Ilmu penalaran atau
logika adalah ilmu dan kecakapan meanalar, berpikir dengan tepat (science and art of correct thinking).
Dengan kata lain ditunjuk sasaran atau bidang logika, yaitu kegiatan pikiran
atau akal budi manusia. dengan berpikir dimaksudkan kegiatan akal untuk
mengolah pengetahuan yang telah kita terima melalui panca indera, dan
ditunjukan untuk mencapai suatu kebenaran. Berpikir adalah bicara dengan
dirinya sendiri didalam batin “ (Plato, Aristoteles) : mempertimbangkan,
merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunjukan alasan-alasan,
menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari berbagai hal yang
berhubungan satu sama lain, mengapa atau untuk apa sesuatu terjadi, serta
membahas suatu realitas.”
Pengetahuan manusia
bermula dari pengalaman-pengalaman konkret, pengalaman sensitivo-rasional:
fakta, objek-objek, kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dilihat
atau dialami. Tetapi akal manusia tidak puas hanya dengan mengetahui fakta
saja. Akal manusia ingin mengerti mengapa sesuatu itu demikian adanya. Maka
manusia bertanya terus dan mencari bagaimana hal-hal yang diketahui itu saling
berhubungan satu dan lainnya, hubungan apa yang terdapat antara gejala-gejala
yang kita alami, bagaimana kejadian yang satu mempengaruhi, menyebabkan atau
ditentukan oleh kejadian yang lain. Mengerti sungguh-sungguh berarti mengerti
bagaimana dan mengapa sesuatu itu demikian.
Kalau
kita bertanya: apa yang kita lihat, maka jawabannya ialah: objek-objek,
barang-barang, fakta: pohon yang tumbang, awan yang tebal, puncak gunung api,
dan sebagainya. Sekarang kita tanya lebih lanjut: apa arti dari fakta yang kita
lihat itu? Mengapa keadaan itu demikian? Apa yang terjadi disana? Apakah ada
hubungan tertentu antara fakta yang dilihat itu? Ini jelas merupakan pertanyaan
lain. Sekarang kita tanyakan penjelasan dari fakta, yaitu apa sebab-sebab
terjadinya fakta tersebut. Disini baru mulai dibutuhkan pemikiran dalam arti
sebenarnya dan dengan segala lika-likunya. Sebab, sangat mungkin kita
sependapat tentang fakta itu sendiri (bahwa memang ada pohon-pohon yang
tumbang, dan sebagainya), tetapi bisa tidak sependapat tentang penjelasan fakta
itu, yaitu mengapa terjadi demikian. Suatu penjelasan yang menunjukan kaitan
atau hubungan antara dua hal atau lebih, yang atas dasar alasan-alasan tertentu
dan dengan langkah-langkah tertentu sampai pada suatu kesimpulan kita sebut
sebagai suatu penalaran/pemikiran/penyimpulan.
Tujuan pemikiran manusia
adalah mencapai pengetahuan yang benar dan sedapat mungkin pasti. Tetapi dalam
kenyataannya hasil pemikiran (=kesimpulan) maupun alasan-alasan yang diajukan
belum tentu selalu benar, benar artinya sesuai dengan kenyataan. Jadi, apabila
yang dipikirkan itu betul-betul demikian, cocok dengan realitas. Salah artinya
tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi, apabila apa yang dipikirkan atau dikatakan
itu tidak cocok dengan realitas yang sebenarnya.
Jadi, ukuran untuk menentukan
apakah suatu pemikiran atau ucapan itu benar atau tidak benar, bukanlah rasa
senang atau tidak senang, enak didengar atau tidak enak didengar, melainkan
cocok atau tidak dengan realitas atau fakta; suatu hal atau peristiwa dibahas
dengan semestinya atau tidak. Misalnya, bila dikatakan : “ini terjadi karena
tanah longsor”, padahal dalam kenyataannya tidak terjadi tanah longsor, maka
ucapan atau penjelasan tersebut tidak benar, alias salah (betapapun saya merasa
yakin atas ucapan tersebut, atau biarpun dikemukakan dengan penuh keyakinan,
dengan suara keras, dan sebagainya). Sebab, faktanya atau kenyataannya tidak
ada tanah longsor ditempat itu.
Begitu pentingnya
berpikir Rane Discrates sampai pada pernyataan, “cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku ada. Berpikir merupakan
sifat manusia, berpikir yang benar-benar berpikir esensi dari realitas yang
ada. Oleh karenanya penalaran merupakan kegiatan setiap manusia, Dalam
rangka memecahkan masalah hukum dengan cepat,
tepat, dan benar, diperlukan bantuan ilmu pendukung/penunjang yang
disebut Penalaran Hukum.
Penalaran hukum dapat
didefinisikan sebagai proses berfikir
secara logis dan analitik pada bidang hokum. Hakim memiliki peran yang sangat
vital dalam menerapkan penalaran hukum, hakim sebagai “wakil tuhan” dalam
penjatuhan hukuman, yang harus memutus berdasarkan hasil pikiran logis ataupun
penalarannya.
Tugas hakim menurut Hakim
Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes Jr., bahwa memutus bukan
semata-mata proses silogisme matematis dan mekanis, namun sebuah makana yang
sangat luas “... the life of the law has
not been logic; it is has been expperience. The felt necessities of the time,
the prevalent moral and political theories, institution of public policy avomed
or unconscious, even the prejudices which judges share with their fellow...”
Holmes juga mengatakan, “The law embodies
the story of a nation’s development through many centuries, and it can not be
dealt with as if it contained only the axioms and corollaries of a book of
mathematics”. Dengan demikian, putusan hakim merupakan cermin dari sikap,
moralitas, serta penalaran.
Sumaryono
mendefinisikan penalaran sebagai sebuah proses mental dimana kita (melalui akal
budi) bergerak dari apa yang telah kita ketahui menuju ke pengetahuan yang baru
(hal yang belum kita kita ketahui). Atau, kita bergerak dari pengetahuan yang
telah kita miliki ke pengetahuan yang baru yang berhubungan dengan
pengetahuan yang telah kita miliki
tersebut. Semua bentuk penalaran selalu bertolak dari sesuatu yang sudah ada atau
sudah kita ketahui. Kita tidak mungkin menalar bertolak dari ketidaktahuan.
Selalu ada sesuatu yang yang tersedia yang kita pergunakan sebagai suatu titik
tolak untuk menalar. Titik tolak tersebut kita namakan “yang telah diketahui”,
yaitu sesuatu yang dapat dijadikan sebagai suatu premis, evidensi, bukti,
dasar, bahkan alasan-alasan darimana hal “yang belum diketahui”, dapat
disimpulkan. Hal yang dapat disimpulkan itulah yang disebut konklusi. Inilah
kiranya yang merupakan alasan mengapa penalaran dapat juga didefinisikan
sebagai “berpikir konklusif”, “berpikir untuk menarik kesimpulan”.
Jadi,
penyimpulan dapat dimengerti sebagai sebuah proses mental dimana kita bergerak
dari satu proposisi atau lebih menuju ke proposisi lain yang mempunyai hubungan
dengan proposisi yang sebelumnya. Ini merupakan proses penggabungan sejumlah
proposisi baru, yaitu konklusi, dapat diturunkan darinya, dengan kata lain,
inilah yang merupakan sebuah proses penarikan kesimpulan dari sebuah premis
atau kombinasi sejumlah premis.
J.A. Pontier dalam
bukunya rechtvinding berpendapat
bahwa penalaran merupakan bagian dari penemuan hukum, Penemuan hukum diarahkan
pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan – pertanyaan tentang hukum yang
ditimbulkan oleh kejadian - kejadian konkret. Undang – undang yang berasal dari
organ (badan, lembaga) otoritas publik yang berwenang melakukan pembentukan
aturan, hukum yang tertulis, adalah
bukan satu – satunya hukum yang mempunyai arti sebagai sumber hukum. Juga pada
hukum yang tidak tertulis dapat diberikan arti. Yang dipandang sebagai aturan –
aturan hukum tidak tertulis adalah aturan – aturan yang disimpulkan dari
kecermatan kemasyarakatan, pandangan tentang pergaulan antara sesama warga
masyarakat, pandangan – pandangan tentang moral dan kesopanan dan pandangan –
pandangan tentang kewajaran dan kelayakan. Penemuan hukum merupakan keharusan
oleh hakim, dalam penemun hukum ini penalaran merupakan proses yang harus
dilakukan, penalaran hukum adalh kegiatan hakim dalam penemuan hukum, bagaimana
menerapkan hukum pada kejadian-kejadian konkret, guna mencapai suatu kebenaran.
Kualitas dan kredibilitas seorang hakim ditentukan oleh putusan yang dibuatnya,
sebagaimana ungkapan bahwa mahkota atau wibawa hakim terletak pada putusannya.
Kewibawaan hakim akan luntur dengan sendirinya kalau putusan-putusannya tidak
berpihak lagi kepada nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Berkenaan dengan sebuah
sengketa tertentu, hakim dapat melihat (membayangkan) suatu penyelesaian yang
tidak bertumpu pada penerapan aturan yang sederhana. Dapat saja terjadi bahwa
hakim pada pandangan pertama mengenali keadaan fakta-fakta (feitenbestand) seperti fakta-fakta yang diuraikan dalam sebuah
aturan undang-undang. Kejadian konkret itu memperlihatkan kesamaan dengan
kejadian yang diuraikan dalam aturan undang-undang itu. Namun pada penelaahan
lebih jauh tampak adanya sejumlah unsur yang ternyata tidak sama. Kejadian
konkret itu juga tidak diuraikan dalam aturan-aturan yang lain. Dengan
demikian, maka hakim dapat saja berpendapat bahwa kejadian konkret itu
jelas-jelas tidak memerlukan pengaturan yuridik atau bahwa undang-undang
menunjukan adanya kekosongan (leemte).
Jika sekarang hakim meletakkan titik berat pada unsur-unsur yang sama dan dari
dalamnya menyimpulkan bahwa akibat-akibat hukum dari aturan itu juga harus
terjadi dalam kejadian yang terhadapnya harus diberikan putusan, maka orang
mengatakan bahwa hakim itu melakukan suatu penerapan analogikal (argumentum per analogiam) atas aturan
tersebut. Didalam peradilan, bentuk penalaran ini biasanya tidak dipaparkan
secara utuh, melainkan secara singkat saja ditetapkan bahwa disitu telah
terjadi penerapan analogikal.
E. Sumaryono, 1999, Dasar-dasar
Logika, Kanisius, Yogyakarta
Eman Suparman, dalam Makna Hukum dan Tugas Hakim (Problematik
hukum dan etika-sebuah pendekatan konseptual), Konggres Ilmu Hukum
“Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia”, tanggal 19-20 Oktober 2012,
Semarang.
J. A. Pontier, 2008, Penemuan Hukum, Penerjemah B. Arief Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung.
Jazim
Hamidi, 2012, Materi Kuliah Penalaran
Hukum, Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang.
W. Poespoprodjo dan E.K.T. Gilarso,
2011, Logika Ilmu Menalar, Cet.ke-IV, Pustaka Grafika, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar