Senin, 21 Januari 2013

PENALARAN HUKUM OLEH HAKIM


Ilmu penalaran atau logika adalah ilmu dan kecakapan meanalar, berpikir dengan tepat (science and art of correct thinking). Dengan kata lain ditunjuk sasaran atau bidang logika, yaitu kegiatan pikiran atau akal budi manusia. dengan berpikir dimaksudkan kegiatan akal untuk mengolah pengetahuan yang telah kita terima melalui panca indera, dan ditunjukan untuk mencapai suatu kebenaran. Berpikir adalah bicara dengan dirinya sendiri didalam batin “ (Plato, Aristoteles) : mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunjukan alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari berbagai hal yang berhubungan satu sama lain, mengapa atau untuk apa sesuatu terjadi, serta membahas suatu realitas.”
Pengetahuan manusia bermula dari pengalaman-pengalaman konkret, pengalaman sensitivo-rasional: fakta, objek-objek, kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dilihat atau dialami. Tetapi akal manusia tidak puas hanya dengan mengetahui fakta saja. Akal manusia ingin mengerti mengapa sesuatu itu demikian adanya. Maka manusia bertanya terus dan mencari bagaimana hal-hal yang diketahui itu saling berhubungan satu dan lainnya, hubungan apa yang terdapat antara gejala-gejala yang kita alami, bagaimana kejadian yang satu mempengaruhi, menyebabkan atau ditentukan oleh kejadian yang lain. Mengerti sungguh-sungguh berarti mengerti bagaimana dan mengapa sesuatu itu demikian.
          Kalau kita bertanya: apa yang kita lihat, maka jawabannya ialah: objek-objek, barang-barang, fakta: pohon yang tumbang, awan yang tebal, puncak gunung api, dan sebagainya. Sekarang kita tanya lebih lanjut: apa arti dari fakta yang kita lihat itu? Mengapa keadaan itu demikian? Apa yang terjadi disana? Apakah ada hubungan tertentu antara fakta yang dilihat itu? Ini jelas merupakan pertanyaan lain. Sekarang kita tanyakan penjelasan dari fakta, yaitu apa sebab-sebab terjadinya fakta tersebut. Disini baru mulai dibutuhkan pemikiran dalam arti sebenarnya dan dengan segala lika-likunya. Sebab, sangat mungkin kita sependapat tentang fakta itu sendiri (bahwa memang ada pohon-pohon yang tumbang, dan sebagainya), tetapi bisa tidak sependapat tentang penjelasan fakta itu, yaitu mengapa terjadi demikian. Suatu penjelasan yang menunjukan kaitan atau hubungan antara dua hal atau lebih, yang atas dasar alasan-alasan tertentu dan dengan langkah-langkah tertentu sampai pada suatu kesimpulan kita sebut sebagai suatu penalaran/pemikiran/penyimpulan.
Tujuan pemikiran manusia adalah mencapai pengetahuan yang benar dan sedapat mungkin pasti. Tetapi dalam kenyataannya hasil pemikiran (=kesimpulan) maupun alasan-alasan yang diajukan belum tentu selalu benar, benar artinya sesuai dengan kenyataan. Jadi, apabila yang dipikirkan itu betul-betul demikian, cocok dengan realitas. Salah artinya tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi, apabila apa yang dipikirkan atau dikatakan itu tidak cocok dengan realitas yang sebenarnya.
Jadi, ukuran untuk menentukan apakah suatu pemikiran atau ucapan itu benar atau tidak benar, bukanlah rasa senang atau tidak senang, enak didengar atau tidak enak didengar, melainkan cocok atau tidak dengan realitas atau fakta; suatu hal atau peristiwa dibahas dengan semestinya atau tidak. Misalnya, bila dikatakan : “ini terjadi karena tanah longsor”, padahal dalam kenyataannya tidak terjadi tanah longsor, maka ucapan atau penjelasan tersebut tidak benar, alias salah (betapapun saya merasa yakin atas ucapan tersebut, atau biarpun dikemukakan dengan penuh keyakinan, dengan suara keras, dan sebagainya). Sebab, faktanya atau kenyataannya tidak ada tanah longsor ditempat itu.
Begitu pentingnya berpikir Rane Discrates sampai pada pernyataan, “cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku ada. Berpikir merupakan sifat manusia, berpikir yang benar-benar berpikir esensi dari realitas yang ada. Oleh karenanya penalaran merupakan kegiatan setiap manusia, Dalam rangka memecahkan masalah hukum dengan cepat, tepat, dan benar, diperlukan bantuan ilmu pendukung/penunjang yang disebut Penalaran Hukum.  Penalaran hukum dapat didefinisikan sebagai proses berfikir secara logis dan analitik pada bidang hokum. Hakim memiliki peran yang sangat vital dalam menerapkan penalaran hukum, hakim sebagai “wakil tuhan” dalam penjatuhan hukuman, yang harus memutus berdasarkan hasil pikiran logis ataupun penalarannya.
Tugas hakim menurut Hakim Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes Jr., bahwa memutus bukan semata-mata proses silogisme matematis dan mekanis, namun sebuah makana yang sangat luas “... the life of the law has not been logic; it is has been expperience. The felt necessities of the time, the prevalent moral and political theories, institution of public policy avomed or unconscious, even the prejudices which judges share with their fellow...” Holmes juga mengatakan, “The law embodies the story of a nation’s development through many centuries, and it can not be dealt with as if it contained only the axioms and corollaries of a book of mathematics”. Dengan demikian, putusan hakim merupakan cermin dari sikap, moralitas, serta penalaran.
          Sumaryono mendefinisikan penalaran sebagai sebuah proses mental dimana kita (melalui akal budi) bergerak dari apa yang telah kita ketahui menuju ke pengetahuan yang baru (hal yang belum kita kita ketahui). Atau, kita bergerak dari pengetahuan yang telah kita miliki ke pengetahuan yang baru yang berhubungan dengan pengetahuan  yang telah kita miliki tersebut. Semua bentuk penalaran selalu bertolak dari sesuatu yang sudah ada atau sudah kita ketahui. Kita tidak mungkin menalar bertolak dari ketidaktahuan. Selalu ada sesuatu yang yang tersedia yang kita pergunakan sebagai suatu titik tolak untuk menalar. Titik tolak tersebut kita namakan “yang telah diketahui”, yaitu sesuatu yang dapat dijadikan sebagai suatu premis, evidensi, bukti, dasar, bahkan alasan-alasan darimana hal “yang belum diketahui”, dapat disimpulkan. Hal yang dapat disimpulkan itulah yang disebut konklusi. Inilah kiranya yang merupakan alasan mengapa penalaran dapat juga didefinisikan sebagai “berpikir konklusif”, “berpikir untuk menarik kesimpulan”.
          Jadi, penyimpulan dapat dimengerti sebagai sebuah proses mental dimana kita bergerak dari satu proposisi atau lebih menuju ke proposisi lain yang mempunyai hubungan dengan proposisi yang sebelumnya. Ini merupakan proses penggabungan sejumlah proposisi baru, yaitu konklusi, dapat diturunkan darinya, dengan kata lain, inilah yang merupakan sebuah proses penarikan kesimpulan dari sebuah premis atau kombinasi sejumlah premis.
J.A. Pontier dalam bukunya rechtvinding berpendapat bahwa penalaran merupakan bagian dari penemuan hukum, Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan – pertanyaan tentang hukum yang ditimbulkan oleh kejadian - kejadian konkret. Undang – undang yang berasal dari organ (badan, lembaga) otoritas publik yang berwenang melakukan pembentukan aturan, hukum yang  tertulis, adalah bukan satu – satunya hukum yang mempunyai arti sebagai sumber hukum. Juga pada hukum yang tidak tertulis dapat diberikan arti. Yang dipandang sebagai aturan – aturan hukum tidak tertulis adalah aturan – aturan yang disimpulkan dari kecermatan kemasyarakatan, pandangan tentang pergaulan antara sesama warga masyarakat, pandangan – pandangan tentang moral dan kesopanan dan pandangan – pandangan tentang kewajaran dan kelayakan. Penemuan hukum merupakan keharusan oleh hakim, dalam penemun hukum ini penalaran merupakan proses yang harus dilakukan, penalaran hukum adalh kegiatan hakim dalam penemuan hukum, bagaimana menerapkan hukum pada kejadian-kejadian konkret, guna mencapai suatu kebenaran. Kualitas dan kredibilitas seorang hakim ditentukan oleh putusan yang dibuatnya, sebagaimana ungkapan bahwa mahkota atau wibawa hakim terletak pada putusannya. Kewibawaan hakim akan luntur dengan sendirinya kalau putusan-putusannya tidak berpihak lagi kepada nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Berkenaan dengan sebuah sengketa tertentu, hakim dapat melihat (membayangkan) suatu penyelesaian yang tidak bertumpu pada penerapan aturan yang sederhana. Dapat saja terjadi bahwa hakim pada pandangan pertama mengenali keadaan fakta-fakta (feitenbestand) seperti fakta-fakta yang diuraikan dalam sebuah aturan undang-undang. Kejadian konkret itu memperlihatkan kesamaan dengan kejadian yang diuraikan dalam aturan undang-undang itu. Namun pada penelaahan lebih jauh tampak adanya sejumlah unsur yang ternyata tidak sama. Kejadian konkret itu juga tidak diuraikan dalam aturan-aturan yang lain. Dengan demikian, maka hakim dapat saja berpendapat bahwa kejadian konkret itu jelas-jelas tidak memerlukan pengaturan yuridik atau bahwa undang-undang menunjukan adanya kekosongan (leemte). Jika sekarang hakim meletakkan titik berat pada unsur-unsur yang sama dan dari dalamnya menyimpulkan bahwa akibat-akibat hukum dari aturan itu juga harus terjadi dalam kejadian yang terhadapnya harus diberikan putusan, maka orang mengatakan bahwa hakim itu melakukan suatu penerapan analogikal (argumentum per analogiam) atas aturan tersebut. Didalam peradilan, bentuk penalaran ini biasanya tidak dipaparkan secara utuh, melainkan secara singkat saja ditetapkan bahwa disitu telah terjadi penerapan analogikal.


E. Sumaryono, 1999, Dasar-dasar Logika, Kanisius, Yogyakarta
Eman Suparman, dalam Makna Hukum dan Tugas Hakim (Problematik hukum dan etika-sebuah pendekatan konseptual), Konggres Ilmu Hukum “Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia”, tanggal 19-20 Oktober 2012, Semarang.
J. A. Pontier, 2008, Penemuan Hukum, Penerjemah B. Arief Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung.
Jazim Hamidi, 2012, Materi Kuliah Penalaran Hukum, Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang.
W. Poespoprodjo dan E.K.T. Gilarso, 2011, Logika Ilmu Menalar, Cet.ke-IV, Pustaka Grafika, Bandung.

KONSEP BARU PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

  Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 lebih mengatur secara konkrit pengaturan terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dibandingkan undang-undang pendahulunya, ditemukan banyak konsep baru yang tidak ditemukan pada undang-undang sebelumnya. Konsep atau istilah baru dalam UUPPLH yaitu, kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), kerusakan lingkungan hidup, perubahan iklim, pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), dumping, ekorigen, kearifan lokal, masyarakat hukum adat, instrumen ekonomi, ancaman serius dan izin lingkungan.
1.  Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS)
Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program. KLHS yang dirumuskan dalam pasal 1 butir 10 UUPPLH merupakan instrumen kebijakan perencanaan program. Diintrodusirnya konsep KLHS didasari oleh pertimbangan bahwa instrumen-instrumen kebijakan yang berorientasi pada sebuah kegiatan, misalnya perizinan dan amdal saja tidak memadai untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan karena kegiatan-kegiatan yang bersifat makro justru menimbulkan dampak yang lebih luas dan bermakna sehingga perhatian harus difokuskan pula pada kegiatan makro seperti pembangunan suatu wilayah, kebijakan dan program pembangunan.
Pendapat para ahli mengatakan, KLHS adalah proses sistematis yang mengevaluasi konsekuensi lingkungan hidup dari suatu usulan, kebijakan, rencana atau program, sebagai upaya untuk menjamin bahwa konsekuensi dimaksud telah dipertimbangkan dan dimasukkan sedini mungkin dalam proses pengambilan keputusan paralel dengan pertimbangan sosial ekonomi.
2.  Kerusakan Lingkungan Hidup
Dalam UULH 1997, pengertian kerusakan lingkungan hidup tidak ditemukan, yang ada hanya pengertian perusakan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan dirumuskan dalam pasal 1 butir 17 yaitu, perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria batu kerusakan lingkungan hidup. Dengan adanya rumusan kerusakan lingkungan hidup pada dasarnya tidak diperlukan lagi rumusan perusakan lingkungan hidup karena dengan pengertian kerusakan lingkungan hidup menunjukan salah satu masalah lingkungan hidup, sedangkan perusakan lingkungan hidup mengandung makna perbuatan atau tindakan yang menimbulkan kerusakan lingkungan, sehingga UUPPLH dapat menjadi lebih hemat istilah. Misalkan untuk istilah pencemaran lingkungan cukup dengan sendirinya dipahami sebagai salah satu masalah lingkungan.
3.  Perubahan Iklim
Pengertian perubahan iklim dirumuskan dalam pasal 1 butir 19 yaitu “berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yabg teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. “Meskipun perubahan iklim dirumuskan, UUPPLH tidak memuat pasal atau bab khusus yang mengatur prinsip – prinsip pengendalian dan pengelolaan perubahan iklim. Istilah perubahan iklim hanya sekedara disebut dalam pasal 10 ayat (2) f dan (4) d yang mengatur Rencana Perlindungan dan Penelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 16 e yang mengatur KLHS.
4.  Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3)
Dalam undang-undang sebelumnya tidak diatur tentang pengelolaan limbah B3, hanya disebutkan bahan berbahaya dan beracun (B3) dan limbah B3.Pengertian Pengelolaan limbah B3 di atur dalam pasal 1 butir 23, adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan.
5.  Dumping (pembuangan)
Konsep atau istilah dumping baru ditemukan dalam UUPPLH, Pengertian Dumping (pembuangan) disebutkan dalam pasal 1 butir 24, adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu.
6.  Ekoregion
Pengertian Ekoregion dalam pasal 1 butir 29, adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup.
7.  Kearifan lokal dan Masyarakat Hukum Adat
Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari, diatur dalam pasal 1 butir 30. Masyarakat hukum adat dalam pasal 1 butir 31, adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
David Bennett(Dalam Sony ,Etika Lingkungan ,2006:43-46) mengemukakan apa yang disebutnya prudential argument ,yaitu kelangsungan hidup manusia tergantung dari kelestarian dan kualitas lingkungannya .bahwa kelangsungan hidup manusia tergantung dari kelestarian dan kualitas lingkungannya .Bahwa kelangsungan hidup manusia tergantung dari kelestarian alam semesta beserta seluruh isinya .Manusia mempunyai kepentingan untuk melestarikan lingkungannya karena dengan melestarikan lingkungannya karena dengan melestarikan lingkungan manusia mempertahankan hidupnya sendiri.
Pada masyarakat adat ,ikatan dengan kehidupan alam sangatlah erat ,apa yang dikemukakan dalam pandangan prudential argument tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat adat .Alam sekitarnya dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari hidup mereka .ILo mengatakan atau mengkatagorikan masyarakat adat sebagai :
a.    Suku-suku asli yang mempunyai kondisi sosial budaya dan ekonomi yang berbeda dari kelompok masyarakat lain di sebuah negara, dan yang statusnya –sebagian atau seluruhnya –diatur oleh adat kebiasan atau tradisi, atau oleh hukum dan aturan mereka sendiri yang khusus.
b.    Suku-suku yang menggap dirinya atau dianggap oleh orang lain sebagai suku asli karena mereka merupakan keturunan dari penduduk asli yang mendiami negeri tersebut sejak dulu kala sebelum masuknya bangsa penjajah ,atau sebelum adanya pengaturan batas-batas wilayah administratif seperti yang berlaku sekarang dan yang mempertahankan atau berusaha mempertahankan terlepas dari apapun status hukum mereka –sebagian atau seluruh ciri lembaga sosial,ekonomi,budaya,dan politik yang mereka miliki. Dalam pengertian itu, masyarakat adat dikenal memiliki bahasa, budaya,agama,tanah,dan wilayah yang terpisah dari kelompok masyarakat lain ,dan hidup jauh sebelum terbentuknya negara modern.
         Secara perlahan kekuatan magis yang bertumpu pada alam tadi mulai berkurang. Terjadi desakralisasi alam yang membuat alam tidak lagi dihormati,disembah ,dan dipelihara dengan penuh takjub. Manusia mulai merasa superior ketika berhadapan dengan alam. Konsekwensinya alam tidak lagi bernilai sakral tetapi bernilai ekonomis yang sangat tinggi.Terjadi pergeseran nilai .Alam mulai dilihat sebagai harta karun yang bisa dieksploitasi untuk mengubah hidup mereka .Alam dipandang sebagai sumber ekonomi yang bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidup .Hidup selaras dengan alam mulai ditinggalkan .Kearifan lokal masih ada,tetapi telah mengalami pergeseran nilai .Dan untuk menyelematkan kearifan lokal dan kearifan tradisional yang pernah ada dan yang masih ada dalam masyarakat adat ,maka hak-hak masyarakat adat harus diakui dan dijamin oleh masyarakat dunia .Harus ada komitmen politik tingkat nasional dan internasional untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan kearifan tradisionalnya.  
8.  Instrumen ekonomi lingkungan hidup
Istilah Instrumen ekonomi lingkungan hidup diatur dalam pasal 1 butir 33, adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Hal ini merupakan cerminan konsep demokrasi yang terkait dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan wawasan lingkungan, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 33 ayat (4) UUD RI 1945 :
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
9.     Ancaman Serius
UUPPLH dalam pasal 1 merasakan penting dimasukannya pengertian ancaman serius. Pengertian Ancaman serius disebutkan dalam pasal 1 butir 34, adalah ancaman yang berdampak luas terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan masyarakat.
10. Izin Lingkungan
Pengertian Izin lingkungan dalam pasal 1 butir 35, adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
Izin merupakan instrumen hukum administrasi yang dapat digunakan oleh pejabat pemerintah yang berwenang untuk mengatur cara-cara pengusaha menjalankan usahanya .Dalam sebuah izin  pejabat yang berwenang menuangkan syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan berupa perintah –perintah ataupun larangan –larangan yang wajib dipatuhi oleh perusahaan .Dengan demikian ,izin merupakan pengaturan hukum tingkat individual atau norma hukum subjektif karena sudah dikaitkan dengan subjek hukum tertentu .Perizinan memiliki fungsi preventif dalam arti intrumen untuk pencegahan terjadinya masalah-masalah akibat kegiatan usaha .Dalam Konteks hukum lingkungan ,perizinan berada dalam wilayah hukum lingkungan administrasi.
Dalam  sistem hukum indonesia sebelum berlakunya UUPPLH 2009 terdapat berbagai jenis izin yang dapat dikategorikan sebagai perizinan dibidang pengelolaan lingkungan atas dasar kriteria bahwa izin-izin tersebut dimaksudkan atau berfungsi untuk pencegahan perusakan lingkungan akibat pengambilan sumber daya alam dan penataan ruang .Penataan ruang merupakan bagian dari pengelolaan lingkungan .Izin-izin tersebut adalah Izin Hinder Ordonasi ,Izin Usaha ,Izin Pembuangan Air Limbah dan Izin Dumping dan Izin Pengoperasian instalasi pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) ,Izin Lokasi ,Izin Mendirikan Bangunan .Izin –izin ini diatur dalam peraturan perundangan –undangan yang berbeda.



Syamsul Arifin, 2012, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, Sofmedia, Jakarta.
Marhaeni Rio Siombo, 2012, Hukum Lingkungan dan Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
UUD NRI 1945

LANDASAN HUKUM PENYAMPAIAN PENDAPAT


Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 28E ayat (3), “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan Pendapat”.
Undang - undang No 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Depan Umum
HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 5
Warga ncgara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk :
a. mengeluarkan pikiran secara bebas;
b. memperoleh perlindungan hukum.
Pasal 6
Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain;
b. menghonnati aturan-aturan moral yang diakui umum;
c. menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. menjaga dan menghonnati keamanan dan ketertiban umum; dan
e. menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pasal 7
Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di rnuka umurn oleh warga negara. aparatur pernerintah berkewajiban
dan bertanggung jawab untuk :
a. melindungi hak asasi manusia;
b. rnenghargai asas legalitas;
c. menghargai prinsjp praduga tidak bersalah; dan
d. rnenyelenggarakan pengamanan.
Pasal 8
Masyarakat berhak berperan serta secara bertanggung jawab untuk berupaya agar penyarnpaian pendapat di muka
umum dapat berlangsung secara aman, tertib, dan damai.\
BENTUK-BENTUK DAN TATA CARA PENYAMPAIAN PENDAPAT Dl MUKA UMUM

Pasal 9
(1) Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan:
a. unjuk rasa atau dernonstrasj;
b. pawai;
c. rapat umurn; dan atau
d. mimbar bebas.
(2) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). dilaksanakan di tempat-tempat
terbuka untuk umum. kecuali :
a. di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah. instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut,
stasiun kereta api. terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional;
b. pada hari besar nasional.
(3) Pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang
membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum.
Pasal l0
(1) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis
kepada Polri.
(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan.
pemimpin, alau penanggungjawab kelompok.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat ) jam
sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat.
(4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam
kampus dan kegiatan keagamaan.
Pasal 11
Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal l0 ayat (1) memuat :
a. maksud dan tujuan;
b. tempat, lokasi, dan rute;
c. waktu dan lama;
d. bentuk;
e. penanggung jawab;
f. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan;
g. alat peraga yang dipergunakan; dan atau
h. jumlah peserta.
Pasal 12
(1) Penanggungjawab kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9, dan Pasal 11 wajib bertanggungjawab
agar kegiatan tersebut terlaksana secara arnan, tertib, dan damai.
(2) Setiap sarnpai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta unjuk rasa atau dernonstrasi dan pawai harus ada seorang
sampai dengan 5 (lirna)orang penanggungjawab.
Pasal 13
(1) Setelah menerima surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 11 Polri wajib :
a. segera rnemberikan surat tanda terirna pemberitahuan;
b. berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di rnuka umum;
c. berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat;
d. mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi. dan rute.
(2) Dalarn pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum. Polri bertanggungjawab memberikan perlindungan
keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum.
(3) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan
pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku,
Pasal 14
Pembatalan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum disampaikan secara tertulis dan langsung oleh
penanggung jawab kepada Polri selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) jam sebelum waktu pelaksanaan.

SANKSI

Pasal 15
Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dapat dibubarkan apabila tidak mcmenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10, dan Pasal 11.
Pasal 16
Pelakuu atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar
hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 17
Penanggung jawab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 Undang-undang ini dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
pidana yang berlaku ditambah dengan 1/3 (satu per tiga) dari pidana pokok.
Pasal 18
(1) Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk
menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) adalah kejahatan.