Tinjauan Teori Nilai Kebijakan Publik
Teori nilai kebijakan publik (the public values) menjelaskan bahwa
pertukaran pandangan atau musyawaah mufakat (deliberative
process) di antara berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dapat menjadi dasar bagi pembuatan keputusan yang
rasional. Pertukaran pandangan dilandasi oleh sifat keterbukaan pemikiran (openness of mind), kejujuran (honesty), kesediaan untk mendengar
kritik, dan penghargaan atas pandangan – pandangan pihak yang berbeda menjadi
dasar pengambilan keputusan bersama (collective
choice). Menurut teori nilai kebijakan publik wakil – wakil dari berbagai
pemangku kepentingan dalam proses legislasi harus mampu mengatasi benturan
kepentingan dengan cara menempatkan kepentingan bersama (public goods) di atas kepentingan konstituen mereka. Para anggota
badan legislatif harus mampu membangun konsepsi kepentingan bersama. Apa yang
dimaksud dengan kepentingan konstituen mereka . Para anggota badan legislatif
harus mampu membangun konsepsi kepentingan bersama. Apa yang dimaksud dengan
kepentingan bersama dapat diperoleh melalui pertukaran pandangan dalam proses
politik. Dalam proses ini ,para anggota badan legislatif setelah memerhatikan
berbagai usulan atau pandangan dari berbagai pemangku kepentingan membuat
keputusan dengan mengacu pada apa yang mereka anggap sebagai kepentingan publik
dan bangsa.
Dalam
pembangunan hukum lingkungan seringkali berbenturan dengan kepentingan
pembangunan ekonomi nasional, pembangunan nasional secara fisik di Indonesia
tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup, eksploitasi terhadap sumber daya
alam menjadi pemandangan yang biasa, demi meraih dan menarik para investor
asing, peraturan yang ada seakan hanya menjadi hiasan dinding yang tak
berkutik. Adanya otonomi daerah menjadi ajang para kepala daerah menunjuk
kebolehan merusak dan mengerok keuntungan dari eksploitasi alam. Para pemimpin
seakan menutup mata dan telinga melihat dan mendengar jeritan rakyat, untuk
menyelamatkan diri pribadi dan kelompoknya mereka sembunyi dibalik peraturan
perundang-undangan yang mereka buat sendiri.
Kesadaran
lingkungan mulai terlihat tahun 1950-an tatkala mulai munculnya pencemaran yang
berasal dari pabrik – pabrik, pertanian dan transportasi di negara- negara
maju. Tumbuhnya industri sekaligus menimbulkan pencemaran melalui buangan
limbah, asap (jelaga) atau kebisingan
(noise). Sistem pertanian menimbulkan
pencemaran alam melalui pemakaian pestisida yang banyak. Demikian pula
transportasi melalui asap dari proses bahan bakar, kebisingan dan kemacetan
jalan.
Dasawarsa
tahun 1970-an merupakan awal permasalahan lingkungan secara global yang
ditandai dengan dilangsungkannya Konferensi Stockholm tahun 1972 yang
membicarakan masalah lingkungan (UN
Coference on the Human Environment,UNCHE). Konferensi yang diselenggarakan
oleh PPB ini berlangung dari tanggal 5-12 juni 1972, akhirnya tanggal 5 juli
ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Pada 1987 terbentuk sebuah
komisi dunia yang disebut dengan Komisi Dunia tentang Lingkungan Hidup dan
Pembangunan (World Commission on
Environment and Development) yang
kemudian lahir konsep sustainable
development, kemudian majelis umum PPB memutuskan untuk menyelenggarakan konferensi di Rio
de Janeiro, Brasil 1992.
Negara
berkembang seperti Indonesia sangat mendambakan pembangunan industri, untuk
memperbaiki struktur ekonomi nasional, oleh karena itu kepentingan lingkungan
seakan terabaikan. Para ilmuwan
berpendapat bahwa untuk menghilangkan keterbelakangan dan kemiskinan didunia
ketiga, seharusnya dilakukan perubahan dan ditingkatkannya pertumbuhan,
keterbelakangan ekonomi ini yang mengakibatkan rendahnya pendapatan, para
ilmuwan percaya bahwa segala sesuatu menuju perubahan dapat dicapai dengan
pembangunan.
Sekitar
tahun tujuh puluhan, Mochtar Kusumaatmadja mengadaptasi dan mengembangkan teori
Roscoe pound, law as a tool of sosial
engineering sebagai landasan teoritis pembinaan hukum di Indonesia.
Perkembangan selanjutnya, konsep pembinaan hukum ini diberi nama “teori hukum
pembangunan”.
Konsep
pembangunan berkelanjutan untuk pertama kali dituangkan dalam kebijaksanaan
nasional melalui Keppres No.13 Tahun 1989 Tentang Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita), dan TAP MPR No.ll/MPR/1993 tentang garis – garis besar Haluan
Negara. Dengan demikian, sejak saat ini pembangunn berkelanjutan telah
mempunyai dasar hukum dalam kebijaksanaan nasional.
Umat
manusia mempunyai kapasitas untuk menjadikan pembangunan ini berkelanjutan.
Yang dimaksud dengan pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang
dapat memenuhi kebutuhan saat ini dengan mengindahkan kemampuan generasi
mendatang dalam mencukupi kebutuhannya.
Ada
tiga hal penting yang tercakup disini, yaitu : (1) pengelolaan sumber alam
secara bijaksana;(2) pembangunan berkesinambungan sepanjang masa; dan (3)
peningkatan kualitas hidup. Konsep pembangunan berkelanjutan mengimplikasikan
bukan pada batas absolut akan tetapi pada batas yang ditentukan oleh tingkat
masyarakat dan organisasi sosial mengenai sumber daya alam serta kemampuan
biosfer untuk menyerap pengaruh-pengaruh kegiatan manusia.
Dalam
pelaksanaan pembangunan dan pemerintah, penting dipahami tujuan hukum dan
fungsi hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat. Menurut Mochtar
Kusumaatmadja, hukum berfungsi sebagai sarana pembaruan atau sarana pembangunan
didasarkan atas anggapan, bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum
memang bisa berfungsi sebagai alat (pengaturan) atau sarana pembangunan dalam
arti penyaluran arah kegiatan manusia yang ke arah yang dikehendaki oleh
pembangunan.
Sejak
era 1980-an, berkembang tuntutan yang meluas agar kebijakan-kebijakan resmi
negara yang pro lingkungan dapat tercermin dalam bentuk perundang-undangan yang
mengingat untuk ditaati oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder). Tak terkecuali, Indonesia juga menghadapi tuntutan
yang sama, yaitu perlunya disusun suatu kebijakan yang dapat dipaksakan
berlakunya dalam bentuk undang-undang tersendiri yang mengatur mengenai
lingkungan hidup.
Itu
juga sebabnya, maka Indonesia menyusun dan akhirnya menetapkan berlakunya
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Inilah
produk hukum pertama yang dibuat di Indonesia, setelah sebelumnya dibentuk satu
kantor kementerian tersendiri dalam susunan anggota Kabinet Pembangunan III,
1978-1983. Menteri Negara Urusan Lingkungan Hidup yang pertama adalah Prof. Dr.
Emil Salim yang berhasil meletakkan dasar-dasar kebijakan mengenai lingkungan
hidup dan akhirnya dituangkan dalam bentuk undang-undang pada tahun 1982.
Kemudian
setelahnya lahir berbagai produk perundang-undangan sebagai wujud kesadaran
lingkungan, serta mengatur lebih jauh amanat UUD RI 1945 yang menghargai
lingkungan sebagai hak setiap manusia, lahirnya Undang-undang Nomor 27 Tahun
1997 serta digantikan oleh Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 yang sekarang
berlaku, roh dari undang-undang tersebut adalah sustinable development, dimana pembangunan dan pengembangan hukum
lingkungan harus berdasarkan kepentingan manusia masa sekarang dan masa yang
akan datang.
Pengembangan
hukum lingkungan berdasarkan teori nilai kebijakan publik diartikan sebagai
pembangunan hukum lingkungan yang berkelanjutan sesuai amanat konferensi yang
terjadi di dunia internasional yang kemudian menurun ke peraturan
perundangan-undangan nasional, untuk memungkinkan pembangunan berkelanjutan
diperlukan pokok-pokok kebijaksanaan sebagai berikut :
1. Pengelolaan sumber daya alam perlu
direncanakan sesuai dengan daya dukung lingkungannya. Dengan mengindahkan
kondisi lingkungan (biogeofisika dan sosekbud), setiap daerah harus dibangun
sesuai dengan zona industri, zona pemukiman, zona perkebunan, pertanian, dan
lain – lain. Hal ini memerlukan perencanaan tata ruang (Rencana Tata Ruang
Wilayah atau RTRW). Melalui rencana tata ruang wilayah ini dapat dihindari
pemanfaatan ruangan yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungannya.
2. Proyek pembangunan yang berdampak
negatif terhadap lingkungan dikendalikan melalui penerapan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses
perencanaan proyek. Melalui studi AMDAL, dapat diperkirakan dampak negatif
pembangunan terhadap lingkungan sehingga dapat disusun Rencana Pengelolaan
Lingkungan (RPL) yang mengendalikan dampak negatif dan meningkatkan dampak
positif Untuk menjamin pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan ini
diterapkan pula Rencana Pemantauan Lingkungan yang berfungsi untuk memantau
apakah dampak negatif pembangunan dapat terkendali.
3. Penanggulangan pencemaran air, udara,
dan tanah mengutamakan :
a. Penanggulangan bahan beracun dan
berbahaya agar limbah ini dapat dikendalikan dan tidak membahayakan masyarakat.
b. Penanggulangan limbah padat terutama
di kota – kota besar supaya tidak menganggu kesehatan lingkungan.
c. Penetapan baku mutu emisi dan efluen.
d. Pengembangan baku mutu air dan udara.
4. Pengembangan keanekaragaman hayati
sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan. Usaha ini perlu
ditunjang oleh berbagai kebijakan lain, seperti :
a. Pengelolaan hutan tropis yang secara
khusus melestarikan habitat (tempat tinggal) flora dan fauna dalam taman
nasional, suaka alam, suaka marga satwa, cagar alam, dan lain – lain.
b. Pengelolaan wilayah pesisir dan
lautan yang secara khusus melestarikan keanekaragaman hayati di wilayah pesisir
dan hutan.
5. Pengendaliaan kerusakan lingkungan
melalui :
a. Pengelolaan daerah aliran sungai
b. Rehabilitasi dan reklamasi bekas
pembangunan dan galian C
c. Pengelolaan wilayah pesisir dan
lautan
6. Pengembangan kebijakan ekonomi yang
memuat pertimbangan lingkungan:
a. Manfaat dan biaya lingkungan perlu
diperhitungkan dalam analisis ekonomi
b. Pengurasan sumber daya alam (resource
depletion) perlu diperhatikan sebagai bagian dari ongkos pembangunan.
c. Sangat penting adalah memasukkan
pertimbangan lingkungan dalam kebijakan investasi, perpajakan, dan perdagangan.
7. Pengembangan peran serta masyarakat,
kelembagaan dan ketenagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup:
a. Merangsang peran serta masyarakat
dalam perkembangan lingkungan melalui pembinaan kesadaran masyarakat. Ikhtiar
berperan serta dapat terwujud melalui pengembangan lembaga swadaya masyarakat
yang mencakup kelompok profesi, hobi, dan minat.
b. Pengembangan lembaga daerah dan
lembaga Pusat Studi Lingkungan
c. Pembinaan sarana informasi yang
menunjang pengelolaan lingkungan
d. Pengembangan pendidikan dan
keterampilan dalam pengelolaan lingkungan.
e. Pengembangan peraturan perundang –
undangan.
8. Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong
badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum
lingkungan.
9. Pengembangan kerja sama luar negeri.
Referensi :
Takdir
Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di
Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
N.H.T.
Siahaan, 2004, Hukum Lingkungan dan
Ekologi Pembangunan, Erlangga, Jakarta.
Helmi,
2012, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup,
Sinar Grafika, Jakarta.
Muhamad
Erwin, 2009, Hukum Lingkungan Dalam
Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung
Jimly Asshiddiqie,
2010, Green Constitution, Rajawali
Pers, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar