hukum, yang seharusnya tidak dipermasalahkan, keterlamabatan hukum itu seharusnya dijadikan sebuah momentum untuk memberikan peran yang lebih terhadap para penegak hukum, yang lebih tepatnya apabila mengutip pendapat Prof.Satjipo Rahardjo, penegak hukum seperti polisi, jaksa, maupun hakim harus bertindak progresif, menerobos positivisme hukum (rule breaking) untuk mencapai suatu keadilan maupun kemanfaatan hukum.Polisi memiliki kewenangan diskresi yang bisa dioptimalkan, dengan memperhatikan batasan-batasan nilai moral masyarakat, jaksa juga memiliki hak deponeering yang seharusnya bisa digunakan, dan juga hakim dapat menerapkan metode penemuan hukum (rechtvinding) yang oleh undang-undang juga diberikan kewenangan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, peraturan perundang-undangan tidak lengkap dan tidak jelas, kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu peraturan perundang – undangan dengan tuntas dan jelas. Senada dengan itu, Satjipto Rahardjo berpendapat, dalam sejarah dijumpai munculnya bentuk – bentuk kejahatan baru yang tidak siap dihadapi oleh perundang – undangan yang ada. Beliau berpendapat, salah satu sifat penting dari hukum tertulis terletak pada kekakuanya (Lex dura sed tamen scripta – hukum itu keras/kaku, tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, maka perhatian bergeser kepada pelik – pelik pengunaannya sebagai sebuah dokumen tertulis. Lebih jauh beliau mengatakan hukum, perundang – undangan, atau peraturan pada umumnya dirancang berdasarkan asumsi – asumsi tertentu.
Sulit ditemui penegak hukum yang menggunakan moralnya untuk membaca teks hukum, untuk itu disamping memerlukan penegak hukum yang jujur, maka penegak hukum juga harus berani, berani mengutamakan kemanfaatan dan keadilan diatas kepastian hukum, serta berani melawan kepentingan. Harus diakui, memang praktik peradilan kita terlalu kaku, dalam artian masih menganut asas legalitas yang menjadi ciri utama aliran positivis, “ Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege punali ”, dimana segala perbuatan tidak dapat dipidana sebelum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur.
Undang – undang yang berasal dari organ (badan, lembaga) otoritas publik yang berwenang melakukan pembentukan aturan, hukum yang  tertulis, adalah bukan satu – satunya hukum yang mempunyai arti sebagai sumber hukum. Juga pada hukum yang tidak tertulis dapat diberikan arti. Yang dipandang sebagai aturan – aturan hukum tidak tertulis adalah aturan – aturan yang disimpulkan dari kecermatan kemasyarakatan, pandangan tentang pergaulan antara sesama warga masyarakat, pandangan – pandangan tentang moral dan kesopanan dan pandangan – pandangan tentang kewajaran dan kelayakan. Kepentingan dari sebuah pelaksanaan peradilan yang baik yang bertumpu  pada kebenaran kadang – kadang harus dikesampingkan demi kepentingan kepentingan kemasyarakatan yang lain.
Hukum di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, seperti yang dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman, ada tiga yang mempengaruhi keberlakuan hukum, yaitu substansi, struktur dan kultur. Tentunya seluruh masyarakat sudah tahu, bahwa struktur penegak hukum kita merupakan faktor utama yang menjadi penyebab terhambatnya pencapaian keadilan, keteraturan akan semakin jauh apabila struktur hukum tidak mampu memahami substansi hukum, struktur hukum di Indonesia harus diakui masih memahami hukum sebatas perundang-undangan tertulis, sistem pendidikan hukumpun menawarkan hukum sebatas norma, sehingga hasil dari pendidikan hukum yang normatif ini membawa pengaruh terhadap struktur hukum yang normatif pula. Keresahan ini yang menjadikan Prof. Satjipto Rahardjo mengembangkan pemikiran hukum progresif.
Dalam pembangunan hukum, upaya pencapaian penegakan hukum tidak terbatas pada adanya aturan yang bersifat normatif saja, sejak hukum itu memasuki era hukum tertulis yang menjadi salah satu ciri hukum modern, panggung hukum berubah menjadi panggung hukum tertulis dan menjadi sebuah skema. Hukum sebagai skema adalah hukum sebagaimana dijumpai dalam teks atau perundang – undangan atau hukum yang dirumuskan dengan sengaja secara rasional, disini hukum sudah mengalami pergeseran bentuk dari hukum yang muncul secara serta merta (interactional law) menjadi hukum yang dibuat dan diundangkan (legislatet law).
Pengakuan terhadap hukum yang holistik akan membawa implikasi pemikiran yang obyektif, memberikan ruang terhadap hukum-hukum yang tidak dilirik oleh para legislatif yaitu kearifan lokal (local wisdom). Konsitusi telah mengakui kearifan lokal dan masyarakat adat sebagai bagian dari hukum nasional dalam pasal 18H UUD RI 1945, walaupun mempunyai tendensi mengenyampingkannya. Setelah amandemen pengakuan terhadap kearifan lokal mengalami pergeseran bentuk yang terkesan mematikan perlahan hukum adat. Hukum negara (State Law) memang sangat mendominasi hukum nasional kita yang bisa disebut legal centralism. Pluralisme hukum (Legal pluralism) menjadi wacana yang terpinggirkan, masih kalah perkasa oleh keperkasaan state law.
Pluralisme Hukum adalah suatu keniscayaan, sementara sentralisme hukum merupakan suatu mitos, utopia, klaim, bahkan ilusi. Namun tak dapat disangkal bahwa ideologi sentralisme hukum telah begitu menguasai alam pikiran para ahli hukum dan ahli kajian sosial. Ideologi ini telah, menina-bobokan mereka, hingga para ahli tersebut menjadikan sentalisme hukum sebagai pijakan dasar dalam pengembangan teori hukum dan kajian sosial.
Fungsi hukum ialah memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak – hak manusia, mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Ketiga tujuan ini tidak saling bertentangan, tetapi merupakan pengisian satu konsep dasar, yakni bahwa manusia harus hidup dalam suatu masyarakat, dan bahwa masyarakat itu harus diatur dengan baik. Namun, Otoritas positivisme hukum akan mengakibatkan pencapaian keadilan dan kemanfaatan semakin jauh, positivisme hukum seharusnya diimbangi oleh penghargaan terhadap nilai-nilai masyarakat, karena pandangan yang parsial akan mengakibatkan ketimpangan, pemahaman hukum harus secara holistik, tidak mengaburkan nilai-nilai dari mana hukum itu berada, karena hukum ada karena adanya masyarakat, ibi societas ibi ius.



Referensi :
Sudikno Mertokusumo, 2010, Penemuan Hukum, Universitas Atmajaya, Jogjakarta.
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakkan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta.
J. A. Pontier, 2008, Penemuan Hukum, Penerjemah B. Arief Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung.
John Griffiths, 2005, Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual, dalam Pluralisme Hukum : Sebuah Pendekatan Interdisiplin, Huma, Jakarta.
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Bandung.


POLITIK HUKUM SISTEM INFORMASI LINGKUNGAN HIDUP

Oleh: Taufan, S.H.,M.H
       
            Tujuan negara berhubungan erat dengan organisasi dari negara tersebut. Jadi kalau suatu negara itu bertujuan untuk mencari kepuasan yang sebesar-besarnya, maka susunan dari organ-organnya, cara bekerja dari organ-organ tersebut, serta perhubungan dari organ-organnya akan berlainan sekali dengan suatu negara yang tujuan negaranya bukan mencari kepuasan.
           Dalam pembentukan hukum oleh negara, tentunya hukum mempunyai sasaran yang ingin dicapai, tidak ada satupun peraturan perundangan dibuat tanpa adanya tujuan, ada tujuan yang ingin dicapai oleh hukum. Dari kacamata teori barat, tujuan hukum dimulai pada teori etis yang mengatakan tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan keadilan (justice), teori utilistis yang dianut oleh Jeremy Bentham tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan kemanfaatan (Utility), dan teori legalistik tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan kepastian hukum (legal certainty). Dalam perkembangannya lahir pula teori prioritas baku yang menggabungkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian sebagai tujuan hukum, serta disempurnakan oleh teori prioritas kasuistik yang menambahkan dengan urutan prioritas, secara proposional, sesuai dengan kasus yang dihadapi dan ingin dipecahkan.
1.  Pembangunan Hukum
           I Wahan Sudirta berpendapat bahwa ada dua macam strategi pembangunan hukum yang akhirnya sekaligus berimplikasi pada karakter produk hukumnya yaitu pembangunan hukum “otodoks” dan pembangunan hukum “responsif”, strategi pembangunan hukum harus mengakomodasi politik hukum daerah agar menghasilkan hukum yang responsif, tanggap terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok sosial dan individu dalam masyarakat.
           Pembangunan hukum harus berangkat dari nilai-nilai Pancasila, karena pada hakikatnya pancasila merupakan tonggak konvergensi berbagai gagasan dan pemikiran mengenai dasar falsafah kenegaraan yang didiskusikan secara mendalam oleh para pendiri negara. Pancasia menjadi kesepakatan luhur (modus vivendi) yang kemudian ditetapkan sebagai dasar ideologi negara. Dalam hal ini, pancasila menjadi dasar rasional mengenai asumsi tentang hukum yang akan dibangun sekaligus sebagai orientasi yang menunjukan kemana bangsa dan negara harus dibangun.
           Dengan demikian, Pancasila merupakan sebuah kesepakatan dan konsesus untuk membangun satu bangsa satu negara, tanpa mempersoalkan perbedaan latar belakang yang ada, baik agama, ras, suku, budaya, bahasa dan lainnya. Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi rechtsidee (cita hukum) yang harus dituangkan didalam setiap pembuatan dan penegakkan hukum. Notonegoro menyatakan bahwa Pancasila menjadi cita hukum karena kedudukannya sebagai pokok kaidah fundamental negara (staatsfundamentalnorm) yang mempunyai kekuatan sebagai grundnorm. Sebagai cita hukum, pancasila menjadi bintang pemandu seluruh produk hukum nasional, dalam artian semua produk hukum ditujukan untuk mencapai ide-ide yang dikandung Pancasila.
2.  Pembangunan Hukum Lingkungan
           Dalam pembangunan hukum lingkungan di Indonesia, ditandai lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 yang kemudian dirubah oleh Undang-undang Nomor 23 tahun 1997, dan yang terakhir adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. Hukum lingkungan di Indonesia terus berkembang, pembangunan hukum lingkungan memang sering berbenturan dengan pembangunan ekonomi nasional. Dalam pembangunan hukum lingkungan nasional, selain mengacu pada Pancasila, Indonesia juga terikat dengan PBB, yang berarti apabila adanya kesepakatan dalam konferensi yang dilakukan oleh PBB, maka Indonesia wajib merativikasi kedalam sebuah peraturan perundang-undangan.
           Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa ikut aktif dalam berbagai organisasi internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup .Di era globalisasi saat ini ,interaksi masyarakat dunia tidak lagi dibatasi oleh jarak ,dan kondisi saling membutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan semakin terasa .Saling bersepakat di antara negara-negara dibidang lingkungan hidup sudah merupakan suatu kebutuhan ,karena kualitas hidup manusia ditentukan oleh kualitas bumi tempat mereka berpijak .Globalisasi membuat negara-negara di dunia saling tergantung satu dengan yang lain .Antara negara yang satu dengan negara lainnya saling membutuhkan .Indonesia yang meskipun kaya dengan sumber daya alam ,tapi karena jumlah penduduknya yang besar dan pendapatan perkapita yang masih rendah ,tidak dapat mengatasi masalah tersebut tanpa berinteraksi dengan negara lain. Oleh karena itu sangatlah penting bagi indonesia ikut aktif dalam berbagai pergaulan dunia ,termasuk yang berkaitan dengan persoalan –persoalan lingkungan hidup. Apalagi isu lingkungan seringkali dikaitkan dengan berbagai persoalan politik.
           Konferensi Stockholm 1972 yang membahas isu lingkungan hidup dan menyepakati 26 prinsip pengelolaan lingkungan yang dikenal dengan Deklarasi Stockholm ,dimana indonesia ikut aktif di dalamnya ,telah memengaruhi kebijakan politik hukum lingkungan di Indonesia .Untuk pertama kalinya Presiden Soeharto membentuk Kementrian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, yaitu Prof Dr Emil Salim diangkat sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup ,dengan prioritas kerja berupa peletakan dasar-dasar kebijaksanaan “membangun tanpa merusak “,agar lingkungan dan pembangunan tidak saling beertentangan .Pada Pelita IV ,bidang lingkungan hidup berada dibawah Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Men –KLH ) ,dengan prioritas kerja menciptakan keserasian antara program kependudukan dan lingkungan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah indonesia bersungguh-sungguh melakukan pembangunan berwawasan lingkungan, sebagaimana konsep pembangunan yang diinginkan masyarakat dunia. Kesungguhan ini dituangkan dalam bentuk Garis Besar Haluan Negara yang dilaksanakan dalam Program repelita (rencana pembangunan lima tahun) di Era Orde Baru.
           Konstitusi Negara Indonesia telah menjamin hak warga negara terhadap lingkungan hidup, pemerintah sebagai pembentuk peraturan (making law) yang mereprentasikan negara dalam setiap pembentukan peraturan perundangan wajib berpedoman kepada konstitusi (UUD RI 1945), karena secara hierarki UUD RI 1945 adalah peraturan perundang-undangan tertinggi, yang berarti peraturan dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan UUD RI 1945.
           Undang-Undang No 32 Tahun 2009 sudah berkarakter responsif, dengan mementingkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat yang telah diatur dalam undang-undang ini sudah memperhatikan aspirasi masyarakat. Harapan semua masyarakat indonesia adalah pemerintah dapat melaksanakan amanah undang-undang.Terutama peraturan pelaksanaan dari Undang-undang yaitu UU No 32 Tahun 2009 harus konsisten dengan karakter responsif yang sudah dimunculkan dalam undang-undang tersebut.
a.  Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengembangan Sistem Informasi
              Dalam pengembangan sistem informasi, pemerintah sampai hari ini belum mengeluarkan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengembangan sistem informasi sesuai amanat undang-undang, walaupun sudah terdapat undang-undang lain yang mengatur tentang keterbukaan informasi, tetapi itu belum spesifik mengatur tentang keterbukaan informasi lingkungan, seharusnya ada upaya lebih signifikan, mengatur secara teknis tata cara pengembangan sistem informasi, agar terjamin hak-hak warga negara. Seperti ditentukan dalam pasal 5 ayat (2) UUD RI 1945, peraturan pemerintah dibuat dan dikeluarkan oleh presiden untuk melaksanakan undang-undang.
           Peraturan pemerintah dalam pengembangan sistem informasi lingkungan hidup memang sangat urgen, dilihat dari kualitas lingkungan yang semakin tergerus oleh local strong man yang mengejar keuntungan ekonomi semata tanpa mempedulikan lingkungan sebagai bagian dari ekosistem yang posisinya sama seperti manusia. Otonomi daerah yang seluas-luasnya merupakan rantai masalah lingkungan hidup (asas kausalitas), adanya peraturan pemerintah setidaknya bisa memberikan pengaruh yang cukup besar untuk mengintervensi pemerintahan daerah dalam pengembangan sistem informasi lingkungan hidup.                                                                             
b.  Pembentukan Peraturan Daerah Pengembangan Sistem Informasi
            Selain pembentukan peraturan pemerintah, daerah sebagai pemegang kepentingan wilayah juga diharapkan mengeluarkan peraturan daerah yang memperhatikan lingkungan hidup, terutama dalam pengembangan sistem informasi lingkungan hidup. Pemberian otonomi daerah bukan semata-mata untuk kepentingan pejabat daerah, tetapi otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan kebebasan daerah mengelola ekonomi daerah untuk kepentingan rakyat di daerah-daerah, menghilangkan kesan sentralisasi yang selama ini dianggap penghambat kemajuan daerah, tetapi otonomi ini menjadi ajang daerah menutup diri dalam keterbukaan informasi, pembangunan yang bertendensi merusak dan mencemari lingkungan berlandaskan pembangunan ekonomi menjadi “manuver ilegal” pemerintah daerah.
          Sebagai daerah otonom,pemerintah daerah provinsi,kabupaten ,dan kota, berwenang untuk membuat peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, guna menyelenggarakan urusan otonomi daerah dan tugas pembantuan, peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah ,setelah mendapatkan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) .Subtansi atau materi muatan perda adalah penjabaran dari perturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi ,dengan memerhatikan ciri khas masing-masing daerah dan substansi materi tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangan yang lebih tinggi.
          Peraturan Daerah Kabupaten /Kota adalah Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan Bupati/Walikota. Hierarki Peraturan Perundang-undangan telah mengalami perubahan, yang sebelumnya berlaku adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, setelah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 disahkan, hierarki perundang-undangan sedikit mengalami pergeseran bentuk, yaitu :
1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3.    Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4.    Peraturan Pemerintah
5.    Peraturan Presiden        
6.    Peraturan Daerah Provinsi
7.    Peraturan  Daerah Kabupaten

Masyarakat mengharapkan perubahan-perubahan, dan merasakan penting adanya peraturan daerah yang mengatur tentang pengembangan sistem informasi, masyarakat juga mengharapkan adanya media yang memberikan informasi tentang status lingkungan hidup, untuk itu politik hukum peraturan daerah sudah seharusnya menjadikan ini sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan peraturan daerah tentang pengembangan sistem informasi lingkungan hidup.
Dalam Proses pembuatan peraturan daerah ,masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan daerah. Rancangan Peraturan Daerah harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan .Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari DPRD ,Gubernur ,atau Bupati/Walikota. Dalam Peraturan Pembentukan Perundang-undangan susunan hierarki yang menjadi keteraturan pembentukan peraturan perundang-undangan harus diperhatikan oleh pembentukan peraturan daerah, substansi undang-undang tidak boleh bertabrakan dengan peraturan diatasnya. Oleh karena itu, dalam hal pembentukan peraturan daerah pengembangan informasi, harus benar-benar memperhatikan jiwa hukum lingkungan yang berprinsip “sustainable development”, serta tetap menjadikan pancasila dan UUD RI 1945 sebagai ideologi dasar, tidak semata untuk kepentingan kapitalisme, yang sekarang masih menjadi idola pemerintahan daerah di Indonesia saat ini.




Referensi :
Soetomo, 1993, Ilmu Negara, Usaha Nasional, Surabaya.
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), Prenada Media Group, Jakarta.
I Wayan Sudirta, dalam makalah Undang-Undang 12 Tahun 2011 vs Kepentingan Daerah, Seminar Nasional Reformasi Birokrasi dalam Mewujudkan Good Governance di Daerah, Universitas Brawijaya, tanggal 29 November 2011
Mahfud MD, “Menguatkan Pancasila Sebagai Dasar Ideologi Negara”, Dimuat dalam Mahkamah Konstitusi dan Penguatan Pancasila, Majalah Konstitusi No.52-Mei 2011.
Marhaeni Rio Siombo, 2012, Hukum Lingkungan dan Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Siswanto Sunarno, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.ke-2, Sinar Grafika, Jakarta.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011
Siswanto Sunarno, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.ke-2, Sinar Grafika, Jakarta.

Senin, 09 September 2013

SISTEM INFORMASI LINGKUNGAN HIDUP OLEH PEMERINTAH DAERAH

Amandemen Undang-undang Dasar 1945 memberikan perlindungan  terhadap warga negara Indonesia untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik, tercantum dalam pasal 28H, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Tercantumnya pasal ini dalam konstitusi merupakan dasar berbagai peraturan perundangan-undangan di Indonesia yang bermakna tidak ada satu perundang-undang yang bisa bertentangan dengan hak warga negara dalam memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Kemudian, pada tahun 2009 hukum lingkungan Indonesia diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Lahirnya undang-undang ini menjadi angin segar bagi pegiat atau aktivis lingkungan, undang-undang ini memang lebih konkrit dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, namun tidak sedikit kalangan yang meragukan efektifitas undang-undang ini. Undang-undang baru ini harus diakui lebih baik daripada undang-undang yang sebelumnya, berbagai konsep baru lahir dari undang-undang ini, mengadopsi dari berbagai negara yang diharapkan bisa diterapkan dalam praktik hukum lingkungan Indonesia. Pengembangan sistem informasi merupakan konsep baru dalam undang-undang ini, yang dicantumkan dalam pasal 62, berbunyi :
Pasal 62
(1)Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2)Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat.
(3)Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Menteri.

Sejak berlakunya otonomi seluas-luasnya oleh daerah, kualitas lingkungan hidup di Indonesia semakin menghawatirkan, pemerintah daerah khususnya kepala daerah berlomba-lomba membangun tanpa memperhatikan lingkungan hidup sebagai penyeimbang ekosistem, lingkungan cenderung dirusak, dieksploitasi secara berlebihan atas nama pembangunan ekonomi daerah, izin seolah-olah hanya menjadi syarat formalitas, lebih murah dari sebuah mobil, penghargaan dan kesadaran terhadap lingkungan sebagai bagian dari kehidupan sudah dikalahkan oleh sifat serakah manusia, egoisme manusia yang dibentuk oleh kapitalisme tumbuh subur dinegara berkembang seperti Indonesia. Fungsi Lingkungan semakin hari semakin berkurang,  akibat berbahaya yang timbul memang belum dirasakan, karena lingkungan mempunyai bahasanya sendiri, akibat yang ditimbulkan tidak bisa ditentukan dengan hitungan matematis atau rasionalisasi manusia, akibatnya seolah menjadi boom waktu yang siap meledak kapanpun.
Amandemen UUD RI 1945 tahun 2002 serta diikuti oleh lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan otonomi seluas-luasnya terhadap daerah, atau bisa dibilang semi federal, tidak diimbangi dengan perbaikan terhadap hukum lingkungan di Indonesia, UULH 1997 masih tetap berlaku, sehingga tidak ada spesifikasi terhadap tugas dan wewenang pemerintah daerah, dalam UULH 1997 soal kewenangan dikaitkan dengan negara sehingga dikenal istilah kewenangan negara. Perbaikan baru dilakukan pada UUPPLH, yang tidak lagi menggunakan konsep kewenangan negara, tetapi kewenangan pemerintah yang dibedakan atas pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota. Ini pula yang menjadi faktor pemicu pengelolaan lingkungan hidup sebelum lahirnya UUPPLH, walaupun kegiatan perusakan lingkungan masih marak dilakukan oleh daerah-daerah, terutama daerah luar pulau Jawa yang minim pengawasan dan intervensi, baik pengawasan dan intervensi pemerintah pusat maupun oleh media massa.
Berlakunya UUPPLH menjadi angin segar bagi pegiat atau pemerhati lingkungan, proteksi terhadap lingkungan dalam undang-undang ini memang harus diakui lebih berkembang, pengelolaan terhadap lingkungan sudah memasuki ranah konkrit, lahir beberapa konsep baru yang tidak ditemukan dalam undang-undang sebelumnya. Termasuk didalamnya pengaturan terhadap sistem informasi lingkungan hidup, tetapi sangat disayangkan peraturan pemerintah tentang sistem informasi lingkungan hidup ini belum terealisasi sehingga pemerintah daerah masih belum mempriortaskan pengembangan sistem informasi, diera globalisasi yang menjadikan teknolgi sebagai media informasi sekaligus menjadi bagian hidup masyarakat era modern memang sangat perlu sistem informasi yang dibangun secara komprehensif agar masyarakat mendapatkan hak sebagai warga negara yang sudah dijamin oleh konstitusi, hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Selain UUPPLH, pengaturan terhadap keterbukaan informasi sebenarnya sudah ada dalam undang-undang undang yang lain, salah satunya adalah Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, namun lagi-lagi undang ini tidak mampu berkontribusi banyak terhadap pengembangan sistem informasi oleh pemerintahan daerah, ini pula yang dibahas dan menjadi keluhan masyarakat terhadap lembaga Ombudsman. Meskipun transparansi didalam perencanaan dan penyelenggaraan penataan ruang telah diwajibkan, disamping telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, namun masih banyak dikeluhkan oleh masyarakat mengenai keterbukaan informasi.
           



Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
UUD NRI 1945
Ibnu Tricahyo dalam Makalah Penegakkan Pelayanan Penyelenggaraan Tata Ruang, Seminar Nasional Bidang Penataan Ruang sebagai Upaya Sinkronisasi dan Sinergitas Penataan Ruang Pusat Daerah, tanggal 31 Oktober 2012, Universitas Brawijaya, Malang, hal.3

Sabtu, 31 Agustus 2013

MENU SAMBAL KHAS BIMA DI SAMBAL JINGKRAK (KOTA MALANG)

    Orang Manado mengenalnya dengan nama Sambal Dabu-Dabu, jika di Bima beragam orang menyebutnya dengan menggunakan bahasa Bima, ada yang bilang "doco" sambal tomat atau nama lainnya. Sambal Tomat khas Bima tidak jauh berbeda dengan Sambal Dabu-dabu, bahan dasarnya secara umum sama yaitu bahan dasar yang segar seperti tomat, timun, kemangi, bawang merah, terong kecil. Penambahan atau pengurangannya disesuaikan dengan selera. Jika di Bima, Sambal Tomat kadang ditambah dengan pisang yang masih kecil. 
     Selain Sambal Tomat, orang Bima terbiasa menyantap lauk dengan Sambal Bawang dengan menggunakan bawang merah, jika di Jawa Sambal Bawang di konotasikan dengan Sambal Bawang Putih. Di Bima Sambal Bawang menggunakan bawang merah segar dengan cabe dan ditambahkan dengan perasan Jeruk nipis, yang di daerah Bali di kenal dengan Sambal Matah. Sambal Matah sangat cocok disantap dengan ikan bakar segar.
     Bagi yang tinggal di Kota Malang, atau yang mengunjungi Kota Malang, tidak usah jauh-jauh mencicipi cita rasa Sambal segar ini, bisa mencoba menu Sambal Tomat dan Sambal Bawang Segar khas Bima di rumah makan Sambal Jingkrak yang beralamat di Jalan Sunan Kalijaga Ruko No.3 Kav.3, di daerah belakang kampus UIN Malang. Untuk informasi lebih lanjut silakan menghubungi nomor telepon 085237711461, Pin BB 29672185 atau kunjungi twitter @SambalJingkrak.

Selasa, 27 Agustus 2013

KAROMBO (GUA) WERA

        Sebelah timur kota Bima, kira-kira 3 jam perjalanan, atau sebelah timur terminal Wera kira-kira 30 menit waktu tempuh, terdapat Gua, yang biasa masyarakat Bima menyebutnya "Karombo Wera". Karombo merupakan bahasa Bima dari Gua, sedangkan Wera merupakan nama kecematan yang merupakan bagian dari kabupaten Bima. Tidak banyak memang pengunjung "Karombo Wera" ini, akses transportasi yaitu jalan yang rusak merupakan alasannya, namun apabila anda ingin mengunjunginya disarankan untuk menggunakan kendaraan yang cocok untuk medan yang dipenuhi duri-duri,dan jalan yang tidak di aspal kira-kira 5 kilometer. apabila anda sempat mengunjunginya, rasa lelah dan panas akan terobati oleh pemandangan yang luar biasa, Gunung Sangiang yang menjulang tinggi, anda akan melihatnya lebih dekat, garis pantai yang begitu indah di hiasi oleh batu karang di beberapa titik bibir pantai, dan tentunya anda harus masuk kedalam Gua, namun anda harus menyediakan obor atau alat penerangan lain, karena akan gelap dan tidak terlihat apa-apa jika anda tidak membawanya.
      Untuk lebih aman dan tidak tersesat anda harus ditemani oleh pemandu yang mengerti Gua ini, karena didalam Gua ini terdapat lorong jalan yang banyak, anda harus sering merangkak didalam gua ini, anda akan sulit menemukan jalan keluar jika tidak ditemani oleh pemandu, namun tidak perlu pemandu apabila anda punya nyali dan menyukai tantangan. Memasuki Gua, anda harus merangkak di pintu masuk kira-kira 5 meter, setelah itu anda akan melihat lorong yang besar didalam, di ujung lorong terdapat banyak jalan, disinilah tantangannya dimulai, apabila anda tepat memilih jalan maka anda bisa menemukan dan mencicipi air berasa asin,pahit,pedas di langit-langit Gua.
       Saya sendiri baru sempat mengunjungi Gua ini beberapa bulan lalu, namun tidak ada dokumentasi didalam Gua, karena akan sulit apabila membawa alat komunikasi atau barang elektronik lainnya, kondisi di beberapa titik Gua dipenuhi oleh air dan akan sulit apabila membawa barang karena harus merangkak berkali-kali dalam Gua. di bawah ini ada beberapa dokumentasi saya di lokasi sekitar Gua.



Minggu, 14 April 2013

ORGANISASI DALAM BEBERAPA TEORI


Teori klasik
Pandangan teori klasik mengenai organisasi berdasarkan asumsi sebagai berikut :
1.  Organisasi ada terutama untuk menyelesaikan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
2.  Bagi suatu organisasi, ada struktur yang tepat bagi tujuan, lingkungan, teknologi, dan partisipannya.
3.  Pekerjaan organisasi paling efektif bila ada tantangan lingkungan dan kepentingan pribadi terhalang oleh norma-norma rasionalitas.
4.  Spesialisasi akan meningkatkan taraf keahlian dan performan individu.
5.  Koordinasi dan kontrol paling baik melalui praktik otoritas dan aturan-aturan yang tidak bersifat pribadi.
6.  Struktur dapat dirancang secara sistematis dan dapat dilaksanakan.
7.  Masalah-masalah organisasi biasanya merefleksikan struktur yang tidak tepat, dan dapat diselesaikan melalui perancangan dan pengorganisasian kembali (Bolman,1998).
Ahli-ahli teori klasik cenderung melihat organisasi sebagai sistem yang tertutup secara relatif, dalam mengejar tujuan-tujuan yang telah dinyatakan. Dibawah kondisi tersebut organisasi dapat bekerja secara rasional dengan tingkat kepastian dan kemampuan memperkirakan.
Teori Hubungan Manusia                  
          Manusia sebagai anggota organisasi adalah merupakan inti organisasi sosial. Manusia terlibat dalam tingkah laku organisasi. Misalnya anggota organisasi yang memutuskan apa peranan yang akan dilakukannya dan bagaimana melakukannya. Tanpa manusia organisasi tidak akan ada. Oleh karena itu, faktor manusia dalam organisasi haruslah mendapat perhatian dan tidak dapat diabaikan seperti halnya dengan teori klasik.
          Teori hubungan manusia ini menekankan pada pentingnya individu dan hubungan sosial dalam kehidupan organisasi. Teori ini menyarankan strategi peningkatan dan penyempurnaan organisasi dengan meningkatkan kepuasan anggota organisasi dan menciptakan organisasi yang dapat membantu individu mengembangkan potensinya. Dengan meningkatkan kepuasan kerja dan mengarahkan aktualisasi diri pekerja, akan mempertinggi motivasi bekerja sehingga akan dapat meningkatkan produksi organisasi.
          Teori hubungan manusia ini diperkenalkan pada tahun 1930-an yang dipelopori oleh Barnard 1938, Mayo 1933, Roethlisherger dan Dichson 1939. Inilah permulaan teori hubungan manusia menolak prinsip teori struktural klasik dan menentang pandangan yang mekanis terhadap organisasi yang tidak sensitif terhadap kebutuhan sosial anggota organisasi.
Teori Sistem Sosial
a.    Organisasi sebagai Suatu Sistem Sosial
Pendekatan sistem sosial terhadap tingkah laku organisasi adalah suatu perspektif yang komprehensif, multidimensional, dan deskriptif mengenai organisasi. Ahli-ahli teori sistem mengemukakan bahwa semua kesatuan yang terorganisir memperlihatkan satu set pola dan sifat yang sama. Teori sistem berkembang sebagai suatu alat untuk menguraikan sifat-sifat dan pola-pola yang menjadikan organisasi terjadi.
Teori sistem memberikan suatu model deskripsi yang sangat kuat mengenai proses organisasi. Teori ini mempunyai banyak implikasi dan telah digunakan untuk mendeskripsikan fenomena organisasi dalam konteksnya sendiri. Misalnya dalam ilmu sosial dan ekonomi Boulding (Kreps, 1986) mendeskripsikan pengaruh bermacam-macam keadaan sosial dan lingkungan kepada ekonomi dan struktur sosial.
b.    Teori Sistem Umum Organisasi
Teori sistem yang umum mengatakan bahwa organisasi sebagai suatu set bagian-bagian yang kompleks yang saling berhubungan dan berinteraksi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang selalu berubah agar dapat mencapai tujuannya. Beberapa komponen kunci yang membangun organisasi adalah individu yang menjadi anggota organisasi, struktur dan kelompok fungsional, teknologi dan perlengkapan organisasi. Semua bagian sistem tergantung kepada bagian lainnya dalam aktivitas organisasi. Suatu perubahan atau pengaruh pada suatu komponen akan mempengaruhi kepada komponen sistem yang lainnya.
Komunikasi terjadi pada bermacam-macam tingkat dari sistem, ada komunikasi dalam tiap bagian; ada komunikasi di antara sistem dan lingkungannya. Komunikasi ini menjadikan bagian-bagian yang berbeda dari sistem mengkoordinasi aktivitas mereka. Misalnya, di dalam suatu perusahaan yang memproduksi barang, ada bagian penjualan dan ada bagian produksi sebagai dua subunit organisasi yang saling berhubungan. Kedua bagian ini harus mengkoordinasi usaha mereka. Jika bagian penjualan menjanjikan 200 barang untuk langganannya dan bagian produksi hanya membuat 100 barang, maka akan terjadi masalah dalam organisasi. Melalui komunikasi di antara bagian, dua bagian yang saling berhubungan ini dapat membagi informasi yang relevan dan mengkoordinasikan aktivitas mereka. Subunit dari organisasi harus menjaga keseimbangan homeostatic satu dengan yang lainnya untuk menjadikan penampilan mereka yang tepat dengan fungsi organisasi.
Teori Politik
          Ahli-ahli teori politik melihat kekuasaan (power), konflik dan distribusi dari sumber-sumber yang langka sebagai pokok permasalahan pada organisasi. Dengan kata-kata lain mereka memandang organisasi sebagai arena politik yang hidup, yang berisi suatu variasi kompleks dari kepentingan individu dan kelompok. Preposisi dari perspektif politik menurut Bolman (1988) adalah sebagai berikut :
a.    Kebanyakan dari keputusan-keputusan penting dalam organisasi mencakup alokasi sumber-sumber yang langka.
b.    Organisasi adalah komposisi gabungan dari sejumlah kepentingan individu dan kelompok.
c.    Kepentingan individu dan kelompok berbeda-beda dalam nilai-nilai mereka, kesukaan, kepercayaan, informasi dan persepsi mengenai realitas.
d.    Tujuan-tujuan dan keputusan organisasi timbul dari proses perundingan, negosiasi dan merebut posisi di antara individu dan kelompok.
e.    Karena langkanya sumber-sumber dan adanya perbedaan yang abadi, kekuasaan dan konflik merupakan pusat kehidupan organisasi.
Teori Simbolis
Perspektif teori simbolis didasarkan pada satu seri asumsi mengenai hakikat organisasi dan tingkah laku manusia.
a.    Apa yang paling penting mengenai suatu kejadian adalah bukan apa yang terjadi tetapi arti dari apa yang terjadi.
b.    Arti dari suatu kejadian tidak ditentukan secara sederhana dari apa yang terjadi tetapi cara-cara manusia menginterpretasikan apa yang terjadi.
c.    Banyak kejadian-kejadian dan proses yang paling penting dalam organisasi pada dasarnya meragukan dan tidak pasti. Seringkali sulit atau tidak mungkin untuk mengetahui apa yang terjadi, bagaimana hal itu terjadi atau apa yang terjadi berikutnya.
d.    Keragu-raguan dan ketidakpastian meruntuhkan pendekatan rasional menganalisis, memecahkan masalah, dan membuat keputusan.
e.    Bila menghadapi ketidakpastian dan keragu-raguan, manusia menciptakan simbol-simbol untuk mengurangi keragu-raguan, menghilangkan kebingungan, menambah untuk dapat memprediksi dan untuk memberi arah. 




Minggu, 24 Maret 2013

PENEGAKKAN HUKUM LINGKUNGAN

HUKUM LINGKUNGAN UNTUK SIAPA?

     Masalah lingkungan terus mendapatkan perhatian beberapa abad terakhir dari para akademisi, pegiat atau aktivis yang bergerak di bidang lingkungan hidup, tidak heran lingkungan menjadai topik “emas” yang dibahas diforumnya tersendiri. Kualitas lingkungan memang semakin menghawatirkan, perkembangan tekhnologi, industri dan pertumbuhan pendudukan menjadi faktor pemicu rendahnya kualitas lingkung. Masyarakat pada umumnya tidak memiliki kepedulian yang besar terhadap perkembangan lingkungan akhir-akhir ini, memang harus diakui negara ini sedang menghadapi berbagai permasalahan, permasalahn lingkungan tidak begitu “sexy” untuk di perhatikan, sehingga masyarakat masih sibuk membahas masalah-masalah baru yang terus muncul di media massa, televisi, koran ataupun media online, masyarakat terus dijejali permasalahan yang baru ataupun permasalahan lama yang berkembang, hampir tidak ada pemberitaan yang membanggakan dari negeri ini, beberapa masyarakat acuh tak acuh menyikapi masalah yang datang silih berganti, bisa dibilang masyarakat sudah lelah dengan semua ini, bersuara pun tak ada gunanya, ada juga yang hanya mengeluh, namun ada pula yang peduli.
Masalah lingkungan merupakan masalah dunia, itu pula sebabnya PBB mengadakan konferensi di stockholm, swiss, pada tahun 1972,. Kemudian pada tahun 1984 PBB membentuk Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (The World Commission on Environment And Development), dan pada tahun 1992 PBB mengadakan konferensi kedua di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992, dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Bekelanjutan yang dilaksanakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002. Pengaruhnya terhadap Indonesia adalah dibentuknya Departemen Lingkungan Hidup yang menghasilkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982, kemudian diperbaharui dengan undang-undang lingkungan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, karena undang-undang sebelumnya tidak mampu memproteksi permasalahan lingkungan yang semakin kompleks. Selama dua belas tahun berlaku undang-undang inipun masih memiliki celah yang tidak mampu menjangkau perlindungan terhadap lingkungan hidup, sehingga permasalahan lingkungan bukannya semakin membaik, tapi kualitas lingkungan semakin memprihatinkan. Itu pula sebabnya yang melatarbelakangi lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 yang berlaku sekarang.
          Sudah tiga tahun undang-undang ini menjadi payung hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Namun, berbagai kalangan menilai lingkungan terus dieksploitasi, pertambangan, industri, ruko, hotel, semakin tumbuh pesat mengabaikan hak lingkungan hidup, hutan terus digunduli, sungai semakin tercemar, ruang terbuka hijau semakin menipis, rupanya pemerintah daerah sedang giat melakukan pembangunan ekonomi, hebatnya sebagian besar masyarakat tidak peduli malah ikut merayakan perusakan dan pencemaran lingkungan ini, sebagian besar masyarakat bangga dengan pembangunan yang dilakukan pemerintah tanpa mengerti untuk apa itu semua dibangun. Merupakan sebuah dilema bagi negeri ini, disatu sisi harus memajukan perekonomian, sektor lainnya terabaikan, lebih lebih sektor lingkungan, perekonomian yang seharusnya dibangun berdasarkan prinsip sustainable development yang berwawasan lingkungan, sesuai pasal 33 ayat (4) UUD 1945 (amandemen ke empat tahun 2002) masih kalah perkasa apabila disandingkan dengan pembangunan ekonomi, konstitusi (UUD 1945) kitapun sangat didominasi oleh pengaruh ekonomi yang bisa dibilang demokrasi ekonomi, sehingga peraturan dibawahnya berpatokan terhadap undang-undang yang lebih tinggi.Otonomi daerah memang disatu sisi memakan korban yang jauh lebih mematikan, tujuan otonomi yang seharusnya memajukan perekonomian rakyat melalui optimalisasi peran daerah menjadi salah sasaran, pemerintah daerah berlomba-lomba mengekploitasi lingkungan, industri dibuka dimana-mana, rakyat tidak dilibatkan, penolakan tidak dihiraukan, yang terpenting adalah memajukan ekonomi, ekonomi keluarga, kelompok maupun ekonomi pengusaha, kasus Freeport, mesuji, bima adalah beberapa contoh. Wajar banyak kalangan menilai, “ yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”, istilah ini memang benar, perlindungan terhadap rakyat miskin hanyalah sebuah slogan politik untuk mendapatkan simpati serta menaikan popularitas partai atau individu.
          Berbagai peraturan yang mengatur lingkungan hidup terus berkembang di negeri ini, tetapi, seperti yang dikatakan Prof.Siti Sundari Rangkuti dari Unair, hukum lingkungan hanya sebuah “macan kertas”, yang mengaum-ngaum dikertas dengan sanksi pidana yang berat, namun implementasinya jauh dari harapan, para perusak dan pencemar lingkungan tidak terpengaruh terhadap undang-undang lingkungan yang terus diperbaharui. Lalu untuk apa hukum lingkungan jika tidak ditegakkan?. Tujuan hukum lingkungan adalah memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat, namun yang terjadi di negeri ini adalah hukum tidak bisa berbuat banyak, kalah oleh kekuasaan dan kekuatan politik. Hukum lingkungan harus diakui sudah memiliki substansi yang bagus dalam melindungi dan mengelola lingkungan, lebih mengatur secara konkrit serta terdapat beberapa konsep baru bila dibandingkan undang-undang sebelumnya, walaupun terdapat beberapa kekurangan. Namun struktur hukum (penegak hukum) tidak mampu mengimbangi kekuatan undang-undang serta tidak menggunakan moralitasnya untuk memahami undang-undang.
          Hukum Lingkungan di Indonesia "seolah-olah" dibuat untuk tidak ditegakkan,  pembangunan ekonomi masih menjadi “musuh dalam selimut”, berbagai pembangunan di kota-kota maupun daerah-daerah tidak diimbangi dengan penghargaan terhadap hak-hak lingkungan. Berbagai konsep dalam hukum lingkungan yang baru masih berbenturan dengan berbagai kepentingan, tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi dengan undang-undang lainnya merupakan permasalahan yang mendasar yang harus segera di benahi oleh steakholders, penegakkan hukum lingkungan haruslah ada kesepahaman berbagai pihak, karena kepentingan lingkungan sangat sensitif, masih bertolak belakang dengan pembangunan yang mengagung-agungkan “industrialisasi”  untuk menumpas kemiskinan. 

Sabtu, 23 Maret 2013

PENGEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN

Tinjauan Teori Nilai Kebijakan Publik

       Teori nilai kebijakan publik (the public values) menjelaskan bahwa pertukaran pandangan atau musyawaah mufakat (deliberative process) di antara berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dapat menjadi dasar bagi pembuatan keputusan yang rasional. Pertukaran pandangan dilandasi oleh sifat keterbukaan pemikiran (openness of mind), kejujuran (honesty), kesediaan untk mendengar kritik, dan penghargaan atas pandangan – pandangan pihak yang berbeda menjadi dasar pengambilan keputusan bersama (collective choice). Menurut teori nilai kebijakan publik wakil – wakil dari berbagai pemangku kepentingan dalam proses legislasi harus mampu mengatasi benturan kepentingan dengan cara menempatkan kepentingan bersama (public goods) di atas kepentingan konstituen mereka. Para anggota badan legislatif harus mampu membangun konsepsi kepentingan bersama. Apa yang dimaksud dengan kepentingan konstituen mereka . Para anggota badan legislatif harus mampu membangun konsepsi kepentingan bersama. Apa yang dimaksud dengan kepentingan bersama dapat diperoleh melalui pertukaran pandangan dalam proses politik. Dalam proses ini ,para anggota badan legislatif setelah memerhatikan berbagai usulan atau pandangan dari berbagai pemangku kepentingan membuat keputusan dengan mengacu pada apa yang mereka anggap sebagai kepentingan publik dan bangsa.
          Dalam pembangunan hukum lingkungan seringkali berbenturan dengan kepentingan pembangunan ekonomi nasional, pembangunan nasional secara fisik di Indonesia tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup, eksploitasi terhadap sumber daya alam menjadi pemandangan yang biasa, demi meraih dan menarik para investor asing, peraturan yang ada seakan hanya menjadi hiasan dinding yang tak berkutik. Adanya otonomi daerah menjadi ajang para kepala daerah menunjuk kebolehan merusak dan mengerok keuntungan dari eksploitasi alam. Para pemimpin seakan menutup mata dan telinga melihat dan mendengar jeritan rakyat, untuk menyelamatkan diri pribadi dan kelompoknya mereka sembunyi dibalik peraturan perundang-undangan yang mereka buat sendiri.
         Kesadaran lingkungan mulai terlihat tahun 1950-an tatkala mulai munculnya pencemaran yang berasal dari pabrik – pabrik, pertanian dan transportasi di negara- negara maju. Tumbuhnya industri sekaligus menimbulkan pencemaran melalui buangan limbah, asap (jelaga) atau kebisingan (noise). Sistem pertanian menimbulkan pencemaran alam melalui pemakaian pestisida yang banyak. Demikian pula transportasi melalui asap dari proses bahan bakar, kebisingan dan kemacetan jalan.
         Dasawarsa tahun 1970-an merupakan awal permasalahan lingkungan secara global yang ditandai dengan dilangsungkannya Konferensi Stockholm tahun 1972 yang membicarakan masalah lingkungan (UN Coference on the Human Environment,UNCHE). Konferensi yang diselenggarakan oleh PPB ini berlangung dari tanggal 5-12 juni 1972, akhirnya tanggal 5 juli ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Pada 1987 terbentuk sebuah komisi dunia yang disebut dengan Komisi Dunia tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development)  yang kemudian lahir konsep sustainable development, kemudian majelis umum PPB memutuskan untuk menyelenggarakan konferensi di Rio de Janeiro, Brasil 1992.
         Negara berkembang seperti Indonesia sangat mendambakan pembangunan industri, untuk memperbaiki struktur ekonomi nasional, oleh karena itu kepentingan lingkungan seakan terabaikan.  Para ilmuwan berpendapat bahwa untuk menghilangkan keterbelakangan dan kemiskinan didunia ketiga, seharusnya dilakukan perubahan dan ditingkatkannya pertumbuhan, keterbelakangan ekonomi ini yang mengakibatkan rendahnya pendapatan, para ilmuwan percaya bahwa segala sesuatu menuju perubahan dapat dicapai dengan pembangunan.
         Sekitar tahun tujuh puluhan, Mochtar Kusumaatmadja mengadaptasi dan mengembangkan teori Roscoe pound, law as a tool of sosial engineering sebagai landasan teoritis pembinaan hukum di Indonesia. Perkembangan selanjutnya, konsep pembinaan hukum ini diberi nama “teori hukum pembangunan”.
         Konsep pembangunan berkelanjutan untuk pertama kali dituangkan dalam kebijaksanaan nasional melalui Keppres No.13 Tahun 1989 Tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), dan TAP MPR No.ll/MPR/1993 tentang garis – garis besar Haluan Negara. Dengan demikian, sejak saat ini pembangunn berkelanjutan telah mempunyai dasar hukum dalam kebijaksanaan nasional.
         Umat manusia mempunyai kapasitas untuk menjadikan pembangunan ini berkelanjutan. Yang dimaksud dengan pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini dengan mengindahkan kemampuan generasi mendatang dalam mencukupi kebutuhannya.
         Ada tiga hal penting yang tercakup disini, yaitu : (1) pengelolaan sumber alam secara bijaksana;(2) pembangunan berkesinambungan sepanjang masa; dan (3) peningkatan kualitas hidup. Konsep pembangunan berkelanjutan mengimplikasikan bukan pada batas absolut akan tetapi pada batas yang ditentukan oleh tingkat masyarakat dan organisasi sosial mengenai sumber daya alam serta kemampuan biosfer untuk menyerap pengaruh-pengaruh kegiatan manusia.
         Dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintah, penting dipahami tujuan hukum dan fungsi hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum berfungsi sebagai sarana pembaruan atau sarana pembangunan didasarkan atas anggapan, bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengaturan) atau sarana pembangunan dalam arti penyaluran arah kegiatan manusia yang ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan.
         Sejak era 1980-an, berkembang tuntutan yang meluas agar kebijakan-kebijakan resmi negara yang pro lingkungan dapat tercermin dalam bentuk perundang-undangan yang mengingat untuk ditaati oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder). Tak terkecuali, Indonesia juga menghadapi tuntutan yang sama, yaitu perlunya disusun suatu kebijakan yang dapat dipaksakan berlakunya dalam bentuk undang-undang tersendiri yang mengatur mengenai lingkungan hidup.
         Itu juga sebabnya, maka Indonesia menyusun dan akhirnya menetapkan berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Inilah produk hukum pertama yang dibuat di Indonesia, setelah sebelumnya dibentuk satu kantor kementerian tersendiri dalam susunan anggota Kabinet Pembangunan III, 1978-1983. Menteri Negara Urusan Lingkungan Hidup yang pertama adalah Prof. Dr. Emil Salim yang berhasil meletakkan dasar-dasar kebijakan mengenai lingkungan hidup dan akhirnya dituangkan dalam bentuk undang-undang pada tahun 1982.
         Kemudian setelahnya lahir berbagai produk perundang-undangan sebagai wujud kesadaran lingkungan, serta mengatur lebih jauh amanat UUD RI 1945 yang menghargai lingkungan sebagai hak setiap manusia, lahirnya Undang-undang Nomor 27 Tahun 1997 serta digantikan oleh Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 yang sekarang berlaku, roh dari undang-undang tersebut adalah sustinable development, dimana pembangunan dan pengembangan hukum lingkungan harus berdasarkan kepentingan manusia masa sekarang dan masa yang akan datang.
         Pengembangan hukum lingkungan berdasarkan teori nilai kebijakan publik diartikan sebagai pembangunan hukum lingkungan yang berkelanjutan sesuai amanat konferensi yang terjadi di dunia internasional yang kemudian menurun ke peraturan perundangan-undangan nasional, untuk memungkinkan pembangunan berkelanjutan diperlukan pokok-pokok kebijaksanaan sebagai berikut :
1. Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai dengan daya dukung lingkungannya. Dengan mengindahkan kondisi lingkungan (biogeofisika dan sosekbud), setiap daerah harus dibangun sesuai dengan zona industri, zona pemukiman, zona perkebunan, pertanian, dan lain – lain. Hal ini memerlukan perencanaan tata ruang (Rencana Tata Ruang Wilayah atau RTRW). Melalui rencana tata ruang wilayah ini dapat dihindari pemanfaatan ruangan yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungannya.
2. Proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan dikendalikan melalui penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses perencanaan proyek. Melalui studi AMDAL, dapat diperkirakan dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan sehingga dapat disusun Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL) yang mengendalikan dampak negatif dan meningkatkan dampak positif Untuk menjamin pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan ini diterapkan pula Rencana Pemantauan Lingkungan yang berfungsi untuk memantau apakah dampak negatif pembangunan dapat terkendali.
3.    Penanggulangan pencemaran air, udara, dan tanah mengutamakan :
a.    Penanggulangan bahan beracun dan berbahaya agar limbah ini dapat dikendalikan dan tidak membahayakan masyarakat.
b. Penanggulangan limbah padat terutama di kota – kota besar supaya tidak menganggu kesehatan lingkungan.
c.    Penetapan baku mutu emisi dan efluen.
d.    Pengembangan baku mutu air dan udara.
4.  Pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan. Usaha ini perlu ditunjang oleh berbagai kebijakan lain, seperti :
a.    Pengelolaan hutan tropis yang secara khusus melestarikan habitat (tempat tinggal) flora dan fauna dalam taman nasional, suaka alam, suaka marga satwa, cagar alam, dan lain – lain.
b. Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang secara khusus melestarikan keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan hutan.
5.    Pengendaliaan kerusakan lingkungan melalui :
a.    Pengelolaan daerah aliran sungai
b.   Rehabilitasi dan reklamasi bekas pembangunan dan galian C
c.    Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan
6.    Pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan:
a.    Manfaat dan biaya lingkungan perlu diperhitungkan dalam analisis ekonomi
b.   Pengurasan sumber daya alam (resource depletion) perlu diperhatikan sebagai bagian dari ongkos pembangunan.
c.    Sangat penting adalah memasukkan pertimbangan lingkungan dalam kebijakan investasi, perpajakan, dan perdagangan.
7. Pengembangan peran serta masyarakat, kelembagaan dan ketenagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup:
a.  Merangsang peran serta masyarakat dalam perkembangan lingkungan melalui pembinaan kesadaran masyarakat. Ikhtiar berperan serta dapat terwujud melalui pengembangan lembaga swadaya masyarakat yang mencakup kelompok profesi, hobi, dan minat.
b.   Pengembangan lembaga daerah dan lembaga Pusat Studi Lingkungan
c.    Pembinaan sarana informasi yang menunjang pengelolaan lingkungan
d.    Pengembangan pendidikan dan keterampilan dalam pengelolaan lingkungan.
e.    Pengembangan peraturan perundang – undangan.
8. Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan.
9.    Pengembangan kerja sama luar negeri.



Referensi :
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
N.H.T. Siahaan, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Erlangga, Jakarta.
Helmi, 2012, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Jakarta.
Muhamad Erwin, 2009, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan     Hidup, Refika Aditama, Bandung
Jimly Asshiddiqie, 2010, Green Constitution, Rajawali Pers, Jakarta.