Dalam
pembentukan hukum oleh negara, tentunya hukum mempunyai sasaran yang ingin
dicapai, tidak ada satupun peraturan perundangan dibuat tanpa adanya tujuan,
ada tujuan yang ingin dicapai oleh hukum. Dari kacamata teori barat, tujuan
hukum dimulai pada teori etis yang mengatakan tujuan hukum semata-mata untuk
mewujudkan keadilan (justice), teori
utilistis yang dianut oleh Jeremy Bentham tujuan hukum semata-mata untuk
mewujudkan kemanfaatan (Utility), dan
teori legalistik tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan kepastian hukum (legal certainty). Dalam perkembangannya
lahir pula teori prioritas baku yang menggabungkan keadilan, kemanfaatan dan
kepastian sebagai tujuan hukum, serta disempurnakan oleh teori prioritas
kasuistik yang menambahkan dengan urutan prioritas, secara proposional, sesuai
dengan kasus yang dihadapi dan ingin dipecahkan.
I
Wahan Sudirta berpendapat bahwa ada dua macam strategi pembangunan hukum yang
akhirnya sekaligus berimplikasi pada karakter produk hukumnya yaitu pembangunan
hukum “otodoks” dan pembangunan hukum “responsif”, strategi pembangunan hukum
harus mengakomodasi politik hukum daerah agar menghasilkan hukum yang
responsif, tanggap terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok sosial dan
individu dalam masyarakat.
Pembangunan hukum harus berangkat
dari nilai-nilai Pancasila, karena pada hakikatnya pancasila merupakan tonggak
konvergensi berbagai gagasan dan pemikiran mengenai dasar falsafah kenegaraan
yang didiskusikan secara mendalam oleh para pendiri negara. Pancasia menjadi
kesepakatan luhur (modus vivendi)
yang kemudian ditetapkan sebagai dasar ideologi negara. Dalam hal ini,
pancasila menjadi dasar rasional mengenai asumsi tentang hukum yang akan
dibangun sekaligus sebagai orientasi yang menunjukan kemana bangsa dan negara
harus dibangun.
Dengan demikian, Pancasila merupakan
sebuah kesepakatan dan konsesus untuk membangun satu bangsa satu negara, tanpa
mempersoalkan perbedaan latar belakang yang ada, baik agama, ras, suku, budaya,
bahasa dan lainnya. Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi rechtsidee (cita hukum) yang harus
dituangkan didalam setiap pembuatan dan penegakkan hukum. Notonegoro menyatakan
bahwa Pancasila menjadi cita hukum karena kedudukannya sebagai pokok kaidah
fundamental negara (staatsfundamentalnorm)
yang mempunyai kekuatan sebagai grundnorm.
Sebagai cita hukum, pancasila menjadi bintang pemandu seluruh produk hukum
nasional, dalam artian semua produk hukum ditujukan untuk mencapai ide-ide yang
dikandung Pancasila.
REFERENSI :
I Wayan
Sudirta, dalam makalah Undang-Undang 12
Tahun 2011 vs Kepentingan Daerah, Seminar Nasional Reformasi Birokrasi dalam
Mewujudkan Good Governance di Daerah,
Universitas Brawijaya, tanggal 29 November 2011
Mahfud MD, “Menguatkan Pancasila Sebagai Dasar Ideologi
Negara”, Dimuat dalam Mahkamah
Konstitusi dan Penguatan Pancasila, Majalah Konstitusi No.52-Mei 2011.
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan (Judicial Prudence), Prenada Media Group, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar