Rabu, 26 September 2012

MENOLAK OTORITAS POSITIVISME


         Hukum Indonesia saat ini berada dibawah hegemoni paradigma positivisme hukum yang merupakan kepenjangtanganan paradigma Cartesian-Newtonian. Positivisme hukum adalah aliran pemikiran dalam hukum yang memperoleh pengaruh kuat dari aliran positivisme ilmu (pada umumnya). Dalam devinisinya yang paling tradisional tentang hakekat hukum, positivisme hukum memaknai hukum sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan.Positivisme hukum memaknai hukum sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan, bahwa hukum adalah apa yang ditulis itu. Sehingga pengaruhnya adalah segala bentuk kejahatan dikenai hukum positif yang berlaku yaitu hukum pidana, sesuai asas legalitas pada pasal 1 dan pidana sesuai pasal 10 KUHP.
    Dalam konsep sistem hukum terdapat dua sistem besar sebagai patokan negara memberlakukan hukum, yaitu sistem hukum anglo saxon dan eropa kontinental, sistem hukum anglo saxon memandang hukum tidak tertulis sebagai hukum, sebaliknya eropa kontinental memandang hukum sebagai hanya norma tertulis. Sistem hukum Eropa kontinental berkembang di negara – negara Eropa daratan yang sering disebut sebagai “Civil Law” yang semula berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku dikekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Justinianus abad VI sebelum masehi. Prinsip utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa Kontinental itu ialah “hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik didalam kodifikasi atau kompilasi tertentu, prinsip dasar ini dianut mengingat bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah “kepastian hukum”
      Pemahaman terhadap hukum sebagai norma tertulis berawal dari filsafat positivisme, sebagaimana keilmuan eksakta hukum juga ingin menunjukan eksistensinya sebagai sesuatu yang nyata dan valid, bukan sesuatu yang abstrak sehingga hukum ditulis dalam sejarah pertama sekali dalam bentuk codex hammurabbi. Paradigma yang dibangun oleh ilmuwan hukum yunani kemudian bergeser ke Romawi adalah catatan penting dalam sejarah hukum sebagai norma tertulis, kemudian Perancis mengadopsi paradigma yang sama di ikuti oleh Belanda. Perancis dan Belanda adalah dua negara yang menjajah beberapa dunia, sehingga negara jajahan terbawa arus kedalam positivisme hukum. Indonesia sebagai negara jajahan Belanda ikut dalam panggung positivisme, bahkan setelah merdeka Indonesia mengkodifikasi hukum yang berasal dari pemerintah kolonial Belanda, sampai saat inipun hukum Indonesia masih terbelenggu postivisme. Hukum Belanda merupakan hukum eropa yang termasuk kedalam mazhab individualisme, sehingga apabila diterapkan di masyarakat Indonesia yang dikenal kolektif menimbulkan problematik di berbagai aspek.
        Hukum tertulis memiliki andil besar dalam menciptakan keadilan, hukum yang dipandang dari kacamata positivistik semata akan berakibat buruk, karena masyarakat akan terus berkembang kearah yang tidak dapat dijangkau oleh hukum tertulis. Menurut Satjipto Rahardo dalam sejarah dijumpai munculnya bentuk – bentuk kejahatan baru yang tidak siap dihadapi oleh perundang – undangan yang ada. Beliau berpendapat, salah satu sifat penting dari hukum tertulis terletak pada kekakuanya (Lex dura sed tamen scripta – hukum itu keras/kaku, tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, maka perhatian bergeser kepada pelik – pelik pengunaannya sebagai sebuah dokumen tertulis.Lebih jauh beliau mengatakan hukum, perundang – undangan, atau peraturan pada umumnya dirancang berdasarkan asumsi – asumsi tertentu.
         Di dalam pembangunan hukum, upaya pencapaian penegakan hukum tidak terbatas pada adanya aturan yang bersifat normatif saja, sejak hukum itu memasuki era hukum tertulis yang menjadi salah satu ciri hukum modern, panggung hukum berubah menjadi panggung hukum tertulis dan menjadi sebuah skema. Hukum sebagai skema adalah hukum sebagaimana dijumpai dalam teks atau perundang – undangan atau hukum yang dirumuskan dengan sengaja secara rasional, disini hukum sudah mengalami pergeseran bentuk dari hukum yang muncul secara serta merta (interactional law) menjadi hukum yang dibuat dan diundangkan (legislatet law).
         Hukum itu bukanlah merupakan tujuan, tetapi sarana atau alat untuk mencapai tujuan yang sifatnya non – yuridis dan berkembang karena rancangan dari luar hukum. Faktor – faktor diluar hukum itulah yang membuat hukum itu dinamis. Hukum mengatur hubungan hukum. Hubungan hukum itu terdiri dari ikatan – ikatan antara individu dan masyarakat dan antara individu itu sendiri. Ikatan – ikatan itu tercermin pada hak dan kewajiban. Dalam mengatur hubungan – hubungan hukum itu caranya beraneka ragam kadang – kadang hanya dirumuskan kewajiban – kewajiban. Sebaliknya sering juga hukum merumuskan peristiwa – peristiwa tertentu yang merupakan syarat timbulnya hubungan – hubungan hukum.



Anthon F. Susanto, 2010, Dekonstruksi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta
Abdoel Djamali, 2005, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan ke-10, Rajawali Pers, Jakarta
Otje Salman & Anton F. Susanto, 2010, Teori Hukum, Cet.ke-6, Refika Aditama, Bandung
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakkan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar