Pada abad ke-19 dan khususnya pada
paruh kedua dari abad itu, terdapat sebuah pandangan yang sangat berpengaruh
tentang cara bagaimana putusan – putusan kehakiman harus terbentuk, menempati
posisi sentral. Di Belanda, pandangan tentang penemuan hukum ini dikaitkan
dengan legisme, aliran pemikiran dalam teori hukum yang mengidentikan hukum
dengan undang – undang. Gagasan bahwa penemuan hukum seyogianya harus memiliki
karakter yang sangat formalistik atau logikal, juga ditekankan oleh sebuah
aliran teori hukum lain yang dinamakan begriffsjurisprudenz aliran
ini dianut dinegara – negara Germania pada abad ke-19. Legisme dan model
penemuan hukum mendominasi di abad ke-19, namun pada akhir abad ke-19, reaksi
yang semakin gencar menentang legisme menyebabkan aliran ini pada akhirnya
kehilangan penganut. Berbagai faktor melatarbelakangi pemunculan reaksi
demikiann diantaranya gambaran teoritikal tradisional tentang pekerjaan hakim
ternyata tidak sesuai dengan praktik penemuan hukum oleh hakim. Demi alasan
politik, diperjuangkan pemunculan bentuk atau cara penemuan hukum lain yang
lebih bebas.
Teori penemuan hukum hukum pada masa
kini mencakup, berbeda ketimbang pada masa legisme, berbagai teori bagian.
Teori tersebut ditengarai dengan kemajemukan dalam sudut pandang dan landasan
pemahaman yang dipergunakan. Masing – masing pendekatan seringkali hanya
menampilkan satu aspek khusus dari penemuan hukum, misalnya hubungan antara
hakim, fakta dengan kaidah, interpretasi dari teks – teks dan fakta – fakta
oleh hakim dari sebuah masyarakat politik tertentu, pembagian dua dalam proses
penemuan hukum dan “motivering” putusan – putusan.
Pengakuan bahwa hakim memiliki peran
tersendiri (memiliki kontribusi sendiri) pada pembentukan putusan – putusan
hukum, dan tidak lagi dapat dipandang sekedar sebagai pejabat yang hanya
menerapkan undang – undang (penerap undang - undang) saja, sangat bermakna bagi
pemikiran tentang penemuan hukum. Pengakuan demikian, antara lain, yang
memunculan pembedaan antara faktor – faktor otonom dan heteronom di dalam
kegiatan penemuan hukum.
Pada perkembangan dalam teori
penemuan hukum, muncul beberapa pandangan – pandangan. J. A Pontier menjabarkan
beberapa pandangan, dengan tidak mengurangi pentingnya pandangan yang lainnya
dalam hal ini saya sangat tertarik mengulas perkembangan pada orientasi ulang
terhadap penemuan hukum, tentang pandangan terhadap hubungan hakim fakta, dan
kaidah dengan menggunakan metode pendekatan hermeneutik.
Menurut J.A Pontier pada abad ke-19
dan permulaan abad duapuluh, dalam teori hermeneutik sudah ditekankan pemahaman
bahwa manusia tidak mungkin pernah mengenal suatu objek ataupun teks secara
murni (dalam kemurniannya), tetapi sebaliknya, bahwa verstehen (memahami)
hanya mungkin terjadi berlandaskan sudut pandang (optik) tertentu. Dalam
pendekatan hermeneutik terhadap penemuan hukum ini, pengertian lingkaran
“hermeneutikal” dipandang mempunyai arti penting untuk mengungkapkan kembali
apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh hakim. Hakim, masih terperangkap dalam
suatu lingkaran khusus. Ia menetapkan makna dari rumusan kaidah hukum, tidak
hanyak beranjak dari suatu tradisi bahasa tertentu, melainkan juga dengan
memperhatikan fakta – fakta yang dipandangnya relevan. Namun fakta – fakta
tersebut diseleksi oleh hakim dengan mengacu pada makna yang ia kaitkan
pada kaidah tersebut. Terdapat hubungan timbal balik antara fakta dan norma
(kaidah) yang ke dalamnya hakim melibatkan diri. Isi apa dan makna apa yang
hendak diberikan pada fakta dan kaidah akan tergantung pada sudut pandang
(optik) mereka yang mempelajarinya. Penemuan hukum yang dilakukan dengan
beranjak dari wawasan hermeneutikal selalu bersifat perspektivistik. Hakim
menentukan relevansi fakta – fakta tertentu yang ada dan makna rumusan kaidah –
kaidah dengan berangkat dari suatu vorverstandnis tertentu. Melalui vorverstandis tersebut,
gagasan atau pandangan tentang keadilan dan pandangan – pandangan tentang
kemanfaatan (fungsionalitas) memainkan makna.
Sudut pandang hermeneutikal ini
mengubah pandangan – pandangan tentang penemuan hukum pada abad duapuluh. Dalam
pendekatan hermeneutikal dewasan ini tekanan diberikan pada pandangan bahwa
hakimlah yang hingga derajad tinggi mengkonstruksikan sendiri ruang lingkup
makna kaidah – kaidah hukum serta relevansi yuridikal dari fakta – fakta, juga
jika ia pada waktu melakukan konstruksi itu mencari pertautan pada pandangan atau
perkembangan pemikiran tentang hukum di dalam masyarakat. Dewasa ini dalam
pemikiran hermeneutikal abad duapuluh juga memuat kritik terhadap hermeneutikal
yuridik abad sembilan belas yang didalamnya diuraikan bahwa dengan bantuan
metode – metode interpretasi yuridikal, makna yang sebenarnya dari suatu teks
dapat ditetapkan. Berbeda dengan itu, dalam pemikiran hermeneutikal
kontemporer, dianggap bahwa metode – metode interpretasi itu hanya sekedar
sarana – sarana bantu untuk memaknakan suatu teks atau fakta tertentu. Hal
menginterpretasi teks – teks dan fakta – fakta dalam kenyataan sesungguhnya
adalah suatu tindakan yang terikat erat pada subjeknya (pelaku interpretasi
itu).
Menurut Bernard Arief Sidharta,
dikutip dalam Jazim Hamidi, mula pertama hermeneutika itu dikembangkan adalah
sebagai metode atau seni untuk menafsiran teks, supaya dapat memahami isi dari
naskah (teks) kuno.
Ibnu Arabi mendefinisikan teks
sebagai wahyu Allah yang tidak memerlukan interpretasi apapun. Dalam dunia
penafsiran Injil, teks juga merujuk kepada wahyu yang tertuang dalam kitab
suci. Dalam kajian semiotika atau komunikasi teks sering dimaknai berkaitan
dengan tanda atau simbol – simbol budaya tertentu. Sedangkan Ali Harb
berpendapat, teks mempunyai gagasan (rancangan) dan dunianya sendiri,
sebagaimana dikatakannya, dunia teks membutuhkan perhatian, dengan tanpa
mentransformasikan kepada pengarangnya dan dunia luar. Menurut Ali Harb, teks
mempunyai gagasan (rancangan) dan dunianya sendiri. Sebagaimana dikatakan
olehnya, dunia teks membutuhkan perhatian, dengan tanpa mentransformasikan
kepada pengarangnya dan dunia luar. Dalam logika kritik, teks terlepas dari
pengarangnya dan terlepas dari acuannya, agar dapat menyuguhkan dunia wacana
yang memiliki kebenaran dan keadilan dari semua yang ada. Lebih lanjut Ali Harb
mengatakan teks adalah wacana yang sempurna setelah diakui dan diresmikan
(formalkan).
Bagi pemikiran hukum alam, teks hukum
tidak sebatas kepada apa yang diformalkan semata – mata, namun terlihat bahwa
teks lebih luas makna dan pengertiannya dengan menunjuk kepada realitas alam,
atau Tuhan dalam melihat hukum. Bagi pandangan Thomas Aquinas misalnya saja
dijelaskan mengenai hukum yang bersifat irasional dan rasional tentang lex
aeterna, Lex Divina, Natural dan Lex Positif, adalah rangkaian teks yang
bersifat gradasi, dimulai tentang teks yang ditulis Tuhan dan diturunkan kepada
manusia melalui Kitab sucinya. Pandangan Ricoeur, bahwa undang – undang
merupakan pengertian bahasa dalam pengertian event dan bukan dalam
pengertian meaning, karena dalam pengertian meaning, hermeneutika
tidak terlalu diperlukan karena ujaran yang disampaikan masih terikat kepada
pembicara, dan makna yang tekandung di dalamnya dapat dipahami dengan merujuk
langsung kepada intonasi maupun gerak isyarat dan si pembicara.
Dalam perkembangan ilmu hukum di
inggris, menurut Peter Goodrich, sejarah hermeneutika hukum mulai berkembang sejak
abad ke – 16.Paradigma hermeneutika dalam ilmu
hukum, menurut C.W Maris mengalami perkembangan pesat dan signifikan baru di
era abad ke-20. Dimana hermeneutika hukum hadir mengambil posisi tengah antara
dua tendensi (kecendrungan) yang saling berlawanan dan inhern dalam pandangan
dunia secara ilmiah atau pandangan ilmiah tentang dunia (scientific
worldview, wetenshappelijke wereldbeeld) yaitu : antara “tendensi
nihilistik” dengan “tendensi emansipatorik” di satu pihak. Di pihak lain,
hermeneutika hukum juga berada pada posisi antara aliran filsafat “positivisme
Logikal” dengan “ Rasionalisme Kritikal”.
Kata hermeneutics berasal
dari turunan kata benda “hermeneia” (bahasa yunani), yang secara
harfiah dapat diartikan sebagai ‘penafsiran’ atau ‘interpertasi’. Dalam kosa –
kata kerja, ditemukan istilah “hermeneuo” dan/atau “hermeneuein”.hermeneuo artinya
‘mengungkapkan pikiran – pikiran seseorang dalam kata – kata’; dan hermeneuien
bermakna ‘mengartikan’, ‘ menafsirkan’ atau ‘menerjemahkan’ dan juga ‘bertindak
sebagai penafsir’.
Hermeneutika dalam sejarah
pertumbuhannya mengalami perkembangan dan perubahan – perubahan persepsi dan
model pemakaiannya, sehingga muncul keragaman pendefinisian dan pemahaman
terhadap hermeneutika itu sendiri. Terminologi hermeneutika sebagai teori penafsiran
kitab pertama kali dimunculkan sekitar abad 17-an oleh J.C Dannhauer dalam
bukunya “Hermeneutica Sacra Siva Methodus Expondarum Sacrarum Litterarum”.
Meskipun sebenarnya kegiatan penafsiran dan pembicaraan tentang teori – teori
penafsiran, baik itu terhadap kitab suci, sastra maupun dalam bidang hukum,
sudah berlangsung sejak lama.
Setelah
hermeneutika mengalami beragam pendifinisian di tangan beberapa tokoh, dari
mulai pengertian sebagai teori penafsiran konvensional sampai merupakan bagian
dari metode filsafat, kemudian muncullah seorang tokoh bernama Paul Ricoeur
yang menarik kembali diskursus hermeneutika kedalam kegiatan penafsiran dan
pemahaman teks (textual eksegesis). Lebih lanjut dia mengatakan,
hermeneutika adalah teori mengenai aturan – aturan penafsiran, yaitu penafsiran
terhadap teks tertentu atau sekumpulan tanda atau simbol yang dianggap sebagai
teks.
Hans-Georg Gadamer dalam bukunya
“Truth and Method” mengilustrasikan secara singkat, bahwa pada mulanya
hermeneutika berkembang antara lain dibawah pengaruh inspirasi Ilmu Hukum.
Sebagaimana diresepsi oleh Kodifikasi Yustisianus (Corpus Iuris Iustiniani)
dari abad keenam sesudah kristus. Di Italia pada abad ke-12 timbul kebutuhan
pada suatu metode yang membuat teks – teks yuridikal yang berlaku dari suatu
periode historitikal terdahulu lewat interprestasi dapat ditetapkan utnuk suatu
jenis (tipe) masyarakat yang sama sekali berbeda. Dikemudian hari, hermeneutika
diperluas dari penafsiran teks menjadi suatu metode untuk dapat
menginterprestasi perilaku manusia pada umumnya. Jadi titik tolak dari hermeneutika
(hukum) adalah kehidupan manusiawi dan produk – produk kulturalnya (termasuk
teks – teks yuridikal).
Drucilla Corneel menempatkan
hermeneutika / interpretasi hukum secara benar – benar baru dan lebih jelas,
Corneel menilai bahwa hermeneutika hukum itu termasuk kelompok Studi Hukum
Kritis (Critikal Legal Studies (CLS) movement), yang tergolong indeterminasi
tesis kedepan dengan menyimpulkan prinsip – prinsip politik dan etis. Cornel
juga menenteng mereka yang menganggap hermeneutika / interpretasi hukum sebagai
sebuah penemuan atau apropriasi pemisahan masa lalu dari visi keadilan
kontemporer.
Hermeneutika
hukum sangat berperan penting dalam implementasi bagi hakim dalam penemuan
hukum dengan tidak mengesampikan pendekatan hukum lain. Sebagaimana yang saya
kutip dalam Jazim Hamidi, penemuan hukum tidak semata – mata hanya penerapan
peraturan hukum terhadap peristiwa konkret, tetapi sekaligus penciptaan hukum
dan pembentukan hukum. Memang dalam sejarahnya hermeneutika hukum diartikan
atau didefinisikan berbeda, keberadaan hermeneutika hukum menjadi sangat
penting bagi penegak hukum lainnya, baik polisi yang sebagai berhadapan
langsung dengan fakta, jaksa, ataupun hakim, karena keberadaan peradilan
sesungguhnya mencari kebenaran, yang dalam pencarian kebenaran itu diperlukan
pendekatan hermeneutika ataupun pendekatan lain.
J.A. Pontier, 2008, Penemuan
Hukum, Penerjemah B. Arief Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung
Jazim Hamidi, 2011, Hermeneutika Hukum, Edisi Revisi, UB
Press, Malang
Anthon F. Susanto, 2010, Dekonstruksi Hukum, Genta Publishing,
Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar