Kamis, 12 September 2013

HUKUM PROGRESIF

MEMAHAMI HUKUM SECARA HOLISTIK

Oleh: Taufan, S.H.,M.H
         
Pemahaman hukum apabila berhenti pada pemahaman norma hukum(normwissenschaft) maka hukum akan mengalami suatu kemandekan. Praktek hukum di Indonesia saat ini masih didominasi oleh positivisme hukum. Hukum yang seharusnya merepresentasikan nilai-nilai masyarakat yang tercermin dalam Ideologi Pancasila beralih kepada produk politik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sarat dengan kepentingan partai politik. Hukum tidak lagi berasal dari masyarakat, pengaruhnya adalah hukum tidak mampu dan tidak efektif dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, sudah menjadi “patologi” bangsa ini dalam keterlambatan hukum membaca perkembangan perilaku manusia dan arah pola pikir manusia, hukum di Indonesia selalu terlambat membaca arah pertumbuhan dan perkembangan manusia, kemajuan yang pesat seringkali menimbulkan kekaburan, pertentangan ataupun kekosongan hukum, yang seharusnya tidak dipermasalahkan, keterlamabatan hukum itu seharusnya dijadikan sebuah momentum untuk memberikan peran yang lebih terhadap para penegak hukum, yang lebih tepatnya apabila mengutip pendapat Prof.Satjipo Rahardjo, penegak hukum seperti polisi, jaksa, maupun hakim harus bertindak progresif, menerobos positivisme hukum (rule breaking) untuk mencapai suatu keadilan maupun kemanfaatan hukum.Polisi memiliki kewenangan diskresi yang bisa dioptimalkan, dengan memperhatikan batasan-batasan nilai moral masyarakat, jaksa juga memiliki hak deponeering yang seharusnya bisa digunakan, dan juga hakim dapat menerapkan metode penemuan hukum (rechtvinding) yang oleh undang-undang juga diberikan kewenangan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, peraturan perundang-undangan tidak lengkap dan tidak jelas, kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu peraturan perundang – undangan dengan tuntas dan jelas. Senada dengan itu, Satjipto Rahardjo berpendapat, dalam sejarah dijumpai munculnya bentuk – bentuk kejahatan baru yang tidak siap dihadapi oleh perundang – undangan yang ada. Beliau berpendapat, salah satu sifat penting dari hukum tertulis terletak pada kekakuanya (Lex dura sed tamen scripta – hukum itu keras/kaku, tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, maka perhatian bergeser kepada pelik – pelik pengunaannya sebagai sebuah dokumen tertulis. Lebih jauh beliau mengatakan hukum, perundang – undangan, atau peraturan pada umumnya dirancang berdasarkan asumsi – asumsi tertentu.
Sulit ditemui penegak hukum yang menggunakan moralnya untuk membaca teks hukum, untuk itu disamping memerlukan penegak hukum yang jujur, maka penegak hukum juga harus berani, berani mengutamakan kemanfaatan dan keadilan diatas kepastian hukum, serta berani melawan kepentingan. Harus diakui, memang praktik peradilan kita terlalu kaku, dalam artian masih menganut asas legalitas yang menjadi ciri utama aliran positivis, “ Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege punali ”, dimana segala perbuatan tidak dapat dipidana sebelum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur.
Undang – undang yang berasal dari organ (badan, lembaga) otoritas publik yang berwenang melakukan pembentukan aturan, hukum yang  tertulis, adalah bukan satu – satunya hukum yang mempunyai arti sebagai sumber hukum. Juga pada hukum yang tidak tertulis dapat diberikan arti. Yang dipandang sebagai aturan – aturan hukum tidak tertulis adalah aturan – aturan yang disimpulkan dari kecermatan kemasyarakatan, pandangan tentang pergaulan antara sesama warga masyarakat, pandangan – pandangan tentang moral dan kesopanan dan pandangan – pandangan tentang kewajaran dan kelayakan. Kepentingan dari sebuah pelaksanaan peradilan yang baik yang bertumpu  pada kebenaran kadang – kadang harus dikesampingkan demi kepentingan kepentingan kemasyarakatan yang lain.
Hukum di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, seperti yang dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman, ada tiga yang mempengaruhi keberlakuan hukum, yaitu substansi, struktur dan kultur. Tentunya seluruh masyarakat sudah tahu, bahwa struktur penegak hukum kita merupakan faktor utama yang menjadi penyebab terhambatnya pencapaian keadilan, keteraturan akan semakin jauh apabila struktur hukum tidak mampu memahami substansi hukum, struktur hukum di Indonesia harus diakui masih memahami hukum sebatas perundang-undangan tertulis, sistem pendidikan hukumpun menawarkan hukum sebatas norma, sehingga hasil dari pendidikan hukum yang normatif ini membawa pengaruh terhadap struktur hukum yang normatif pula. Keresahan ini yang menjadikan Prof. Satjipto Rahardjo mengembangkan pemikiran hukum progresif.
Dalam pembangunan hukum, upaya pencapaian penegakan hukum tidak terbatas pada adanya aturan yang bersifat normatif saja, sejak hukum itu memasuki era hukum tertulis yang menjadi salah satu ciri hukum modern, panggung hukum berubah menjadi panggung hukum tertulis dan menjadi sebuah skema. Hukum sebagai skema adalah hukum sebagaimana dijumpai dalam teks atau perundang – undangan atau hukum yang dirumuskan dengan sengaja secara rasional, disini hukum sudah mengalami pergeseran bentuk dari hukum yang muncul secara serta merta (interactional law) menjadi hukum yang dibuat dan diundangkan (legislatet law).
Pengakuan terhadap hukum yang holistik akan membawa implikasi pemikiran yang obyektif, memberikan ruang terhadap hukum-hukum yang tidak dilirik oleh para legislatif yaitu kearifan lokal (local wisdom). Konsitusi telah mengakui kearifan lokal dan masyarakat adat sebagai bagian dari hukum nasional dalam pasal 18H UUD RI 1945, walaupun mempunyai tendensi mengenyampingkannya. Setelah amandemen pengakuan terhadap kearifan lokal mengalami pergeseran bentuk yang terkesan mematikan perlahan hukum adat. Hukum negara (State Law) memang sangat mendominasi hukum nasional kita yang bisa disebut legal centralism. Pluralisme hukum (Legal pluralism) menjadi wacana yang terpinggirkan, masih kalah perkasa oleh keperkasaan state law.
Pluralisme Hukum adalah suatu keniscayaan, sementara sentralisme hukum merupakan suatu mitos, utopia, klaim, bahkan ilusi. Namun tak dapat disangkal bahwa ideologi sentralisme hukum telah begitu menguasai alam pikiran para ahli hukum dan ahli kajian sosial. Ideologi ini telah, menina-bobokan mereka, hingga para ahli tersebut menjadikan sentalisme hukum sebagai pijakan dasar dalam pengembangan teori hukum dan kajian sosial.
Fungsi hukum ialah memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak – hak manusia, mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Ketiga tujuan ini tidak saling bertentangan, tetapi merupakan pengisian satu konsep dasar, yakni bahwa manusia harus hidup dalam suatu masyarakat, dan bahwa masyarakat itu harus diatur dengan baik. Namun, Otoritas positivisme hukum akan mengakibatkan pencapaian keadilan dan kemanfaatan semakin jauh, positivisme hukum seharusnya diimbangi oleh penghargaan terhadap nilai-nilai masyarakat, karena pandangan yang parsial akan mengakibatkan ketimpangan, pemahaman hukum harus secara holistik, tidak mengaburkan nilai-nilai dari mana hukum itu berada, karena hukum ada karena adanya masyarakat, ibi societas ibi ius.



Referensi :
Sudikno Mertokusumo, 2010, Penemuan Hukum, Universitas Atmajaya, Jogjakarta.
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakkan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta.
J. A. Pontier, 2008, Penemuan Hukum, Penerjemah B. Arief Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung.
John Griffiths, 2005, Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual, dalam Pluralisme Hukum : Sebuah Pendekatan Interdisiplin, Huma, Jakarta.
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Bandung.


POLITIK HUKUM SISTEM INFORMASI LINGKUNGAN HIDUP

Oleh: Taufan, S.H.,M.H
       
            Tujuan negara berhubungan erat dengan organisasi dari negara tersebut. Jadi kalau suatu negara itu bertujuan untuk mencari kepuasan yang sebesar-besarnya, maka susunan dari organ-organnya, cara bekerja dari organ-organ tersebut, serta perhubungan dari organ-organnya akan berlainan sekali dengan suatu negara yang tujuan negaranya bukan mencari kepuasan.
           Dalam pembentukan hukum oleh negara, tentunya hukum mempunyai sasaran yang ingin dicapai, tidak ada satupun peraturan perundangan dibuat tanpa adanya tujuan, ada tujuan yang ingin dicapai oleh hukum. Dari kacamata teori barat, tujuan hukum dimulai pada teori etis yang mengatakan tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan keadilan (justice), teori utilistis yang dianut oleh Jeremy Bentham tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan kemanfaatan (Utility), dan teori legalistik tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan kepastian hukum (legal certainty). Dalam perkembangannya lahir pula teori prioritas baku yang menggabungkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian sebagai tujuan hukum, serta disempurnakan oleh teori prioritas kasuistik yang menambahkan dengan urutan prioritas, secara proposional, sesuai dengan kasus yang dihadapi dan ingin dipecahkan.
1.  Pembangunan Hukum
           I Wahan Sudirta berpendapat bahwa ada dua macam strategi pembangunan hukum yang akhirnya sekaligus berimplikasi pada karakter produk hukumnya yaitu pembangunan hukum “otodoks” dan pembangunan hukum “responsif”, strategi pembangunan hukum harus mengakomodasi politik hukum daerah agar menghasilkan hukum yang responsif, tanggap terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok sosial dan individu dalam masyarakat.
           Pembangunan hukum harus berangkat dari nilai-nilai Pancasila, karena pada hakikatnya pancasila merupakan tonggak konvergensi berbagai gagasan dan pemikiran mengenai dasar falsafah kenegaraan yang didiskusikan secara mendalam oleh para pendiri negara. Pancasia menjadi kesepakatan luhur (modus vivendi) yang kemudian ditetapkan sebagai dasar ideologi negara. Dalam hal ini, pancasila menjadi dasar rasional mengenai asumsi tentang hukum yang akan dibangun sekaligus sebagai orientasi yang menunjukan kemana bangsa dan negara harus dibangun.
           Dengan demikian, Pancasila merupakan sebuah kesepakatan dan konsesus untuk membangun satu bangsa satu negara, tanpa mempersoalkan perbedaan latar belakang yang ada, baik agama, ras, suku, budaya, bahasa dan lainnya. Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi rechtsidee (cita hukum) yang harus dituangkan didalam setiap pembuatan dan penegakkan hukum. Notonegoro menyatakan bahwa Pancasila menjadi cita hukum karena kedudukannya sebagai pokok kaidah fundamental negara (staatsfundamentalnorm) yang mempunyai kekuatan sebagai grundnorm. Sebagai cita hukum, pancasila menjadi bintang pemandu seluruh produk hukum nasional, dalam artian semua produk hukum ditujukan untuk mencapai ide-ide yang dikandung Pancasila.
2.  Pembangunan Hukum Lingkungan
           Dalam pembangunan hukum lingkungan di Indonesia, ditandai lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 yang kemudian dirubah oleh Undang-undang Nomor 23 tahun 1997, dan yang terakhir adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. Hukum lingkungan di Indonesia terus berkembang, pembangunan hukum lingkungan memang sering berbenturan dengan pembangunan ekonomi nasional. Dalam pembangunan hukum lingkungan nasional, selain mengacu pada Pancasila, Indonesia juga terikat dengan PBB, yang berarti apabila adanya kesepakatan dalam konferensi yang dilakukan oleh PBB, maka Indonesia wajib merativikasi kedalam sebuah peraturan perundang-undangan.
           Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa ikut aktif dalam berbagai organisasi internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup .Di era globalisasi saat ini ,interaksi masyarakat dunia tidak lagi dibatasi oleh jarak ,dan kondisi saling membutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan semakin terasa .Saling bersepakat di antara negara-negara dibidang lingkungan hidup sudah merupakan suatu kebutuhan ,karena kualitas hidup manusia ditentukan oleh kualitas bumi tempat mereka berpijak .Globalisasi membuat negara-negara di dunia saling tergantung satu dengan yang lain .Antara negara yang satu dengan negara lainnya saling membutuhkan .Indonesia yang meskipun kaya dengan sumber daya alam ,tapi karena jumlah penduduknya yang besar dan pendapatan perkapita yang masih rendah ,tidak dapat mengatasi masalah tersebut tanpa berinteraksi dengan negara lain. Oleh karena itu sangatlah penting bagi indonesia ikut aktif dalam berbagai pergaulan dunia ,termasuk yang berkaitan dengan persoalan –persoalan lingkungan hidup. Apalagi isu lingkungan seringkali dikaitkan dengan berbagai persoalan politik.
           Konferensi Stockholm 1972 yang membahas isu lingkungan hidup dan menyepakati 26 prinsip pengelolaan lingkungan yang dikenal dengan Deklarasi Stockholm ,dimana indonesia ikut aktif di dalamnya ,telah memengaruhi kebijakan politik hukum lingkungan di Indonesia .Untuk pertama kalinya Presiden Soeharto membentuk Kementrian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, yaitu Prof Dr Emil Salim diangkat sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup ,dengan prioritas kerja berupa peletakan dasar-dasar kebijaksanaan “membangun tanpa merusak “,agar lingkungan dan pembangunan tidak saling beertentangan .Pada Pelita IV ,bidang lingkungan hidup berada dibawah Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Men –KLH ) ,dengan prioritas kerja menciptakan keserasian antara program kependudukan dan lingkungan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah indonesia bersungguh-sungguh melakukan pembangunan berwawasan lingkungan, sebagaimana konsep pembangunan yang diinginkan masyarakat dunia. Kesungguhan ini dituangkan dalam bentuk Garis Besar Haluan Negara yang dilaksanakan dalam Program repelita (rencana pembangunan lima tahun) di Era Orde Baru.
           Konstitusi Negara Indonesia telah menjamin hak warga negara terhadap lingkungan hidup, pemerintah sebagai pembentuk peraturan (making law) yang mereprentasikan negara dalam setiap pembentukan peraturan perundangan wajib berpedoman kepada konstitusi (UUD RI 1945), karena secara hierarki UUD RI 1945 adalah peraturan perundang-undangan tertinggi, yang berarti peraturan dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan UUD RI 1945.
           Undang-Undang No 32 Tahun 2009 sudah berkarakter responsif, dengan mementingkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat yang telah diatur dalam undang-undang ini sudah memperhatikan aspirasi masyarakat. Harapan semua masyarakat indonesia adalah pemerintah dapat melaksanakan amanah undang-undang.Terutama peraturan pelaksanaan dari Undang-undang yaitu UU No 32 Tahun 2009 harus konsisten dengan karakter responsif yang sudah dimunculkan dalam undang-undang tersebut.
a.  Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengembangan Sistem Informasi
              Dalam pengembangan sistem informasi, pemerintah sampai hari ini belum mengeluarkan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengembangan sistem informasi sesuai amanat undang-undang, walaupun sudah terdapat undang-undang lain yang mengatur tentang keterbukaan informasi, tetapi itu belum spesifik mengatur tentang keterbukaan informasi lingkungan, seharusnya ada upaya lebih signifikan, mengatur secara teknis tata cara pengembangan sistem informasi, agar terjamin hak-hak warga negara. Seperti ditentukan dalam pasal 5 ayat (2) UUD RI 1945, peraturan pemerintah dibuat dan dikeluarkan oleh presiden untuk melaksanakan undang-undang.
           Peraturan pemerintah dalam pengembangan sistem informasi lingkungan hidup memang sangat urgen, dilihat dari kualitas lingkungan yang semakin tergerus oleh local strong man yang mengejar keuntungan ekonomi semata tanpa mempedulikan lingkungan sebagai bagian dari ekosistem yang posisinya sama seperti manusia. Otonomi daerah yang seluas-luasnya merupakan rantai masalah lingkungan hidup (asas kausalitas), adanya peraturan pemerintah setidaknya bisa memberikan pengaruh yang cukup besar untuk mengintervensi pemerintahan daerah dalam pengembangan sistem informasi lingkungan hidup.                                                                             
b.  Pembentukan Peraturan Daerah Pengembangan Sistem Informasi
            Selain pembentukan peraturan pemerintah, daerah sebagai pemegang kepentingan wilayah juga diharapkan mengeluarkan peraturan daerah yang memperhatikan lingkungan hidup, terutama dalam pengembangan sistem informasi lingkungan hidup. Pemberian otonomi daerah bukan semata-mata untuk kepentingan pejabat daerah, tetapi otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan kebebasan daerah mengelola ekonomi daerah untuk kepentingan rakyat di daerah-daerah, menghilangkan kesan sentralisasi yang selama ini dianggap penghambat kemajuan daerah, tetapi otonomi ini menjadi ajang daerah menutup diri dalam keterbukaan informasi, pembangunan yang bertendensi merusak dan mencemari lingkungan berlandaskan pembangunan ekonomi menjadi “manuver ilegal” pemerintah daerah.
          Sebagai daerah otonom,pemerintah daerah provinsi,kabupaten ,dan kota, berwenang untuk membuat peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, guna menyelenggarakan urusan otonomi daerah dan tugas pembantuan, peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah ,setelah mendapatkan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) .Subtansi atau materi muatan perda adalah penjabaran dari perturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi ,dengan memerhatikan ciri khas masing-masing daerah dan substansi materi tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangan yang lebih tinggi.
          Peraturan Daerah Kabupaten /Kota adalah Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan Bupati/Walikota. Hierarki Peraturan Perundang-undangan telah mengalami perubahan, yang sebelumnya berlaku adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, setelah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 disahkan, hierarki perundang-undangan sedikit mengalami pergeseran bentuk, yaitu :
1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3.    Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4.    Peraturan Pemerintah
5.    Peraturan Presiden        
6.    Peraturan Daerah Provinsi
7.    Peraturan  Daerah Kabupaten

Masyarakat mengharapkan perubahan-perubahan, dan merasakan penting adanya peraturan daerah yang mengatur tentang pengembangan sistem informasi, masyarakat juga mengharapkan adanya media yang memberikan informasi tentang status lingkungan hidup, untuk itu politik hukum peraturan daerah sudah seharusnya menjadikan ini sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan peraturan daerah tentang pengembangan sistem informasi lingkungan hidup.
Dalam Proses pembuatan peraturan daerah ,masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan daerah. Rancangan Peraturan Daerah harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan .Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari DPRD ,Gubernur ,atau Bupati/Walikota. Dalam Peraturan Pembentukan Perundang-undangan susunan hierarki yang menjadi keteraturan pembentukan peraturan perundang-undangan harus diperhatikan oleh pembentukan peraturan daerah, substansi undang-undang tidak boleh bertabrakan dengan peraturan diatasnya. Oleh karena itu, dalam hal pembentukan peraturan daerah pengembangan informasi, harus benar-benar memperhatikan jiwa hukum lingkungan yang berprinsip “sustainable development”, serta tetap menjadikan pancasila dan UUD RI 1945 sebagai ideologi dasar, tidak semata untuk kepentingan kapitalisme, yang sekarang masih menjadi idola pemerintahan daerah di Indonesia saat ini.




Referensi :
Soetomo, 1993, Ilmu Negara, Usaha Nasional, Surabaya.
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), Prenada Media Group, Jakarta.
I Wayan Sudirta, dalam makalah Undang-Undang 12 Tahun 2011 vs Kepentingan Daerah, Seminar Nasional Reformasi Birokrasi dalam Mewujudkan Good Governance di Daerah, Universitas Brawijaya, tanggal 29 November 2011
Mahfud MD, “Menguatkan Pancasila Sebagai Dasar Ideologi Negara”, Dimuat dalam Mahkamah Konstitusi dan Penguatan Pancasila, Majalah Konstitusi No.52-Mei 2011.
Marhaeni Rio Siombo, 2012, Hukum Lingkungan dan Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Siswanto Sunarno, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.ke-2, Sinar Grafika, Jakarta.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011
Siswanto Sunarno, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.ke-2, Sinar Grafika, Jakarta.

Senin, 09 September 2013

SISTEM INFORMASI LINGKUNGAN HIDUP OLEH PEMERINTAH DAERAH

Amandemen Undang-undang Dasar 1945 memberikan perlindungan  terhadap warga negara Indonesia untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik, tercantum dalam pasal 28H, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Tercantumnya pasal ini dalam konstitusi merupakan dasar berbagai peraturan perundangan-undangan di Indonesia yang bermakna tidak ada satu perundang-undang yang bisa bertentangan dengan hak warga negara dalam memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Kemudian, pada tahun 2009 hukum lingkungan Indonesia diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Lahirnya undang-undang ini menjadi angin segar bagi pegiat atau aktivis lingkungan, undang-undang ini memang lebih konkrit dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, namun tidak sedikit kalangan yang meragukan efektifitas undang-undang ini. Undang-undang baru ini harus diakui lebih baik daripada undang-undang yang sebelumnya, berbagai konsep baru lahir dari undang-undang ini, mengadopsi dari berbagai negara yang diharapkan bisa diterapkan dalam praktik hukum lingkungan Indonesia. Pengembangan sistem informasi merupakan konsep baru dalam undang-undang ini, yang dicantumkan dalam pasal 62, berbunyi :
Pasal 62
(1)Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2)Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat.
(3)Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Menteri.

Sejak berlakunya otonomi seluas-luasnya oleh daerah, kualitas lingkungan hidup di Indonesia semakin menghawatirkan, pemerintah daerah khususnya kepala daerah berlomba-lomba membangun tanpa memperhatikan lingkungan hidup sebagai penyeimbang ekosistem, lingkungan cenderung dirusak, dieksploitasi secara berlebihan atas nama pembangunan ekonomi daerah, izin seolah-olah hanya menjadi syarat formalitas, lebih murah dari sebuah mobil, penghargaan dan kesadaran terhadap lingkungan sebagai bagian dari kehidupan sudah dikalahkan oleh sifat serakah manusia, egoisme manusia yang dibentuk oleh kapitalisme tumbuh subur dinegara berkembang seperti Indonesia. Fungsi Lingkungan semakin hari semakin berkurang,  akibat berbahaya yang timbul memang belum dirasakan, karena lingkungan mempunyai bahasanya sendiri, akibat yang ditimbulkan tidak bisa ditentukan dengan hitungan matematis atau rasionalisasi manusia, akibatnya seolah menjadi boom waktu yang siap meledak kapanpun.
Amandemen UUD RI 1945 tahun 2002 serta diikuti oleh lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan otonomi seluas-luasnya terhadap daerah, atau bisa dibilang semi federal, tidak diimbangi dengan perbaikan terhadap hukum lingkungan di Indonesia, UULH 1997 masih tetap berlaku, sehingga tidak ada spesifikasi terhadap tugas dan wewenang pemerintah daerah, dalam UULH 1997 soal kewenangan dikaitkan dengan negara sehingga dikenal istilah kewenangan negara. Perbaikan baru dilakukan pada UUPPLH, yang tidak lagi menggunakan konsep kewenangan negara, tetapi kewenangan pemerintah yang dibedakan atas pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota. Ini pula yang menjadi faktor pemicu pengelolaan lingkungan hidup sebelum lahirnya UUPPLH, walaupun kegiatan perusakan lingkungan masih marak dilakukan oleh daerah-daerah, terutama daerah luar pulau Jawa yang minim pengawasan dan intervensi, baik pengawasan dan intervensi pemerintah pusat maupun oleh media massa.
Berlakunya UUPPLH menjadi angin segar bagi pegiat atau pemerhati lingkungan, proteksi terhadap lingkungan dalam undang-undang ini memang harus diakui lebih berkembang, pengelolaan terhadap lingkungan sudah memasuki ranah konkrit, lahir beberapa konsep baru yang tidak ditemukan dalam undang-undang sebelumnya. Termasuk didalamnya pengaturan terhadap sistem informasi lingkungan hidup, tetapi sangat disayangkan peraturan pemerintah tentang sistem informasi lingkungan hidup ini belum terealisasi sehingga pemerintah daerah masih belum mempriortaskan pengembangan sistem informasi, diera globalisasi yang menjadikan teknolgi sebagai media informasi sekaligus menjadi bagian hidup masyarakat era modern memang sangat perlu sistem informasi yang dibangun secara komprehensif agar masyarakat mendapatkan hak sebagai warga negara yang sudah dijamin oleh konstitusi, hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Selain UUPPLH, pengaturan terhadap keterbukaan informasi sebenarnya sudah ada dalam undang-undang undang yang lain, salah satunya adalah Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, namun lagi-lagi undang ini tidak mampu berkontribusi banyak terhadap pengembangan sistem informasi oleh pemerintahan daerah, ini pula yang dibahas dan menjadi keluhan masyarakat terhadap lembaga Ombudsman. Meskipun transparansi didalam perencanaan dan penyelenggaraan penataan ruang telah diwajibkan, disamping telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, namun masih banyak dikeluhkan oleh masyarakat mengenai keterbukaan informasi.
           



Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
UUD NRI 1945
Ibnu Tricahyo dalam Makalah Penegakkan Pelayanan Penyelenggaraan Tata Ruang, Seminar Nasional Bidang Penataan Ruang sebagai Upaya Sinkronisasi dan Sinergitas Penataan Ruang Pusat Daerah, tanggal 31 Oktober 2012, Universitas Brawijaya, Malang, hal.3