Sistem peradilan dan pemidanaan adalah
legitimasi dari negara hukum, sesuai dengan amanat Undang – undang Dasar
Republik Indonesia tahun 1945 pasal 1, konsekuensi dari negara hukum adalah
semua tindak pidana haruslah melalui prosedur yang ditentukan oleh hukum
(positif), namun seperti yang dikatakan Cesare beccaria, bahwa hanya hukum yang
mampu menentukan hukuman atas kejahatan,
masih menurut Cesare, hukuman bukanlah untuk menyiksa makhluk berperasaan atau
untuk membatalkan kejahatan yang telah dilakukan, akhir dari hukuman kemudian
adalah tidak lain tidak bukan untuk mencegah penjahat mencederai lebih lanjut
masyarakat dan mencegah orang lain dari perbuatan serupa.
Di
Indonesia Kitab Undang – undang Hukum Pidana (KUHP) yang berasal dari zaman
pemerintah penjajahan Belanda , pada zaman pendudukan Jepang pun aturan hukum
pidana yang berlaku sebelumnya dinyatakan tetap berlaku dan setelah Indonesia
Merdeka juga tetap berlaku aturan hukum pidana Belanda tersebut. Dalam Kitab
Undang – undang Hukum Pidana pasal 10, menyebutkan jenis – jenis pidana yang
dapat dikenakan kepada seseorang yang melakukan tindak pidana :
a.
Pidana
pokok
1.
Pidana
mati ;
2.
Pidana
penjara ;
3.
Pidana
kurungan ;
4.
Pidana
denda ;
b.
Pidana
tambahan
1.
Pencabutan hak – hak tertentu ;
2.
Perampasan barang – barang tertentu ;
3.
Pengumuman putusan hakim
Sistem
pemidanaan pada aliran klasik yang lahir pada abad ke-18, merupakan ciri utama
asas legalitas, aliran klasik ini menghendaki hukum pidana yang tersusun
sistematis dan bertitik berat pada kepastian hukum, pada saat itu bertujuan
hanyalah untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang – wenangan penguasa.
Aliran klasik melahirkan teori absolut, menurut teori ini, pembalasan adalah
legitimasi pemidanaan. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat telah
melakukan penyerangan dan pemerkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang telah
dilindungi. Mengenai hal ini, Vos berkomentar, teori absolut, terutama
bermunculan pada akhir abad ke-18, mencari dasar hukum pemidanaan terhadap
kejahatan, kejahatan itu sendiri dilihat sebagai dasar dipidananya pelaku.
Sedangkan menurut Soedarto, aliran klasik tentang pidana bersifat retributif
dan represif terhadap tindak pidana. Aliran ini berpaham indeterminisme
mengenai kebebasan kehendak manusia yang berfokus pada perbuatan pelaku
kejahatan sehingga dikehendaki hukum pidana pada perbuatan dan bukan pada
pelakunya (daad - strafrecht).
Aliran
klasik dalam hukum pidana berpijak pada tiga tiang, Pertama, asas legalitas
yang menyatakan bahwa tidak ada pidana tanpa undang – undang, tidak ada
perbuatan pidana tanpa undang – undang, dan tidak ada penuntutan tanpa undang –
undang. Kedua, asas kesalahan yang berish bahwa orang hanya dapat dipidana
untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau akibat kesalahan
semata. Ketiga, adalah asas pembalasan yang sekuler yang berisi bahwa pidana
secara konkret tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang
bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat atau ringannya perbuatan yang
dilakukan.
Jeremy
Bentham sebagai seorang tokoh aliran klasik mengemukakan bahwa selain pembalasan,
sifat – sifat penting dari pemidanaan harus bermanfaat. Ada tiga kemanfaatan
dari pemidanaan. Pertama, pemidanaan akan sangat bermanfaat jika hal itu dapat
meningkatkan perbaikan diri pada si pelaku kejahatan. Kedua, pemidanaan harus
menghilangkan kemampuan si pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan. Ketiga,
pemidanaan harus memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Bentham
kemudian mengatakan bahwa pidana sama sekali tidak mememiliki nilai pembenaran
apapun bila pidana itu semata – mata dijatuhkan untuk sekedar menambah lebih
banyak penderitaan atau kerugian pada masyarakat.
Kant berpendapat bahwa pidana adalah etik, praktisnya adalah suatu ketidakadilan, oleh karena itu, kejahatan haruslah dipidana. Sedangkan menurut Herbart menyatakan, kejahatan yang tidak dibalas tidak disenangi. Ada tuntutan yang umum bahwa pelaku harus kurang lebih mengalami beratnya nestapa sebagaimana ia mengakibatkan korbannya menderita. Menurut Samuel von Pufendorf bahwa ancaman pidana dimaksudkan untuk menakut – nakuti dan karenanya mencegah orang untuk berbuat dosa. Dengan demikian mereka akan patuh pada hukum.
Kant berpendapat bahwa pidana adalah etik, praktisnya adalah suatu ketidakadilan, oleh karena itu, kejahatan haruslah dipidana. Sedangkan menurut Herbart menyatakan, kejahatan yang tidak dibalas tidak disenangi. Ada tuntutan yang umum bahwa pelaku harus kurang lebih mengalami beratnya nestapa sebagaimana ia mengakibatkan korbannya menderita. Menurut Samuel von Pufendorf bahwa ancaman pidana dimaksudkan untuk menakut – nakuti dan karenanya mencegah orang untuk berbuat dosa. Dengan demikian mereka akan patuh pada hukum.
Aliran
modern yang muncul pada abad ke – 19 berbeda dengan aliran klasik, aliran ini
berorientasi pada pelaku tindak pidana dan menghendaki adanya individualisme
dari pidana, artinya dalam pemidanaan harus diperhatikan sifat – sifat dan
keadaan pelaku tindak pidana. Aliran ini juga disebut aliran positif karena
dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk
langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif (mempengaruhi
pelaku tindak pidana kearah yang positif / ke arah yang lebih baik) sejauh ia
masih dapat diperbaiki. Dengan orientasi yang demikian, maka aliran modern
sering dikatakan mempunyai orientasi ke masa depan. Menurut aliran ini
perbuatan seseorang tidak dapat dilihat secara abstrak dari sudut yuridis
semata – mata terlepas dari orang yang melakukannya, tetapi harus dilihat
secara konkrit bahwa dalam kenyataanya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh
watak pribadinya, faktor – faktor biologis atau faktor lingkungan
masyarakatnya. Jadi aliran ini bertolak dari pandangan determinisme untuk
menggantikan “doktrin kebebasan kehendak”.
Aliran modern setelah Perang Dunia II berkembang menjadi Aliran / Gerakan Perlindungan Masyarakat, dan terpecah menjadi dua konsepsi, yaitu konsepsi radikal dan konsepsi moderat. Menurut gramatika, tokoh konsepsi radikal, hukum perlindungan masyarakat (law of social defence) harus menggantikan hukum pidana yang ada, tujuan utamanya adalah menginteegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Sedangkan konsepsi moderat yang dipelopori Marc Ancel dengan gerakannya defence sociale nouvelle (New Social Devence) atau perlindungan masyarakat baru ingin mengintegrasikan ide – ide atau konsepsi – konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana.
Aliran modern setelah Perang Dunia II berkembang menjadi Aliran / Gerakan Perlindungan Masyarakat, dan terpecah menjadi dua konsepsi, yaitu konsepsi radikal dan konsepsi moderat. Menurut gramatika, tokoh konsepsi radikal, hukum perlindungan masyarakat (law of social defence) harus menggantikan hukum pidana yang ada, tujuan utamanya adalah menginteegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Sedangkan konsepsi moderat yang dipelopori Marc Ancel dengan gerakannya defence sociale nouvelle (New Social Devence) atau perlindungan masyarakat baru ingin mengintegrasikan ide – ide atau konsepsi – konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana.
Selain
aliran yang sudah dipaparkan diatas, aliran yang berasal dari aliran klasik
yaitu aliran neo – klasik (Neoclassical
School). Sebagaimana aliran klasik, aliran inipun bertolak dari pandangan indeterminisme
atau kebebasan kehendak. Menurut aliran ini, pidana yang dihasilkan oleh aliran
klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang saat itu.
Untuk itu aliran ini merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui asas –
asas keadaan yang meringankan (principle
of extenuating circumsstances).
Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian / doeltheorieen), menurut
teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan,
pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk
melindungi kepentingan masyarakat. Menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat
disebut teori atau aliran reduktif (the
reduktif point of view) karena dasar pemben`ran pidana menurut teori ini
ialah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Oleh karena itu penganutnya dapat
disebut golongan “Reducers” (penganut
teori reduktif). Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau
pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi
mempunyai tujuan – tujuan tertentu yang bermanfaat, teori inipun sering juga
disebut teori tujuan (utilitarian theory).
Jadi dasar pembenar adanya pidan menurut teori ini adalah terletak pada
tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat
kejahatan) melainkan “ne peccatur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).
Cesare Beccaria, 2011,
Perihal Kejahatan dan Hukuman, Penerjemah
Wahmuji, Genta Publishing, Yogyakarta
Eddy O.S. Hiariej,
2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum
dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta
Tongat, 2004, Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukum
Pidana di Indonesia, Umm Press, Malang
Muladi dan Barda Nawawi, 2005, Teori –
teori dan Kebijakan Pidana, Cetakan ke-3, Alumni, Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar