Berangkat dari teori paternalisme, negara diibaratkan sebagai orangtua
yang menentukan arah anak, anak disini yaitu warga negara, negara mempunyai
otoritas mengatur dan memaksa setiap warga negaranya, negara diberikan
kekuasaan oleh undang-undang melalui fungsi eksekutif, yudikatif dan
legislatif, sesuai teori yang ajarkan oleh Montesque. Kegagalan orangtua
mendidik anak menjadikan rumah tangga yang “gagal”, keadaan ini dianalogikan
keadaan bangsa saat ini yang tak tentu arah, cita-cita bangsa sesuai pembukaan
UUD 1945 dan Pancasila sudah melenceng jauh, tidak sesuai ekspetasi pendiri
bangsa.
Birokrasi merupakan alat administrasi negara, sebagai penggerak roda
pemerintahan, namun masalah
birokrasi sangat kompleks, berbicara tentang birokrasi maka tidak bisa terlepas
dari “abuse of power”, sudah menjadi
rahasia umum praktik birokrasi kita sangat kacau, dan bodohnya lagi kita
membiarkan semua kebohongan di negara ini, kita semua tidak mampu melawan
kebohongan, kesalahan, penyimpangan, kita mendukung semua kebohongan ini.
Kebohongan-kebohongan itu memang nyata, dan kita tidak ada daya dan upaya untuk
mengungkapnya, lagi-lagi data, semua harus berdasar data. Hasil pemikiran
Descartes dan Newton yang mengagung-agungkan ilmu pengetahuan ini, membawa kita
berpikir rasional, tidak ada kebenaran tanpa data.
Sungguh
memprihatinkan keadaan negara kita saat ini, membenarkan segala cara untuk
mencapai kemanfaatan, hasil dari pemikiran Jeremy Bentham ini masih menjadi
alat pembenar para penyelenggara negara kita. Kita sebagai warga negara melawanpun
tak bisa, harus siap-siap menggali kuburan dan menulis surat wasiat, atau
siapkan mental untuk berada dibalik jeruji besi, menyedihkan sekali rasanya,
tidak bisa berbuat apa-apa. Kita semua seakan kompak untuk tidak melawan, lebih
memilih diam dan aman daripada harus melawan arus, dan kita semua mau tidak mau,
suka atau tidak suka, terima atau tidak terima, harus mengakui, bahwa kita
semua penakut!!!
Tumbuh besar dan
mengetahui kenyataan yang ada di negeri ini, harus diimbangi dengan belajar
“menahan rasa sakit”, semakin kita tahu maka semakin besar kesakitan itu, kita
sering mendengar ungkapan, “praktik tidak seperti teorinya”, itu adalah
ungkapan favorite masyarakat dan para lulusan sarjana kita, sungguh menyedihkan,
ini adalah termasuk kebodohan kultur kita, ketakutan kita dan pengecutnya kita,
itulah permasalahannya, kekacauan dinegeri ini karena praktik tidak sesuai
teorinya, tetapi hal ini masih menjadi warisan pemikiran. Kekecawaan terhadap
penyelenggaraan hukum dinegara ini terkadang membuat akademisi kita pesimis,
idealis dikampus, didunia kerja seolah-olah disuntik menjadi bisu, terjebak
dalam lingkaran sistem, diam tak tenang apalagi bersuara, sehingga pantaslah
kiranya generasi kita disebut generasi “tanpa arah”, negara ini sudah terlanjur
terbawa derasnya aliran kapitalisme, negara kita dijadikan pasar oleh
negara-negara maju, para remaja didoktrin melalui budaya, seni, fashion ala
barat. Para penyelenggara negara ini menelanjangi semua aturan yang ada demi
pembangunan ekonomi, mereka tidak bermoral, mereka tidak “punya hati”,
pembangunan yang berprinsip sustainable
development ditabrak demi mencapai nafsu serakah mereka.
Sejak meledaknya revolusi
industri di Eropa dan seiring dampak yang dirasakan berbagai upaya dilakukan
didunia Internasional, penataan ruang dimaksudkan untuk perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup terhadap pembangunan ekonomi yang tidak bisa
dielakkan, lebih-lebih Indonesia sebagai negara konsumen, negara yang memiliki
populasi penduduk terbanyak ke empat, dan negara berkembang yang dalam hal ini
mengejar pembangunan ekonomi melalui industri, tentu akan menghasilkan banyak
limbah dan dampak lainnya masih terus berevolusi.
Undang-undang Nomor 26
Tahun 2007 yang mengatur tata ruang serta Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
yang menggantikan undang-undang terdahulu, kemudian lahirnya Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan merupakan sebuah langkah
maju sebagai bentuk proteksi terhadap kualitas lingkungan yang semakin menurun.Namun,
kelahiran kedua undang-undang ini belum mampu beradaptasi dengan kegiatan para
birokrat dan korporat yang terlanjur akut, berbagai kalangan menilai lingkungan
terus dieksploitasi, pertambangan, industri, perumahan, apartemen, ruko, hotel,
semakin tumbuh pesat mengabaikan hak lingkungan hidup, hutan terus digunduli,
sungai semakin tercemar, ruang terbuka hijau semakin menipis, rupanya
pemerintah daerah sedang giat melakukan pembangunan ekonomi, hebatnya sebagian
besar masyarakat tidak peduli malah ikut merayakan perusakan dan pencemaran
lingkungan ini, sebagian besar masyarakat bangga dengan pembangunan yang
dilakukan pemerintah tanpa mengerti untuk apa itu semua dibangun. Tetapi ada
pula yang diam mengetahui semua kebohongan, penipuan, kesalahan, kejahatan yang
ada dinegara ini. Merupakan sebuah dilema bagi negeri ini, disatu sisi harus
memajukan perekonomian, sektor lainnya terabaikan, lebih lebih sektor
lingkungan, untuk itulah lahirnya undang-undang penataan ruang, guna pengaturan
ruang, karena pembangunan tidak bisa dihindari.
Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 (amandemen ke empat
tahun 2002) masih kalah perkasa apabila disandingkan dengan pembangunan
ekonomi, konstitusi (UUD 1945) kitapun sangat didominasi oleh pengaruh ekonomi
yang bisa dibilang demokrasi ekonomi, sehingga peraturan dibawahnya berpatokan
terhadap undang-undang yang lebih tinggi.Otonomi daerah memang disatu sisi
memakan korban yang jauh lebih mematikan, tujuan otonomi yang seharusnya
memajukan perekonomian rakyat melalui optimalisasi peran daerah menjadi salah
sasaran, pemerintah daerah berlomba-lomba mengekploitasi lingkungan, industri
dibuka dimana-mana, rakyat tidak dilibatkan, penolakan tidak dihiraukan, perlindungan
terhadap rakyat miskin hanyalah sebuah slogan politik untuk mendapatkan simpati
serta menaikan popularitas partai atau individu.
Berbagai peraturan yang
mengatur lingkungan hidup maupun peraturan perundang-undangan lainnya terus
berkembang di negeri ini, tetapi, seperti yang dikatakan Prof.Siti Sundari
Rangkuti dari Unair, hukum lingkungan hanya sebuah “macan kertas”, yang
mengaum-ngaum dikertas dengan sanksi pidana yang berat, namun implementasinya
jauh dari cita-cita “mewujudkan kesejahteraan rakyat”, para perusak dan
pencemar lingkungan tidak terpengaruh terhadap undang-undang penatan ruang dan
undang-undang lingkungan yang terus diperbaharui. Hukum lingkungan harus diakui
sudah memiliki substansi yang bagus dalam melindungi dan mengelola lingkungan, begitu
juga penataan ruang, hukum sudah cukup memproteksi, namun birokrasi, aparat
penegak hukum tidak mampu mengimbangi kekuatan undang-undang serta tidak
menggunakan moralitasnya untuk memahami undang-undang.
mantap artikelnya gan.
BalasHapuswww.kiostiket.com