Sebelum menjelaskan penemuan hukum dengan metode
interpretasi gramatikal atau interpretasi bahasa, perlu disini saya menjabarkan
beberapa metode penemuan hukum menurut J. A Pontier dalam bukunya
"Rechtsvinding", yaitu :
1.
Metode Interpretasi
a.
Interpretasi gramatikal atau interpretasi bahasa
b.
Interpretasi
sistematikal
c.
Interpretasi Sejarah undang – undang
d.
Interpretasi sejarah
hukum
e.
Interpretasi teleologikal
f.
Interpretasi antisipatif
g.
Interpretasi evolutif – dinamikal
2. Penghalusan hukum (interpretasi restriktif dan
ekstensif)
3. Penalaran
4. Penerapan atau penafsiran undang – undang secara
rasional
5. Menimbang – nimbang kepentingan
Machtel Boot
menyatakan, “Every legal norm needs
interpretation”, berarti bahwa
setiap norma hukum membutuhkan interpretasi. Senada dengan Boot adalah van
Bemmelen dan van Hattum yang secara tegas menyatakan “Elke geschreven”wetgeving behoeft interpretatie”. (Setiap aturan perundang – undangan tertulis
membutuhkan interpretasi). Demikian pula Remmelink yang berpendapat bahwa
sekalipun rangkaian kata – kata yang ditemukan dalam hukum pidana diberi bobot
lebih berat dibandingkan dengan hukum keperdataan dan penerapan analogi tidak
diterima dalam hukum pidana, pakar hukum pidana, terutama hakim pidana, tidak
mungkin menerapkan perundang – undangan tanpa menggunakan penafsiran. Sementara
Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa hukum tidak akan berjalan tanpa penafsiran,
oleh karena hukum membutuhkan pemaknaan lebih lanjut agar menjadi lebih adil
dan membumi. Membuat hukum adalah suatu hal dan menafsirkan hukum yang sudah
dibuat merupakan keharusan berikutnya.
Dalam kaitannya dengan
penafsiran, mengemukalah suatu pertanyaan mendasar apakah antara penafsiran
hukum dan pembuat hukum ada secara ketat dan tajam ataukah tidak. Jawaban atas
pertanyaan tersebut membawa konsekuensi perbedaan aliran dalam penafsiran
hukum. Jika antara penafsiran hukum dan pembuatan hukum harus dipisahkan secara
ketat dan tajam, maka penafsiran hukum akan ditempatkan pada kedudukan di bawah
pembuatan hukum. Berarti penafsiran hukum tidak boleh melampui batas – batas
yang sudah dibuat oleh pembentuk undang – undang. Jawaban ini melahirkan aliran begrriffsjurisprudenz bersama yang lain seperti dogmatik hukum, normatif
hukum, dan legal positivism yang menganggap teks hukum sebagai sesuatu yang
memiliki otonom mutlak. Jika antara penafsiran hukum dan pembuatan hukum tidak
dilakukan pemisahan secara ketat dan tajam, maka penafsiran hukum akan
ditempatkan pada kedudukan diatas pembuatan hukum. Dalam hal ini, hukum hanya
dianggap sebagai pedoman yang terkadang bisa ditepis. Jawaban ini melahirkan
aliran realisme yang menolak memberi kekuasaan mutlak kepada pembentuk undang –
undang untuk menentukan dan merumuskan arti sesuatu. Esensi dari aliran
realisme ini adalah ketidakbisaan kita menerima peraturan yang dirasa tidak
adil dan karena itu kita memilih melakukan pembebasan, keluar dari lingkaran
peraturan yang ada.
Interpretasi gramatikal
atau interpretasi bahasa, menurut J.A Pontier, sebuah kalimat dapat memainkan
peranan penting pada penentuan makna dari sebuah teks undang – undang. Jika
hakim berusaha memahami makna teks yang didalamnya kaidah hukum, dinyatakan dan
dalam hal ini bertolak dari makna menurut pemakaian bahasa yang biasa (sehari -
hari) atau dari makna teknik yuridikal yang sudah dilazimkan. Hakim misalnya
menyesuaikan diri pada konvensi – konvensi kemasyarakatan tentang sebuah
pemakaian kata tertentu atau pada konvensi – konvensi dari para hakim,
pembentuk undang – undang dan doktrin. Hakim dalam sebuah putusan dapat juga
secara eksplisit menyatakan arti dari teks undang – undang menurut pemakaian
bahasa yang biasa atau menurut arti teknik yuridikal yang sudah lazim. Teks Harafiah
undang – undang bagi hakim merupakan salah satu dari titik taut paling penting
dalam penemuan hukum, pemakaian bahasa atau makna teknik yuridik yang lazim
selalu akan menjadi titik tolak pada pembacaan teks dari undang – undang.
Mikhail Bhaktin, Goodrich
menggambarkan bahasa hukum sebagai bahasa yang dapat memiliki makna atau arti
yang berbeda – beda dan sangat ditentukan oleh konteks sosial (dialog sosial).
Bahasa hukum menerjemahkan realitas sosial ke dalam peristilahannya sendiri
dalam rangka mengontrolnya, sehingga terbuka bagi manipulasi yang disengaja,
yakni bagi beraneka ragam pengunaan. Istilah – istilah hukum, seperti
kewajiban, keharusan, badan hukum dan lainnya dapat diterapkan dengan berbagai
macam cara yang luas cakupannya, dan ini berarti bahasa hukum bersifat lebih
retoris daripada sekedar sebagai sebuah peraturan, artinya bahasa hukum
merupakan sebuah retorika yang dibungkus logika.
Menurut Sudikno, Hukum
memerlukan bahasa. Hukum tak mungkin ada tanpa bahasa. Oleh karena itu bahasa
merupakan sarana penting bagi hukum: peraturan perundang – undangan dituangkan
dalam bentuk bahasa tertulis, putusan pengadilan disusun dalam bahasa yang
logis sistematis, untuk mengadakan perjanjian diperlukan bahasa. Untuk
mengetahui makna ketentuan undang – undang maka ketentuan undang – undang itu
ditafsirkan atau dijelaskan dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari –
hari. Disini arti atau makna ketentuan undang – undang dijelaskan menurut
bahasa umum sehari – hari.
Sutjpto Rahardjo
sebagai pejuang hukum progresif menyatakan, Sejak menjadi hukum dalam bentuk
teks, maka bahasa mengambil peranan utama. Hukum adalah sesuatu yang berbentuk
kebahasaan (talig, Belanda) atau sebuah languange game. Tanpa disadari atau disadari, cara berhukumpun sudah memasuki
dimensi baru, yaitu berhukum dengan/melalui skema. Panggung hukumpun sudah
bergeser dari dunia nyata ke dunia maya yang terdiri dari kalimat dan kata –
kata. Pergeseran tersesebut juga dapat dimaknai sebagai sebuah perkembangan
dari sesuatu yang utuh menjadi sesuatu yang direduksi. Setiap kali membuat
rumusan tertulis, maka setiap kali itu pula kita mereduksi suatu gagasan yang
utuh kedalam tata kalimat. Membuat hukum tetulis adalah tidak sama dengan
memindahkan realitas secara sempurna kedalam teks, sehingga terjadi padanan
yang sempurna, melainkan “menterjemahkan kenyataan tersebut dengan kalimat”.
Kalimat – kalimat ini mereduksi sesuatu gagasan yang utuh menjadi skema,
kerangka atau skeleton. Manusia
yang semula utuh telah didefinisikan kembali menjadi satu skema. Dalam proses
perumusan tersebut pasti ada aspek – aspek yang terseser. Pencurian yang konon
dalam komunitas jawa ada lebih dari sepuluh macam (misalnya, maling, jambret,
copet, ngutil, dan lain sebagainya) didefinisikan kembali menjadi “barang siapa
yang mengambil barang orang lain”. Sebuah potret pencurian yang penuh telah
direduksi menjadi sebuah konstruksi bahasa.
Apabila semula berhukum
itu berkaitan dengan masalah keadilan atau pencarian keadilan, maka sekarang
kita dihadapkan kepada teks, pembacaan teks, pemaknaan teks. Sejak hukum itu
berubah dari substansi keadilan dan hidup berkeadilan menjadi teks, skema,
kebahasaan, maka kita berharapan dengan substansi pengganti (surrogate),
bukan lagi barang asli. Di sini kita tidak lagi membicarakan “hukum
sebenarannya”, melainkan “mayat – mayat hukum”. Berhukum yang didasarkan pada
teks memiliki kecenderungan kuat untuk berhukum secara kaku dan regimentatif.
Cara berhukum yang demikian itu, apa lagi yang sudah bersifat eksesif,
menimbulkan berbagai persoalan besar, khususnya dalam hubungan dengan
pencapaian keadilan. banyak hala yang tidak terwadahi dalam teks tertulis,
seperti suasana dan kebutuhan – kebutuhan yang ada pada suatu saat, serta moral
yang dipeluk masyarakat pada suatu kurun waktu tertentu, tidak mungkin terekam
dalam teks hukum tersebut.
Menurut saya, teknik
penemuan hukum dengan metode interpretasi gramatikal atau interpretasi bahasa
dari pendapat para ahli secara umum sama, karena mereka mencoba menguraikan
esensi original penemuan hukum, namun pendapat Sutjipto Rahardo
lebih mengkritisi undang – undang sebagai skema yang dalam bentuk teks. Saya
sependapat dengan beliau, tetapi hukum itu harus nyata, dapat dirasakan dengan
panca indera karena dengan begitu hukum tidak berada pada tempat yang asing dan
tidak diakui eksistensinya, sehingga kepentingan individu tidak terlindungi,
dengan adanya teks undang – undang maka jaminan kepastian hukum kepada seluruh
lapisan masyrakat terjamin dengan tidak mengurangi atau tidak membatasi
pembentukan hukum, penggalian hukum, penghalusan hukum ataupun penemuan hukum.
Upaya dalam mengaplikasikan metode interpretasi gramatikal ini harus dititik
beratkan kepada polisi karena merekalah yang terlibat langsung dengan
masyarakat, dengan tidak mengurangi esensi aslinya bahwa penemuan hukum oleh
polisi dengan mengaplikasikan metode interpretasi gramatikal bertujuan untuk
penajaman hukum agar tercapai keadilan dalam masyarakat. Tidak bisa dipungkiri
dan tidak bisa dihindari hukum sebagai skema harus kita jalankan, karena secara
konstitusi Indonesia mengakui sebagai negara hukum, maka peraturan perundang –
undangan adalah pelindung bagi masyarakat luas, oleh karena bahasa sehari –
sehari masyarakat diterjemahkan kedalam peraturan perundang – undangan, maka
metode interpretasi gramatikal harus dipahami dan disadari oleh aparat penegak
hukum terutama polisi sebagai pintu gerbang peradilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar