HUKUM LINGKUNGAN UNTUK SIAPA?
Masalah lingkungan terus mendapatkan
perhatian beberapa abad terakhir dari para akademisi, pegiat atau aktivis yang
bergerak di bidang lingkungan hidup, tidak heran lingkungan menjadai topik “emas”
yang dibahas diforumnya tersendiri. Kualitas lingkungan memang semakin
menghawatirkan, perkembangan tekhnologi, industri dan pertumbuhan pendudukan
menjadi faktor pemicu rendahnya kualitas lingkung. Masyarakat pada umumnya
tidak memiliki kepedulian yang besar terhadap perkembangan lingkungan
akhir-akhir ini, memang harus diakui negara ini sedang menghadapi berbagai
permasalahan, permasalahn lingkungan tidak begitu “sexy” untuk di perhatikan, sehingga masyarakat masih sibuk membahas
masalah-masalah baru yang terus muncul di media massa, televisi, koran ataupun
media online, masyarakat terus dijejali permasalahan yang baru ataupun
permasalahan lama yang berkembang, hampir tidak ada pemberitaan yang membanggakan
dari negeri ini, beberapa masyarakat acuh tak acuh menyikapi masalah yang
datang silih berganti, bisa dibilang masyarakat sudah lelah dengan semua ini,
bersuara pun tak ada gunanya, ada juga yang hanya mengeluh, namun ada pula yang
peduli.
Masalah lingkungan
merupakan masalah dunia, itu pula sebabnya PBB mengadakan konferensi di stockholm,
swiss, pada tahun 1972,. Kemudian pada tahun 1984 PBB membentuk Komisi Dunia
untuk Lingkungan dan Pembangunan (The
World Commission on Environment And Development), dan pada tahun 1992 PBB mengadakan
konferensi kedua di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992, dan Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Bekelanjutan yang dilaksanakan di
Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002. Pengaruhnya terhadap Indonesia
adalah dibentuknya Departemen Lingkungan Hidup yang menghasilkan Undang-undang Nomor
4 Tahun 1982, kemudian diperbaharui dengan undang-undang lingkungan dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, karena undang-undang
sebelumnya tidak mampu memproteksi permasalahan lingkungan yang semakin
kompleks. Selama dua belas tahun berlaku undang-undang inipun masih memiliki
celah yang tidak mampu menjangkau perlindungan terhadap lingkungan hidup,
sehingga permasalahan lingkungan bukannya semakin membaik, tapi kualitas
lingkungan semakin memprihatinkan. Itu pula sebabnya yang melatarbelakangi
lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 yang berlaku sekarang.
Sudah
tiga tahun undang-undang ini menjadi payung hukum perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia. Namun, berbagai kalangan menilai lingkungan
terus dieksploitasi, pertambangan, industri, ruko, hotel, semakin tumbuh pesat
mengabaikan hak lingkungan hidup, hutan terus digunduli, sungai semakin
tercemar, ruang terbuka hijau semakin menipis, rupanya pemerintah daerah sedang
giat melakukan pembangunan ekonomi, hebatnya sebagian besar masyarakat tidak
peduli malah ikut merayakan perusakan dan pencemaran lingkungan ini, sebagian
besar masyarakat bangga dengan pembangunan yang dilakukan pemerintah tanpa
mengerti untuk apa itu semua dibangun. Merupakan sebuah dilema bagi negeri ini,
disatu sisi harus memajukan perekonomian, sektor lainnya terabaikan, lebih
lebih sektor lingkungan, perekonomian yang seharusnya dibangun berdasarkan
prinsip sustainable development yang
berwawasan lingkungan, sesuai pasal 33 ayat (4) UUD 1945 (amandemen ke empat
tahun 2002) masih kalah perkasa apabila disandingkan dengan pembangunan
ekonomi, konstitusi (UUD 1945) kitapun sangat didominasi oleh pengaruh ekonomi
yang bisa dibilang demokrasi ekonomi, sehingga peraturan dibawahnya berpatokan
terhadap undang-undang yang lebih tinggi.Otonomi daerah memang disatu sisi
memakan korban yang jauh lebih mematikan, tujuan otonomi yang seharusnya
memajukan perekonomian rakyat melalui optimalisasi peran daerah menjadi salah
sasaran, pemerintah daerah berlomba-lomba mengekploitasi lingkungan, industri
dibuka dimana-mana, rakyat tidak dilibatkan, penolakan tidak dihiraukan, yang
terpenting adalah memajukan ekonomi, ekonomi keluarga, kelompok maupun ekonomi
pengusaha, kasus Freeport, mesuji, bima adalah beberapa contoh. Wajar banyak
kalangan menilai, “ yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”,
istilah ini memang benar, perlindungan terhadap rakyat miskin hanyalah sebuah
slogan politik untuk mendapatkan simpati serta menaikan popularitas partai atau
individu.
Berbagai
peraturan yang mengatur lingkungan hidup terus berkembang di negeri ini,
tetapi, seperti yang dikatakan Prof.Siti Sundari Rangkuti dari Unair, hukum
lingkungan hanya sebuah “macan kertas”, yang mengaum-ngaum dikertas dengan
sanksi pidana yang berat, namun implementasinya jauh dari harapan, para perusak
dan pencemar lingkungan tidak terpengaruh terhadap undang-undang lingkungan
yang terus diperbaharui. Lalu untuk apa hukum lingkungan jika tidak ditegakkan?.
Tujuan hukum lingkungan adalah memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi
masyarakat, namun yang terjadi di negeri ini adalah hukum tidak bisa berbuat
banyak, kalah oleh kekuasaan dan kekuatan politik. Hukum lingkungan harus
diakui sudah memiliki substansi yang bagus dalam melindungi dan mengelola
lingkungan, lebih mengatur secara konkrit serta terdapat beberapa konsep baru
bila dibandingkan undang-undang sebelumnya, walaupun terdapat beberapa
kekurangan. Namun struktur hukum (penegak hukum) tidak mampu mengimbangi
kekuatan undang-undang serta tidak menggunakan moralitasnya untuk memahami
undang-undang.
Hukum
Lingkungan di Indonesia "seolah-olah" dibuat untuk tidak ditegakkan, pembangunan
ekonomi masih menjadi “musuh dalam selimut”, berbagai pembangunan di kota-kota
maupun daerah-daerah tidak diimbangi dengan penghargaan terhadap hak-hak
lingkungan. Berbagai konsep dalam hukum lingkungan yang baru masih berbenturan
dengan berbagai kepentingan, tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi dengan undang-undang
lainnya merupakan permasalahan yang mendasar yang harus segera di benahi oleh
steakholders, penegakkan hukum lingkungan haruslah ada kesepahaman berbagai
pihak, karena kepentingan lingkungan sangat sensitif, masih bertolak belakang
dengan pembangunan yang mengagung-agungkan “industrialisasi” untuk menumpas kemiskinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar