Korupsi
yang terus menggerogoti bangsa Indonesia saat ini tidak henti – hentinya
dibicarakan, mulai kalangan akademisi, tayangan televisi, koran, majalah,
sampai “obrolan warung kopi”, tetapi semakin ramai dibicarakan korupsi semakin
meraja lela. Korupsi sudah menjadi
budaya buruk di negeri ini, sudah menyentuh semua lini kehidupan, dari atas
sampai kebawah, semuanya sudah terkontaminasi, Dewan Perwkilan Rakyat (DPR), Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan, Pejabat pemerintah pusat maupun daerah bahkan sampai
pejabat desa sekalipun, Birokrasi, Swasta dan lainya, para pejabat ini berdiri
paling depan dalam mengumandangkan “berantas korupsi”, namun mereka pula yang
mencari celah untuk menyuburkan korupsi, dengan berbagai modus baru agar tidak
dapat dijangkau oleh hukum, tidak ada salahnya para pengamat mengatakan, “
bagaimana membersihkan kalau sapunya sendiri kotor”, rakyat kecil sebagai
korban utama sudah menyerah dengan keadaan ini, mereka sudah benar – benar
menderita dan akhirnya sudah tidak ada kepercayaan lagi yang diberikan oleh
rakyat kepada penyelenggara negara. Korupsi sebagai extra ordinary crime benar – benar merusak bangsa ini sampai ke
akar – akarnya, korupsi terus menyebar bagaikan virus, entah vaksin apa yang
bisa melumpuhkan dan perlahan membunuhnya, semakin besar usaha memberantasnya
semakin deras pula gelombang korupsi yang terjadi di bangsa ini. Hampir tidak
ada celah untuk menutupi geraknya, namun bukan tidak mungkin, apabila bangsa
ini terus membiarkan korupsi berkembang biak maka bangsa ini akan terus menjadi
pesakitan.
Korupsi bukan gejala baru di
Indonesia, jauh sebelum Indonesia merdeka, para pendahulu bangsa sudah melegalkan
praktik korupsi dalam lembaga konvensional pemerintahan mereka sendiri.
Kehancuran kerajaan - kerajaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram
adalah karena perilaku korup sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya
diketahui berakhir karena tidak adanya penerus kerajaan sepeninggal Bala Putra
Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (Perang Paregreg)
sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah karena dipecah belah
dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda. Semua kehancuran itu terjadi karena
praktik korupsi yang berjalan dalam sistem kehidupan sosial Lebih luas lagi,
bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda pun gemar berkorupsi ria di institusinya.
Kita tahu penyebab hancur dan runtuhnya VOC (berdiri pada Maret 1602) juga karena
praktik korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di
Batavia kedapatan korupsi dan langsung dipulangkan ke Belanda. Kongsi dagang
Belanda ini dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799 dengan utang sebanyak
±136,7 juta gulden.
Dalam upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi yang nyaris seumur dengan usia kemerdekaan. Pada dekade 1950-an,
kita mengenal Jaksa Agung Soeprapto yang gigih melakukan berbagai gebrakan
pemberantasan korupsi sejak awal sampai akhir dekade tersebut. Pemberantasan
korupsi bahkan pernah melibatkan operasi militer, yakni untuk membasmi sebuah
korupsi logistik pada tahun 1957. Sedangkan dimasa Orde Baru, Presiden Soeharto
pernah setidaknya lima kali membentuk tim pemberantasan korupsi.Dimasa ini pula untuk pertama kalinya undang – undang tentang korupsi lahir,
yaitu Undang – undang Nomor 3 Tahun 1971. Pada era reformasi pasca jatuhnya
rezim presiden Soeharto dikeluarkannya Undang – undang Nomor 28 tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme sebagai langkah awal pemerintah untuk memerangi tindak pidana korupsi,
selanjutnya lahir Undang – undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah dengan Undang – undang Nomor 20
tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai upaya lebih lanjut lahirlah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang – undang Nomor 30 tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada tahun 2009 pemerintah
mengeluarakan Undang – undang Nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, yang sekarang menjadi dipermasalahkan oleh beberapa kalangan,
termasuk ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, agar pengadilan tindak pidana
korupsi di daerah dibubarkan, karena melihat banyaknya terdakwa korupsi yang
diputus bebas serta indisipliner para pejabat pengadilan tipikor daerah.
Beberapa undang – undang yang
telah dikeluarkan pemerintah tersebut tidak mampu menangkis perilaku korupsi yang
terus menjamur. Data dari ICW (Indonesia Corruption Watch) yang dikutip dari
Vivanews tertanggal 4 Agustus 2010, merilis bahwa ICW mendapati 176 kasus
korupsi yang ditangani aparat hukum di level pusat maupun daerah. Nilai
kerugian negara dalam kasus - kasus itu ditaksir mencapai Rp 2,102 triliun. Sebagai perbandingan, pada periode yang
sama tahun 2009, tercatat hanya ada sebanyak 86 kasus korupsi dengan kerugian
negara mencapai Rp1,7 triliun. ICW juga mencatat jumlah pelaku korupsi yang
telah ditetapkan sebagai tersangka di semester I tahun 2010 ada 441 orang, sedangkan
sepanjang tahun 2009 hanya 217. Data dari Januari hingga Agustus 2011 perkara yang
ditangani oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi Negeri, Kejaksaan Negeri dan
Cabang Kejaksaan Negeri seluruh Indonesia yang dikutip dari Republika
jumlah perkara
tindak pidana korupsi di Tanah Air yang memasuki tahap penyidikan mencapai
1.018 kasus, perkara tindak pidana korupsi yang memasuki tahap penyelidikan sebanyak
357 kasus. Dari seribuan perkara korupsi tersebut, terdapat 825 perkara tindak
pidana korupsi memasuki tahap penuntutan.
Data dari ICW dan Kejaksaan
tersebut menunjukan adanya peningkatan kasus tindak pidana korupsi dari tahun
2009 sampai 2011. Namun, yang lebih mengherankan publik, hasil survei dan data tersebut
tidak diiringi dengan perubahan pola penegakan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia, para koruptor yang menjadi terdakwa lolos (bebas) dari
jeratan hukum, survei
yang dilakukan oleh The World Justice Project pada Juni tahun 2011, rangking supremasi hukum Indonesia di
dunia tercatat dalam peringkat 47 dari 66 negara, Indonesia berada di urutan kedua paling bawah dari negara - negara
Asia Pasifik dalam pemberantasan korupsi.Komisi Pemberantas Korupsi yang berada dibaris
depan menindak para pelaku korupsi pada awal kelahiranya merupakan momok yang
paling menakutkan bagi para koruptor, tetapi lagi – lagi akal koruptor ternyata
lebih pintar. Memang, kejahatan dan kriminalitas tidak akan bisa hilang
dibelahan manapun didunia ini, seperti yang dipaparkan oleh Todung Mulya Lubis
pada akhir kuliah umumnya di Universitas Brawijaya tanggal 10 November 2011,
“Seberapa banyak KPK, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, tidak akan mampu
menghilangkan korupsi 100% karena perilaku korupsi sudah sistemik dan endemik”,
korupsi merupakan extra ordiary crime
yang memerlukan penanganan secara khusus. Penegak hukum dan substansi undang –
undang dengan sistem pemidanaannya merupakan faktor yang memiliki andil sangat
besar dalam mempengaruhi penegakkan hukum.
Menurut Soedarto, masalah
pemidanaan merupakan masalah yang kurang mendapat perhatian dalam perjalanan
hukumnya, bahkan ada yang menyatakan sebagai anak tiri (Maurach). Padahal syarat – syarat yang harus dipenuhi untuk
memungkinkan penjatuhan pidana, maka masalah pidana dan pemidanaan merupakan
masalah yang sama sekali tidak boleh dilupakan. Bagian yang terpenting dari
suatu Kitab Undang – undang Hukum Pidana adalah stesel pidananya.
Di Indonesia dalam Undang – undang
Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tercantum pidana mati, tetapi
sistem pemidanaan ini terlalu lemah sehingga tidak efektif karena ancaman
pidana mati hanya berlaku apabila korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, dalam
penjelasan pasal 2 ayat (2) disebutkan, “Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam
ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi
pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan
terhadap dana - dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya,
bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana
korupsi”. Pemberlakuan sistem pemidanaan dalam pasal ini masih jauh dari efektif
terbukti para pelaku koruptor masih bisa mencari celah dengan adanya pasal ini.
Parameter dari produk hukum (undang - undang) adalah tercapainya keadilan dan
kesejahteraan masyarakat, undang – undang tindak pidana korupsi yang
dikeluarkan pemerintah jauh dari kesejahteraan dan harapan masyarakat.
Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung
Todung Mulya Lubis, Membatasi Transaksi Tunai, Memberantas Korupsi, Kuliah Umum Universitas Brawijaya, Malang, 10 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar