Minggu, 24 Maret 2013

PENEGAKKAN HUKUM LINGKUNGAN

HUKUM LINGKUNGAN UNTUK SIAPA?

     Masalah lingkungan terus mendapatkan perhatian beberapa abad terakhir dari para akademisi, pegiat atau aktivis yang bergerak di bidang lingkungan hidup, tidak heran lingkungan menjadai topik “emas” yang dibahas diforumnya tersendiri. Kualitas lingkungan memang semakin menghawatirkan, perkembangan tekhnologi, industri dan pertumbuhan pendudukan menjadi faktor pemicu rendahnya kualitas lingkung. Masyarakat pada umumnya tidak memiliki kepedulian yang besar terhadap perkembangan lingkungan akhir-akhir ini, memang harus diakui negara ini sedang menghadapi berbagai permasalahan, permasalahn lingkungan tidak begitu “sexy” untuk di perhatikan, sehingga masyarakat masih sibuk membahas masalah-masalah baru yang terus muncul di media massa, televisi, koran ataupun media online, masyarakat terus dijejali permasalahan yang baru ataupun permasalahan lama yang berkembang, hampir tidak ada pemberitaan yang membanggakan dari negeri ini, beberapa masyarakat acuh tak acuh menyikapi masalah yang datang silih berganti, bisa dibilang masyarakat sudah lelah dengan semua ini, bersuara pun tak ada gunanya, ada juga yang hanya mengeluh, namun ada pula yang peduli.
Masalah lingkungan merupakan masalah dunia, itu pula sebabnya PBB mengadakan konferensi di stockholm, swiss, pada tahun 1972,. Kemudian pada tahun 1984 PBB membentuk Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (The World Commission on Environment And Development), dan pada tahun 1992 PBB mengadakan konferensi kedua di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992, dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Bekelanjutan yang dilaksanakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002. Pengaruhnya terhadap Indonesia adalah dibentuknya Departemen Lingkungan Hidup yang menghasilkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982, kemudian diperbaharui dengan undang-undang lingkungan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, karena undang-undang sebelumnya tidak mampu memproteksi permasalahan lingkungan yang semakin kompleks. Selama dua belas tahun berlaku undang-undang inipun masih memiliki celah yang tidak mampu menjangkau perlindungan terhadap lingkungan hidup, sehingga permasalahan lingkungan bukannya semakin membaik, tapi kualitas lingkungan semakin memprihatinkan. Itu pula sebabnya yang melatarbelakangi lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 yang berlaku sekarang.
          Sudah tiga tahun undang-undang ini menjadi payung hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Namun, berbagai kalangan menilai lingkungan terus dieksploitasi, pertambangan, industri, ruko, hotel, semakin tumbuh pesat mengabaikan hak lingkungan hidup, hutan terus digunduli, sungai semakin tercemar, ruang terbuka hijau semakin menipis, rupanya pemerintah daerah sedang giat melakukan pembangunan ekonomi, hebatnya sebagian besar masyarakat tidak peduli malah ikut merayakan perusakan dan pencemaran lingkungan ini, sebagian besar masyarakat bangga dengan pembangunan yang dilakukan pemerintah tanpa mengerti untuk apa itu semua dibangun. Merupakan sebuah dilema bagi negeri ini, disatu sisi harus memajukan perekonomian, sektor lainnya terabaikan, lebih lebih sektor lingkungan, perekonomian yang seharusnya dibangun berdasarkan prinsip sustainable development yang berwawasan lingkungan, sesuai pasal 33 ayat (4) UUD 1945 (amandemen ke empat tahun 2002) masih kalah perkasa apabila disandingkan dengan pembangunan ekonomi, konstitusi (UUD 1945) kitapun sangat didominasi oleh pengaruh ekonomi yang bisa dibilang demokrasi ekonomi, sehingga peraturan dibawahnya berpatokan terhadap undang-undang yang lebih tinggi.Otonomi daerah memang disatu sisi memakan korban yang jauh lebih mematikan, tujuan otonomi yang seharusnya memajukan perekonomian rakyat melalui optimalisasi peran daerah menjadi salah sasaran, pemerintah daerah berlomba-lomba mengekploitasi lingkungan, industri dibuka dimana-mana, rakyat tidak dilibatkan, penolakan tidak dihiraukan, yang terpenting adalah memajukan ekonomi, ekonomi keluarga, kelompok maupun ekonomi pengusaha, kasus Freeport, mesuji, bima adalah beberapa contoh. Wajar banyak kalangan menilai, “ yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”, istilah ini memang benar, perlindungan terhadap rakyat miskin hanyalah sebuah slogan politik untuk mendapatkan simpati serta menaikan popularitas partai atau individu.
          Berbagai peraturan yang mengatur lingkungan hidup terus berkembang di negeri ini, tetapi, seperti yang dikatakan Prof.Siti Sundari Rangkuti dari Unair, hukum lingkungan hanya sebuah “macan kertas”, yang mengaum-ngaum dikertas dengan sanksi pidana yang berat, namun implementasinya jauh dari harapan, para perusak dan pencemar lingkungan tidak terpengaruh terhadap undang-undang lingkungan yang terus diperbaharui. Lalu untuk apa hukum lingkungan jika tidak ditegakkan?. Tujuan hukum lingkungan adalah memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat, namun yang terjadi di negeri ini adalah hukum tidak bisa berbuat banyak, kalah oleh kekuasaan dan kekuatan politik. Hukum lingkungan harus diakui sudah memiliki substansi yang bagus dalam melindungi dan mengelola lingkungan, lebih mengatur secara konkrit serta terdapat beberapa konsep baru bila dibandingkan undang-undang sebelumnya, walaupun terdapat beberapa kekurangan. Namun struktur hukum (penegak hukum) tidak mampu mengimbangi kekuatan undang-undang serta tidak menggunakan moralitasnya untuk memahami undang-undang.
          Hukum Lingkungan di Indonesia "seolah-olah" dibuat untuk tidak ditegakkan,  pembangunan ekonomi masih menjadi “musuh dalam selimut”, berbagai pembangunan di kota-kota maupun daerah-daerah tidak diimbangi dengan penghargaan terhadap hak-hak lingkungan. Berbagai konsep dalam hukum lingkungan yang baru masih berbenturan dengan berbagai kepentingan, tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi dengan undang-undang lainnya merupakan permasalahan yang mendasar yang harus segera di benahi oleh steakholders, penegakkan hukum lingkungan haruslah ada kesepahaman berbagai pihak, karena kepentingan lingkungan sangat sensitif, masih bertolak belakang dengan pembangunan yang mengagung-agungkan “industrialisasi”  untuk menumpas kemiskinan. 

Sabtu, 23 Maret 2013

PENGEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN

Tinjauan Teori Nilai Kebijakan Publik

       Teori nilai kebijakan publik (the public values) menjelaskan bahwa pertukaran pandangan atau musyawaah mufakat (deliberative process) di antara berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dapat menjadi dasar bagi pembuatan keputusan yang rasional. Pertukaran pandangan dilandasi oleh sifat keterbukaan pemikiran (openness of mind), kejujuran (honesty), kesediaan untk mendengar kritik, dan penghargaan atas pandangan – pandangan pihak yang berbeda menjadi dasar pengambilan keputusan bersama (collective choice). Menurut teori nilai kebijakan publik wakil – wakil dari berbagai pemangku kepentingan dalam proses legislasi harus mampu mengatasi benturan kepentingan dengan cara menempatkan kepentingan bersama (public goods) di atas kepentingan konstituen mereka. Para anggota badan legislatif harus mampu membangun konsepsi kepentingan bersama. Apa yang dimaksud dengan kepentingan konstituen mereka . Para anggota badan legislatif harus mampu membangun konsepsi kepentingan bersama. Apa yang dimaksud dengan kepentingan bersama dapat diperoleh melalui pertukaran pandangan dalam proses politik. Dalam proses ini ,para anggota badan legislatif setelah memerhatikan berbagai usulan atau pandangan dari berbagai pemangku kepentingan membuat keputusan dengan mengacu pada apa yang mereka anggap sebagai kepentingan publik dan bangsa.
          Dalam pembangunan hukum lingkungan seringkali berbenturan dengan kepentingan pembangunan ekonomi nasional, pembangunan nasional secara fisik di Indonesia tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup, eksploitasi terhadap sumber daya alam menjadi pemandangan yang biasa, demi meraih dan menarik para investor asing, peraturan yang ada seakan hanya menjadi hiasan dinding yang tak berkutik. Adanya otonomi daerah menjadi ajang para kepala daerah menunjuk kebolehan merusak dan mengerok keuntungan dari eksploitasi alam. Para pemimpin seakan menutup mata dan telinga melihat dan mendengar jeritan rakyat, untuk menyelamatkan diri pribadi dan kelompoknya mereka sembunyi dibalik peraturan perundang-undangan yang mereka buat sendiri.
         Kesadaran lingkungan mulai terlihat tahun 1950-an tatkala mulai munculnya pencemaran yang berasal dari pabrik – pabrik, pertanian dan transportasi di negara- negara maju. Tumbuhnya industri sekaligus menimbulkan pencemaran melalui buangan limbah, asap (jelaga) atau kebisingan (noise). Sistem pertanian menimbulkan pencemaran alam melalui pemakaian pestisida yang banyak. Demikian pula transportasi melalui asap dari proses bahan bakar, kebisingan dan kemacetan jalan.
         Dasawarsa tahun 1970-an merupakan awal permasalahan lingkungan secara global yang ditandai dengan dilangsungkannya Konferensi Stockholm tahun 1972 yang membicarakan masalah lingkungan (UN Coference on the Human Environment,UNCHE). Konferensi yang diselenggarakan oleh PPB ini berlangung dari tanggal 5-12 juni 1972, akhirnya tanggal 5 juli ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Pada 1987 terbentuk sebuah komisi dunia yang disebut dengan Komisi Dunia tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development)  yang kemudian lahir konsep sustainable development, kemudian majelis umum PPB memutuskan untuk menyelenggarakan konferensi di Rio de Janeiro, Brasil 1992.
         Negara berkembang seperti Indonesia sangat mendambakan pembangunan industri, untuk memperbaiki struktur ekonomi nasional, oleh karena itu kepentingan lingkungan seakan terabaikan.  Para ilmuwan berpendapat bahwa untuk menghilangkan keterbelakangan dan kemiskinan didunia ketiga, seharusnya dilakukan perubahan dan ditingkatkannya pertumbuhan, keterbelakangan ekonomi ini yang mengakibatkan rendahnya pendapatan, para ilmuwan percaya bahwa segala sesuatu menuju perubahan dapat dicapai dengan pembangunan.
         Sekitar tahun tujuh puluhan, Mochtar Kusumaatmadja mengadaptasi dan mengembangkan teori Roscoe pound, law as a tool of sosial engineering sebagai landasan teoritis pembinaan hukum di Indonesia. Perkembangan selanjutnya, konsep pembinaan hukum ini diberi nama “teori hukum pembangunan”.
         Konsep pembangunan berkelanjutan untuk pertama kali dituangkan dalam kebijaksanaan nasional melalui Keppres No.13 Tahun 1989 Tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), dan TAP MPR No.ll/MPR/1993 tentang garis – garis besar Haluan Negara. Dengan demikian, sejak saat ini pembangunn berkelanjutan telah mempunyai dasar hukum dalam kebijaksanaan nasional.
         Umat manusia mempunyai kapasitas untuk menjadikan pembangunan ini berkelanjutan. Yang dimaksud dengan pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini dengan mengindahkan kemampuan generasi mendatang dalam mencukupi kebutuhannya.
         Ada tiga hal penting yang tercakup disini, yaitu : (1) pengelolaan sumber alam secara bijaksana;(2) pembangunan berkesinambungan sepanjang masa; dan (3) peningkatan kualitas hidup. Konsep pembangunan berkelanjutan mengimplikasikan bukan pada batas absolut akan tetapi pada batas yang ditentukan oleh tingkat masyarakat dan organisasi sosial mengenai sumber daya alam serta kemampuan biosfer untuk menyerap pengaruh-pengaruh kegiatan manusia.
         Dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintah, penting dipahami tujuan hukum dan fungsi hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum berfungsi sebagai sarana pembaruan atau sarana pembangunan didasarkan atas anggapan, bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengaturan) atau sarana pembangunan dalam arti penyaluran arah kegiatan manusia yang ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan.
         Sejak era 1980-an, berkembang tuntutan yang meluas agar kebijakan-kebijakan resmi negara yang pro lingkungan dapat tercermin dalam bentuk perundang-undangan yang mengingat untuk ditaati oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder). Tak terkecuali, Indonesia juga menghadapi tuntutan yang sama, yaitu perlunya disusun suatu kebijakan yang dapat dipaksakan berlakunya dalam bentuk undang-undang tersendiri yang mengatur mengenai lingkungan hidup.
         Itu juga sebabnya, maka Indonesia menyusun dan akhirnya menetapkan berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Inilah produk hukum pertama yang dibuat di Indonesia, setelah sebelumnya dibentuk satu kantor kementerian tersendiri dalam susunan anggota Kabinet Pembangunan III, 1978-1983. Menteri Negara Urusan Lingkungan Hidup yang pertama adalah Prof. Dr. Emil Salim yang berhasil meletakkan dasar-dasar kebijakan mengenai lingkungan hidup dan akhirnya dituangkan dalam bentuk undang-undang pada tahun 1982.
         Kemudian setelahnya lahir berbagai produk perundang-undangan sebagai wujud kesadaran lingkungan, serta mengatur lebih jauh amanat UUD RI 1945 yang menghargai lingkungan sebagai hak setiap manusia, lahirnya Undang-undang Nomor 27 Tahun 1997 serta digantikan oleh Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 yang sekarang berlaku, roh dari undang-undang tersebut adalah sustinable development, dimana pembangunan dan pengembangan hukum lingkungan harus berdasarkan kepentingan manusia masa sekarang dan masa yang akan datang.
         Pengembangan hukum lingkungan berdasarkan teori nilai kebijakan publik diartikan sebagai pembangunan hukum lingkungan yang berkelanjutan sesuai amanat konferensi yang terjadi di dunia internasional yang kemudian menurun ke peraturan perundangan-undangan nasional, untuk memungkinkan pembangunan berkelanjutan diperlukan pokok-pokok kebijaksanaan sebagai berikut :
1. Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai dengan daya dukung lingkungannya. Dengan mengindahkan kondisi lingkungan (biogeofisika dan sosekbud), setiap daerah harus dibangun sesuai dengan zona industri, zona pemukiman, zona perkebunan, pertanian, dan lain – lain. Hal ini memerlukan perencanaan tata ruang (Rencana Tata Ruang Wilayah atau RTRW). Melalui rencana tata ruang wilayah ini dapat dihindari pemanfaatan ruangan yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungannya.
2. Proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan dikendalikan melalui penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses perencanaan proyek. Melalui studi AMDAL, dapat diperkirakan dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan sehingga dapat disusun Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL) yang mengendalikan dampak negatif dan meningkatkan dampak positif Untuk menjamin pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan ini diterapkan pula Rencana Pemantauan Lingkungan yang berfungsi untuk memantau apakah dampak negatif pembangunan dapat terkendali.
3.    Penanggulangan pencemaran air, udara, dan tanah mengutamakan :
a.    Penanggulangan bahan beracun dan berbahaya agar limbah ini dapat dikendalikan dan tidak membahayakan masyarakat.
b. Penanggulangan limbah padat terutama di kota – kota besar supaya tidak menganggu kesehatan lingkungan.
c.    Penetapan baku mutu emisi dan efluen.
d.    Pengembangan baku mutu air dan udara.
4.  Pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan. Usaha ini perlu ditunjang oleh berbagai kebijakan lain, seperti :
a.    Pengelolaan hutan tropis yang secara khusus melestarikan habitat (tempat tinggal) flora dan fauna dalam taman nasional, suaka alam, suaka marga satwa, cagar alam, dan lain – lain.
b. Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang secara khusus melestarikan keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan hutan.
5.    Pengendaliaan kerusakan lingkungan melalui :
a.    Pengelolaan daerah aliran sungai
b.   Rehabilitasi dan reklamasi bekas pembangunan dan galian C
c.    Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan
6.    Pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan:
a.    Manfaat dan biaya lingkungan perlu diperhitungkan dalam analisis ekonomi
b.   Pengurasan sumber daya alam (resource depletion) perlu diperhatikan sebagai bagian dari ongkos pembangunan.
c.    Sangat penting adalah memasukkan pertimbangan lingkungan dalam kebijakan investasi, perpajakan, dan perdagangan.
7. Pengembangan peran serta masyarakat, kelembagaan dan ketenagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup:
a.  Merangsang peran serta masyarakat dalam perkembangan lingkungan melalui pembinaan kesadaran masyarakat. Ikhtiar berperan serta dapat terwujud melalui pengembangan lembaga swadaya masyarakat yang mencakup kelompok profesi, hobi, dan minat.
b.   Pengembangan lembaga daerah dan lembaga Pusat Studi Lingkungan
c.    Pembinaan sarana informasi yang menunjang pengelolaan lingkungan
d.    Pengembangan pendidikan dan keterampilan dalam pengelolaan lingkungan.
e.    Pengembangan peraturan perundang – undangan.
8. Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan.
9.    Pengembangan kerja sama luar negeri.



Referensi :
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
N.H.T. Siahaan, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Erlangga, Jakarta.
Helmi, 2012, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Jakarta.
Muhamad Erwin, 2009, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan     Hidup, Refika Aditama, Bandung
Jimly Asshiddiqie, 2010, Green Constitution, Rajawali Pers, Jakarta.