Dalam sistem peradilan
pidana pemidaan itu bukanlah merupakan tujuan akhir dan bukan pula merupakan
satu - satunya cara untuk mencapai tujuan pidana atau tujuan sistem peradilan
pidana. Banyak cara dapat ditempuh, dapat menggunakan hukum pidana maupun
dengan cara diluar hukum pidana atau diluar pengadilan.Secara umum, hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan
masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.
Diskresi
sebagai salah satu wewenang yang diberikan kepada Polisi Negara Republik
Indonesia (POLRI) merupakan upaya
pencapaian penegakan hukum, dan diskresi merupakan kelengkapan dari sistem
pengaturan oleh hukum itu sendiri. Di
dalam Undang – undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia
maupun Undang - undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, terdapat
wewenang - wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk bertindak lain
menurut penilaiannya sendiri.
Di negara Belanda
mengenai wewenang Kepolisian dinyatakan dengan tegas oleh pengadilan tertinggi
Hooge Raad dalam arrestnya pada
tanggal 19 Maret 1917 bahwa tindakan polisi dapat dianggap rechmatig (sah) walaupun tanpa : “Speciale wettelijke machtinging” (pemberian kekuasaan secara
khusus oleh undang - undang ) dengan pembatasan harus didasarkan kepada
wewenang umum (elgemene bevoegdhied)
dan harus termasuk lingkungan kewajiban - kewajiban (plichmatigheid) dari pada si petugas itu.
Di Indonesia tercantum
dalam Undang – undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia
pasal 18, disebutkan :
(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak
menurut penilaiannya sendiri”.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan
memperhatikan peraturan perundang – undangan, serta kode etik Profesi
Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Wewenang untuk melakukan
tindakan yang diberikan kepada POLRI umumnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
yaitu : wewenang - wewenang umum yang mendasarkan tindakan yang dilakukan
polisi dengan azas Legalitas dan Plichmatigheid
yang sebagian bersifat preventif dan yang kedua adalah wewenang khusus sebagai
wewenang untuk melaksanakan tugas sebagai alat negara penegak hukum khususnya
untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, dimana sebagian besar bersifat
represif.
Unsur – unsur kewajiban
sebagai syarat agar tindakan itu dianggap sah yang kemudian dikenal sebagai 4
(empat ) prinsip plichtmatigheid yang
terdiri dari :
a. Notwendigkeit yaitu menginginkan adanya tindakan yang betul – betul diperlukan, tetapi
juga tidak boleh dari pada apa yang seharusnya menurut kewajiban si petugas.
b. Sachlichkeit menghendaki tindakan yang zakelijk,
menurut ukuran - ukuran Kepolisian tidak boleh didorong oleh motif - motif
perorangan.
c.
Zweckmussingkeit ingin tindakan - tindakan yang betul - betul
mencapai tujuan. Tindakan manakah dari sekian jumlahnya alternatif tidak
menjadi soal, asas tujuan dapat dicapai.
d.
Verhathism assighheit menghendaki adanya keseimbangan antara cara atau
alat yang dipergunakan dengan obyek dari pada tindakan, ini dilakukan agar yang
ditindak tidak lebih menderita dari pada apa yang seperlunya saja.
Didalam
hukum positif atau perundang – undangan tidak disebutkan secara rinci tindakan
lain polisi, tetapi dalam tindakannya itu polisi dibatasi oleh undang – undang,
menjadi hal yang dilematis bagi polisi, disatu sisi bertujuan mencari keadilan
tetapi disatu sisi lain harus tetap mengikuti arah hukum, sehingga polisi
berubah fungsi menjadi robot pemerintah, bertindak adil yang kadang terbentur
nleh hukum tertulis.
Pemberian diskresi kepada polisi menurut Chambliss dan Seidman pada
hakekatnya bertentangan dengan negara yang didasarkan pada hukum. Diskresi ini
menghilangkan kepastian terhadap apa yang akan terjadi. Tetapi suatu tatanan
dalam masyarakat yang sama sekali dilandaskan pada hukum juga merupakan suatu
ideal yang tidak akan dapat dicapai. Di sini dikehendaki, bahwa semua hal dan
tindakan diatur oleh peraturan yang jelas dan tegas, suatu keadaan yang tidak
dapat dicapai.
Dengan dimilikinya kekuasaan diskresi oleh polisi maka polisi memiliki
kekuasaan yang besar karena polisi dapat mengambil keputusan dimana
keputusannya bisa diluar ketentuan perundang-undangan, akan tetapi dibenarkan
atau diperbolehkan oleh hukum. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Samuel
Walker bahwa: ”Satu hal yang dapat menjelaskan berkuasanya kepolisian atau
lembaga lain dalam melaksanakan tugas, yaitu adanya diskresi atau wewenang yang
diberikan oleh hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan
penilaian dan kata hati instansi atau petugas sendiri”.
Sekalipun polisi dalam melakukan diskresi terkesan melawan hukum, namun hal
itu merupakan jalan keluar yang memang diberikan oleh hukum kepada polisi guna
memberikan efisiensi dan efektifitas demi kepentingan umum yang lebih besar,
selanjutnya diskresi memang tidak seharusnya dihilangkan. Hal ini seperti
pendapat yang dikemukakan oleh Anthon F. Susanto bahwa diskresi tidak
dapat dihilangkan dan tidak seharusnya dihilangkan. Diskresi merupakan bagian
integral dari peran lembaga atau organisasi tersebut. Namun, diskresi bisa
dibatasi dan dikendalikan, misalnya dengan cara diperketatnya perintah tertulis
serta adanya keputusan terprogram yang paling tidak mampu menyusun dan menuntut
tindakan diskresi. Persoalannya, keputusan-keputusan tidak terprogram sering
muncul dan membuka pintu lebar - lebar bagi pengambilan diskresi.
Meskipun diskresi dapat dikatakan suatu kebebasan dalam mengambil
keputusan, akan tetapi hal itu bukan hal yang sewenang-wenang dapat dilakukan
oleh polisi. Menurut Skolnick adalah keliru untuk berpendapat, bahwa
diskresi itu disamakan begitu saja dengan kesewenang - wenangan untuk bertindak
atau berbuat sekehendak hati polisi.
Tindakan yang diambil oleh polisi menurut Skolnick bahwa, Tindakan yang
diambil oleh polisi didasarkan kepada pertimbangan - pertimbangan yang didasarkan
kepada prinsip moral dan prinsip kelembagaan, sebagai berikut:
a. Prinsip moral, bahwa konsepsi moral akan memberikan kelonggaran kepada
seseorang, sekalipun ia sudah melakukan kejahatan.
b. Prinsip kelembagaan, bahwa tujuan istitusional dari polisi akan lebih
terjamin apabila hukum itu tidak dijalankan dengan kaku sehingga menimbulkan
rasa tidak suka dikalangan warga negara biasa yang patuh pada hukum.
Mengingat
kekuasaan diskresi yang menjadi wewenang polisi itu sangat luas, maka
diperlukan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh petugas, terutama
didalam menilai suatu perkara. Hal ini diperlukan guna menghindari
penyalahgunaan kekuasaan mengingat diskresi oleh polisi didasarkan atas
kemampuan atau pertimbangan subyektif pada diri polisi sendiri. Sebagai contoh
didalam melaksanakan KUHAP polisi sebelum mengadakan penyidikan didahului
dengan kegiatan penyelidikan. Sesungguhnya fungsi penyelidikan ini merupakan
alat penyaring atau filter terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi apakah
dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Untuk mencegah tindakan sewenang-wenang
atau arogansi petugas tersebut yang didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan
subyektif, menurut buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara polisi maka :
Tindakan
diskresi oleh polisi dibatasi oleh:
1.
Asas keperluan, bahwa tindakan itu harus benar-benar diperlukan.
2.
Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian.
3. Asas tujuan, bahwa tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu
gangguan atau tidak terjadinya suatu kekhawatiran terhadap akibat yang lebih
besar .
4. Asas keseimbangan, bahwa dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan
keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar
kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak.
Tugas pokok
kepolisian
secara profesional sesuai pasal 13 Undang - undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian
Republik Indonesia.
Terkait dengan profesionalisme ini adalah juga adanya diskresi suatu profesi
melakukan pekerjaannya. Diskresi ini juga ada pada setiap anggota kepolisian
dalam melakukan profesinya.
Terdapat beberapa aturan perundang - undangan
yang langsung maupun tidak berhubungan dengan masalah diskresi kepolisian ini.
Dalam ketentuan Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP pada Pasal 7
(j), memberikan wewenang kepada penyidik yang karena kewajibannya dapat
melakukan tindakan apa saja yang menurut hukum bertanggungjawab.
Konsep mengenai diskresi kepolisian terdapat
dalam pasal 18 Undang undang
Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian
Republik Indonesia,
yang berbunyi :
(1) Untuk
kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya
sendiri.
(2) Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang
sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Rumusan kewenangan Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun
2002 ini merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum
Kepolisian (plichtmatigheids beginsel)
yaitu
suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak
atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban
umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum. Secara umum,
kewenangan ini dikenal sebagai “diskresi kepolisian” yang keabsahannya
didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk tugas kewajiban. Substansi
Pasal 18 ayat (1) Undang - undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
merupakan konsep kewenangan kepolisian yang baru diperkenalkan walaupun dalam
kenyataan sehari-hari selalu digunakan. Oleh karena itu, pemahaman tentang
“diskresi kepolisian” dalam pasal 18 ayat (1) Undang - undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
harus dikaitkan juga dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam
pasal 1, 32, dan 33 Undang - undang
Nomor 2 tahun 2002 sehingga terlihat adanya jaminan bahwa petugas Kepolisisan
Negara Republik Indonesia akan mampu mengambil tindakan secara tepat dan
professional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka pelaksanaan
tugasnya.
Rumusan dalam pasal
18 ayat (2) Undang - undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia merupakan
rambu - rambu bagi
pelaksanaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu selain asas
keperluan, tindakan diskresi tetap harus sesuai dan memperhatikan peraturan
perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia.Sehingga polisi memang benar-benar mempunyai wewenang untuk melakukan
diskresi sebagai contoh dalam hal penyidikan seperti menghentikan,
mengenyampingkan perkara atau tidak melaksanakan tindakan terhadap suatu
pelanggaran, tetapi dalam batas yang telah ditetapkan dalam undang - undang.
Dengan adanya diskresi kepolisian maka akan
mempermudah polisi didalam menjalankan tugasnya, pada saat penyelidikan,
penyidikan atau didalam menghadapi perkara pidana yang dinilai kurang efisien
jika dilanjutkan ke proses selanjutnya.
Adam
Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana,
Rajawali Pers, Jakarta
Warsito Hadi
Utomo, 2005, Hukum Kepolisian Di
Indonesia, Prestasi Pustaka,
Jakarta
Satjipto Raharjo & Anton Tabah, 1993, Polisi
Pelaku Dan Pemikir, Gramedia Pustaka
Utama Jakarta
Anthon F Susanto, 2004, Wajah
Peradilan Kita, Refika Aditam, Bandung
MABESPOLRI, 2002, Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara POLRI
Di Lapangan. Jakarta.
Undang-undang Nomor 2
Tahun 2002