Hukum Indonesia saat ini
berada dibawah hegemoni paradigma positivisme hukum yang merupakan
kepenjangtanganan paradigma Cartesian-Newtonian. Positivisme hukum adalah
aliran pemikiran dalam hukum yang memperoleh pengaruh kuat dari aliran
positivisme ilmu (pada umumnya). Dalam devinisinya yang paling tradisional
tentang hakekat hukum, positivisme hukum memaknai hukum sebagai norma-norma
positif dalam sistem perundang-undangan.Positivisme hukum memaknai hukum sebagai norma-norma positif dalam sistem
perundang-undangan, bahwa hukum adalah apa yang ditulis itu. Sehingga pengaruhnya adalah segala bentuk kejahatan dikenai hukum
positif yang berlaku yaitu hukum pidana, sesuai asas legalitas pada pasal 1 dan
pidana sesuai pasal 10 KUHP.
Dalam konsep sistem hukum terdapat dua
sistem besar sebagai patokan negara memberlakukan hukum, yaitu sistem hukum
anglo saxon dan eropa kontinental, sistem hukum anglo saxon memandang hukum
tidak tertulis sebagai hukum, sebaliknya eropa kontinental memandang hukum
sebagai hanya norma tertulis. Sistem
hukum Eropa kontinental berkembang di negara – negara Eropa daratan yang sering
disebut sebagai “Civil Law” yang
semula berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku dikekaisaran Romawi pada masa
pemerintahan Kaisar Justinianus abad VI sebelum masehi. Prinsip utama yang
menjadi dasar sistem hukum Eropa Kontinental itu ialah “hukum memperoleh
kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk
undang-undang dan tersusun secara sistematik didalam kodifikasi atau kompilasi
tertentu, prinsip dasar ini dianut mengingat bahwa nilai utama yang merupakan
tujuan hukum adalah “kepastian hukum”
Pemahaman terhadap hukum sebagai norma
tertulis berawal dari filsafat positivisme, sebagaimana keilmuan eksakta hukum
juga ingin menunjukan eksistensinya sebagai sesuatu yang nyata dan valid, bukan
sesuatu yang abstrak sehingga hukum ditulis dalam sejarah pertama sekali dalam
bentuk codex hammurabbi. Paradigma
yang dibangun oleh ilmuwan hukum yunani kemudian bergeser ke Romawi adalah
catatan penting dalam sejarah hukum sebagai norma tertulis, kemudian Perancis
mengadopsi paradigma yang sama di ikuti oleh Belanda. Perancis dan Belanda
adalah dua negara yang menjajah beberapa dunia, sehingga negara jajahan terbawa
arus kedalam positivisme hukum. Indonesia sebagai negara jajahan Belanda ikut
dalam panggung positivisme, bahkan setelah merdeka Indonesia mengkodifikasi
hukum yang berasal dari pemerintah kolonial Belanda, sampai saat inipun hukum
Indonesia masih terbelenggu postivisme. Hukum Belanda merupakan hukum eropa
yang termasuk kedalam mazhab individualisme, sehingga apabila diterapkan di
masyarakat Indonesia yang dikenal kolektif menimbulkan problematik di berbagai
aspek.
Hukum tertulis memiliki andil besar
dalam menciptakan keadilan, hukum yang dipandang dari kacamata positivistik
semata akan berakibat buruk, karena masyarakat akan terus berkembang kearah
yang tidak dapat dijangkau oleh hukum tertulis. Menurut Satjipto Rahardo dalam sejarah dijumpai munculnya bentuk – bentuk
kejahatan baru yang tidak siap dihadapi oleh perundang – undangan yang ada.
Beliau berpendapat, salah satu sifat penting dari hukum tertulis terletak pada
kekakuanya (Lex dura sed tamen scripta
– hukum itu keras/kaku, tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum itu
dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, maka perhatian bergeser kepada pelik
– pelik pengunaannya sebagai sebuah dokumen tertulis.Lebih jauh beliau mengatakan hukum, perundang – undangan, atau peraturan pada
umumnya dirancang berdasarkan asumsi – asumsi tertentu.
Di dalam pembangunan hukum, upaya
pencapaian penegakan hukum tidak terbatas pada adanya aturan yang bersifat
normatif saja, sejak hukum itu memasuki era hukum tertulis yang menjadi salah
satu ciri hukum modern, panggung hukum berubah menjadi panggung hukum tertulis
dan menjadi sebuah skema. Hukum sebagai skema adalah hukum sebagaimana dijumpai
dalam teks atau perundang – undangan atau hukum yang dirumuskan dengan sengaja
secara rasional, disini hukum sudah mengalami pergeseran bentuk dari hukum yang
muncul secara serta merta (interactional
law) menjadi hukum yang dibuat dan diundangkan (legislatet law).
Hukum itu bukanlah merupakan tujuan, tetapi sarana atau
alat untuk mencapai tujuan yang sifatnya non – yuridis dan berkembang karena
rancangan dari luar hukum. Faktor – faktor diluar hukum itulah yang membuat
hukum itu dinamis. Hukum mengatur hubungan hukum. Hubungan hukum itu terdiri
dari ikatan – ikatan antara individu dan masyarakat dan antara individu itu
sendiri. Ikatan – ikatan itu tercermin pada hak dan kewajiban. Dalam mengatur
hubungan – hubungan hukum itu caranya beraneka ragam kadang – kadang hanya
dirumuskan kewajiban – kewajiban. Sebaliknya sering juga hukum merumuskan
peristiwa – peristiwa tertentu yang merupakan syarat timbulnya hubungan –
hubungan hukum.
Anthon F.
Susanto, 2010, Dekonstruksi Hukum,
Genta Publishing, Yogyakarta
Abdoel Djamali, 2005, Pengantar
Hukum Indonesia, Cetakan ke-10, Rajawali Pers, Jakarta
Otje Salman &
Anton F. Susanto, 2010, Teori Hukum,
Cet.ke-6, Refika Aditama, Bandung
Satjipto
Rahardjo, 2010, Penegakkan Hukum
Progresif, Kompas, Jakarta
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar