Munculnya gerakan hukum
kritis menjadi ksatria ditengah ketidakberdayaan kaum marjinal terhadap
kapitalisme yang tak terbendung di era modern ini, sehingga diharapkan mampu
melumpuhkan dominasi positivisme yang kian perkasa. Perjalanan positivisme
hukum banyak memakan korban, ketidakmampuan aparat penegak hukum memaknai hukum
dengan hati nurani menjadikan keadilan dan kemanfaatan hukum dikorbankan demi
mencapai kepastian hukum. Lembaga peradilan yang seharusnya independen sudah
terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan, masyarakat
tidak memiliki kepercayaan lagi terhadap negara, keadaan kini semakin
diperparah oleh lembaga-lembaga negara yang saling berbenturan. Diperlukan
perubahan yang radikal terhadap tatanan yang sudah sedemikian kacau, salah
satunya adalah advokasi(advocate), mempengaruhi para pembuat
kebijakan, putusan pengadilan serta membentuk, merubah dan mempengaruhi
paradigma untuk mendesak terjadinya perubahan.
Advokasi harus diletakkan dalam konteks mewujudkan keadilan social,
yaitu advokasi yang meletakkan korban kebijakan sebagai subjek
utama.Kepentingan merekalah yang justru yang harus menjadi agenda pokok dan
penentu arah suatu kegiatan advokasi. Hanya dengan demikian maka suatu kegiatan
advokasi tidak lagi menempatkan organisasi, misalnya ornop, menjadi ‘pahlawan’
dan ‘bintang’, melainkan suatu proses yang menghubungkan antarberbagai unsur
progresif dalam masyarakat warga (civil
society), melalui terbentuknya aliansi – aliansi strategis yang
memperjuangkan terciptanya keadilan social dengan cara mendesakkan terjadinya
perubahan – perubahan kebijakan publik.Tujuan
atau sasaran akhir advokasi adalah terjadinya perubahan peraturan atau
kebijakan (policy reform) dengan kata
lain, advokasi sebenarnya perupakan upaya untuk memperbaiki atau merubah suatu
kebijakan public sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka yang
mendesakkan terjadinya perbaikkan atau perubahan tersebut.
Menurut Soetrisno, ada beberapa permasalahan dan hambatan yang menjadi
penyebab lemahnya masyarakat sipil (civil
society) di Indonesia. Pertama, kebanyakan keberadaan masyarakat sipil
tidak otonom.Kedua, aparat pemerintah tidak sensitive terhadap kritik dan
pikiran alternative dari masyarakt sipil (civil
society). Ketiga, lemahnya partai politik dan pers sebagai wahana masyarakat
untuk berperan serta dalam proses pengambilan keputusan public.
Pemberdayaan berdasarkan pada prinsip pemihakan kepada kelompok
masyarakt marjinal, tertindas, dan mereka berada pada lapisan bawah struktur sosial.
Orang yang terlibat dalam pemberdayaan merupakan orang yang berkepentingan
terhadap proses perubahan, yakni perubahan keadaan kaum tertindas yang telah
diabaikan harkat dan martabatnya menjadi lebih baik dan menjadi lebih berdaya.
Namun kaum tersebut, tidak memiliki kapasitas untuk memahami dan menyadari
problem yang dihadapi maupun mengambil tindakan untuk mendorong terjadinya
perubahan.Dengan demikian, usaha pemberdayaan dalam konteks ini dimaksudkan
untuk mentransformasikan kesadaran rakyat sehingga dapat ambil bagian secara
aktif mendorong perubahan.Oleh karena itu, pemberdayaan dimaksudkan untuk
memampukan rakyat mempunyai posisi dan kekuatan tawar – menawar sehingga mampu
memecahkan masalah dan mengubah posisinya.Pemberdayaan bukan semata – mata
diarahkan pada upaya perbaikan kualitas hidup rakyat dalam konteks ekonomi,
tetapi juga dalam pengambilan keputusan.
Untuk mencapai hal itu diperlukan suatu strategi, yakni jalan untuk
mencapai tujuan. Dalam hal ini pengembangan strategi membutuhkan (1) suatu
pengetahuan yang menyeluruh, kritis, dan objektif mengenai kekuatan penghalang
perubahan dan juga peta seluruh kekuatan internal termasuk analisis data dengan
kejujuran kekuatan internal yang dimiliki; dan (2) suatu susunan langkah yang
akan diambil sehubungan dengan tujuan yang ingin dicapai
dikaitkan dengan kenyataan yang ada mengenai “kekuatan penghalang
perubahan”.Dalam hal itu, suatu strategi yang baik tidak ditentukan oleh hasil
kerja individual melainkan oleh suatu hasil kerja bersama, terutama untuk
memperoleh data akurat tentang masalah social yang menjadi tujuan perubahan dan
kekuatan strategi yang biak harus didasarkan pada pengetahuan yang akurat. Jika
tidak, strategi tersebut hanya merupakan dogma atau impian yang dapat
mengakibatkan kehancuran.
Dalam pemberdayaan, berbagai teknik dapat dipergunakan, antara lain (1)
agitasi, provokasi, dan propaganda, (2) infiltrasi, dan (3)
pengorganisasian.Agitasi merupakan upaya untuk mengungkapkan atau membongkar
bagian – bagian yang terselubung (diselubngkan).Provokasi, provokasi merupakan
bentuk tindakan agitasi yang bertujuan merangsang atau memberi stimulasi
kesadaran kritis. Propaganda merupakan suatu metode penyebar luasan doktrin,
prinsip, dan lain – lain yang bersifat relijius maupun seluker. Infiltrasi
adalah cara masuk dan bekerja di tempat musuh.
Pengorganisasian dimaksudkan untuk memperkuat rakyat sehingga mampu
mandiri dan mengenali berbagai persoalan yang ada dan dapat mengembangkan jalan
keluar.
Referensi : Rachmad Safa’at, 2011,
Advokasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Latar Belakang, Konsep
dan Implementasinya, Surya Pena Gemilang, Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar