Dalam sistem peradilan pidana
pemidaan itu bukanlah merupakan tujuan akhir dan bukan pula merupakan satu -
satunya cara untuk mencapai tujuan pidana atau tujuan sistem peradilan pidana.
Banyak cara dapat ditempuh, dapat menggunakan hukum pidana maupun dengan cara
diluar hukum pidana atau diluar pengadilan. Dilihat dari segi ekonomisnya
sistem peradilan pidana disamping tidak efisien, juga pidana penjara yang tidak
benar - benar diperlukan semestinya tidak usah diterapkan.
Penegakan
hukum dengan sarana penal merupakan salah satu aspek saja dari usaha masyarakat menanggulangi kejahatan. Disamping itu masih dikenal
usaha masyarakat menanggulangi kejahatan melalui
sarana non penal.
Usaha non penal dalam menanggulangi kejahatan sangat berkaitan erat dengan
usaha penal. Upaya non penal ini dengan
sendirinya akan sangat menunjang penyelenggaraan peradilan pidana dalam mencapai tujuannya. Pencegahan atau atau
menanggulangi kejahatan harus dilakukan pendekatan integral
yaitu antara sarana penal dan non penal.
Menurut
M. Hamdan, upaya penaggulangan yang merupakan bagian dari kebijakan sosial pada
hakikatnya juga merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) yang dapat ditempuh
dengan 2 jalur, yaitu:
1. Jalur penal, yaitu dengan menerapkan
hukum pidana (criminal law application)
2. Jalur nonpenal, yaitu dengan cara :
a.
Pencegahan
tanpa pidana (prevention without
punisment), termasuk di dalamnya penerapan sanksi administrative dan sanksi
perdata.
b.
Mempengaruhi
pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pembinaan lewat media massa (influencing views of society on crime and
punishment).
Secara sederhana dapatlah dibedakan,
bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan
pada sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan
terjadi, sedangkan jalur “non penal” lebih menitik beratkan pada sifat “preventif”
(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.
Beberapa dekade terakhir berkembang
ide-ide perbuatan tanpa pidana, artinya tidak semua tindak pidana menurut
undang-undang pidana dijatuhkan pidana, serentetan pendapat dan beberapa hasil
penelitian menemukan bahwa pemidanaan tidak memiliki kemanfaatan ataupun
tujuan, pemidaan tidak menjadikan lebih baik. Karena itulah perlunya sarana
nonpenal diintensifkan dan diefektifkan, disamping beberapa alasan tersebut,
juga masih diragukannya atau dipermasalahkannya efektifitas sarana penal dalam
mencapai tujuan politik kriminal
Mengingat upaya penanggulangan
kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan untuk
terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor
kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain,
berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung
atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan
demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka
upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan
upaya politik kriminal. Di berbagai Kongres PBB mengenai “The Prevention of Crime and Treatment of Offenders” ditegaskan upaya-upaya
strategis mengenai penanggulangan sebab-sebab timbulnya kejahatan.
Beberapa masalah dan kondisi sosial
yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas
merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata – mata dengan “penal”. Di
sinilah keterbatasan jalur “penal” dan oleh karena itu, harus ditunjang oleh
jalur “nonpenal”. Salah satu jalur “nonpenal” untuk mengatasi masalah – masalah
sosial seperti dikemukakan diatas adalah lewat jalur “kebijakan sosial” (social policy). Yang dalam skema G.P.
Hoefnagels di atas juga dimasukkan dalam jalur “prevention without punishment”.
Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya - upaya rasional
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau
perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas
dari pembangunan.
Salah satu aspek kebijakan sosial
yang kiranya patut mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa
masyarakat (social hygiene), baik secara
individual sebagai anggota masyarakat maupun kesehatan/ kesejahteraan keluarga
(termasuk masalah kesejahteraan anak dan remaja), serta masyarakat luas pada
umumnya. Penggarapan masalah “mental
health”, “national mental health” dan
“child welfare” ini pun dikemukakan dalam skema Hoefnagels di atas sebagai
salah satu jalur “prevention (of crime )
without punishment” (jalur “nonpenal”). Prof. Sudarto pernah juga
mengemukakan, bahwa “kegiatan karang taruna, kegiatan Pramuka dan penggarapan
kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama” merupakan upaya – upaya
nonpenal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan.
Pembinaan dan penggarapan kesehatan
jiwa masyarakat memang tidak berarti semata – mata kesehatan rohani/mental,
tetapi juga kesehatan budaya dan nilai – nilau pandangan hidup masyarakat. Ini
berarti penggarapan kesehatan masyarakat atau lingkungan sosial yang sehat
(sebagai salah satu upaya nonpenal dalam strategi politik kriminal), tidak
hanya harus berorientasi pada pendekatan religius tetapi juga berorientasi pada
pendekatan identitas budaya nasional. Dilihat dari sisi upaya nonpenal ini
berarti, perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan
dan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk mengektifkan dan mengembangkan
“extra legal system” atau “informal and traditional system” yang
ada di masyarakat.
Upaya nonpenal yang paling strategis
adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan
lingkungan hidup yang sehat (secara
materiil dan immateriil) dari faktor – faktor kriminogen. Ini berarti,
masyarakat dengan seluruh potensinya harus dijadikan sebagai faktor penangkal
kejahatan atau faktor “antikriminogen” yang merupakan bagian integral dari
keseluruhan politik kriminal. Disamping upaya – upaya nonpenal dapat ditempuh
dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan mengali
berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya
nonpenal itu digali dari berbagai sumber lainnya yang juga mempunyai potensi
efek-preventif. Sumber lain itu misalnya, media pers/media massa, pemanfaatan
kemajuan teknologi (dikenal dengan istilah “techno-prevention”)
dan pemanfaatan potensi efek-preventif dari aparat penegak hukum. Mengenai yang
terakhir ini, Prof. Sudarto pernah mengemukakan, bahwa kegiatan patroli dari
polisi yang dilakukan secara kontinu termasuk upaya nonpenal yang mempunyai pengaruh
preventif bagi penjahat (pelanggar hukum) potensial. Sehubungan dengan hal ini,
kegiatan razia/operasi yang dilakukan kepolisian di beberapa tempat tertentu
dan kegiatan yang berorientasi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan
komunikatif edukatif dengan masyarakat, dapat pula dilihat sebagai upaya nonpenal
yang perlu diefektifkan.
Tindakan
hukum dikatakan “efektif” ketika perilaku bergerak kearah yang dikehendaki,
ketika subyek patuh atau menurut, banyak tindakan hukum tidak “efektif” dalam pengertian
ini. Orang-orang mengabaikan atau melanggar ketentuan.Lazimnya sanksi dibagi
menjadi dua bagian, imbalan dan hukuman, yakni sanksi positf dan negatif.
Gagasannya adalah bahwa orang-orang yang menjadi subyek hukum akan memilih satu
dan menghindari yang lainnya. Para pembuat hukum berasumsi bahwa sanksi yang
berlabel “hukuman” adalah bersifat menyakitkan dan “imbalan” adalah yang
bersifat menyenangkan, sehingga konsekuensi perilaku yang dikehendaki akan
mengikuti secara otomatis. Bentuk-bentuk hukuman yang lazim dalam hukum pidana
adalah denda dan kurungan. Hukuman fisik atau hukuman jasmaniah lainnya, pada
masa lalu, sering digunakan dalam hukum.
Di
indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembaharuan
masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya ketertiban dalam
pembangunan, merupakan sesuatu yang dipandang penting dan sangat diperlukan.Upaya nonpenal merupakan
kerangka pembangunan hukum nasional yang akan datang (ius constituendum). Pencegahan kejahatan harus mampu memandang
realitas sosial masyarakat, hukum sebagai panglima harus mampu menciptakan
suatu tatanan sosial melalui kebijakan sosial
Pembinaan
bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan – kebutuhan hukum
sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi
menurut tingkat kemajuan pembangunan di
segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai
prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa,
sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang perkembangan modernisasi dan
pembangunan yang menyeluruhpembangunan hukum pada hakikatnya mencakup pembinaan
hukum serta pembaharuan hukum. Pembinaan hukum pada hakikatnya berarti usaha –
usaha untuk lebih menyempurnakan hukum yang sudah ada, sehingga sesuai dengan
perkembangan masyarakat.
Hukum
sesungguhnya merupakan fasilitasi interaksi antara manusia yang bertujuan untuk
mencapai keteraturan kehidupan sosial sehingga kaidah-kaidah hukum yang akan
diterapkan haruslah memiliki kerangka falsafah, nilai kebudayaan dan basis
sosial yang hidup di masyarakat. Satjipto Rahardjo mengatakan, hukum itu
tertanam ke dalam dan berakar dalam masyarakatnya. Setiap kali hukum dan cara
berhukum dilepaskan dari konteks masyarakatnya maka kita akan dihadapkan pada
cara berhukum yang tidak substansil. Hukum itu merupakan pantulan dari
masyarakatnya, maka tidak mudah memaksa rakyat untuk berhukum menurut cara yang
tidak berakar pada nilai-nilai dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat itu. Selalu
ada tarik menarik antara hukum yang berlaku dan diberlakukan dengan
masyarakatnya. Hukum bukan institutif yang steril dar satu skema yang selesai.
Hukum tidak ada di dunia abstrak melainkan juga berada dalam kenyataan
masyarakat.
Optimalisasi jalur non penal sejalan
dengan cita-cita bangsa dan tujuan negara, seperti yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat
Pancasila. Segala bentuk pembangunan harus berangkat dari nilai-nilai
Pancasila, karena pada hakikatnya pancasila merupakan tonggak konvergensi
berbagai gagasan dan pemikiran mengenai dasar falsafah kenegaraan yang
didiskusikan secara mendalam oleh para pendiri negara. Pancasila menjadi
kesepakatan luhur (modus vivendi)
yang kemudian ditetapkan sebagai dasar ideologi negara. Dalam hal ini, upaya
non penal dalam pencegahan tindak pidana merupakan salah satu aspek cita-cita
Pancasila, Pancasila menjadi dasar rasional mengenai asumsi tentang hukum yang
akan dibangun sekaligus sebagai orientasi yang menunjukan kemana bangsa dan
negara harus dibangun.
Susanto, Anthon F, 2004, Wajah Peradilan
Kita, Refika Aditama, Bandung
M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Barda
Nawawi, 2010, Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Cet.Ke-2, Kencana,
Jakarta
Lawrence M.Friedman,
2011, Sistem Hukum, Diterjemahkan
oleh M. Khozim, Cet.ke-4, Nusa Media, Bandung
Soerjono Soekanto,
2007, Hukum Adat di Indonesia, Cet.ke-2,
Rajawali Pers, Jakarta
Satjitpto
Rahardjo, 2009, Hukum dan Prilaku : Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Mahfud MD, “Menguatkan Pancasila Sebagai Dasar Ideologi
Negara”, Dimuat dalam Mahkamah
Konstitusi dan Penguatan Pancasila, Majalah Konstitusi No.52-Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar