MEMAHAMI HUKUM SECARA HOLISTIK
Oleh: Taufan, S.H.,M.H
Pemahaman hukum apabila berhenti pada pemahaman norma
hukum(normwissenschaft) maka hukum akan mengalami suatu kemandekan.
Praktek hukum di Indonesia saat ini masih didominasi oleh positivisme hukum.
Hukum yang seharusnya merepresentasikan nilai-nilai masyarakat yang tercermin
dalam Ideologi Pancasila beralih kepada produk politik Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) yang sarat dengan kepentingan partai politik. Hukum tidak lagi berasal
dari masyarakat, pengaruhnya adalah hukum tidak mampu dan tidak efektif dalam
menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, sudah menjadi “patologi”
bangsa ini dalam keterlambatan hukum membaca perkembangan perilaku manusia dan arah
pola pikir manusia, hukum di Indonesia selalu terlambat membaca arah
pertumbuhan dan perkembangan manusia, kemajuan yang pesat seringkali
menimbulkan kekaburan, pertentangan ataupun kekosongan hukum, yang seharusnya
tidak dipermasalahkan, keterlamabatan hukum itu seharusnya dijadikan sebuah
momentum untuk memberikan peran yang lebih terhadap para penegak hukum, yang
lebih tepatnya apabila mengutip pendapat Prof.Satjipo Rahardjo, penegak hukum
seperti polisi, jaksa, maupun hakim harus bertindak progresif, menerobos
positivisme hukum (rule breaking) untuk mencapai suatu
keadilan maupun kemanfaatan hukum.Polisi memiliki kewenangan diskresi yang bisa
dioptimalkan, dengan memperhatikan batasan-batasan nilai moral masyarakat,
jaksa juga memiliki hak deponeering yang seharusnya bisa
digunakan, dan juga hakim dapat menerapkan metode penemuan hukum (rechtvinding) yang
oleh undang-undang juga diberikan kewenangan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, peraturan perundang-undangan
tidak lengkap dan tidak jelas, kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas,
tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu
peraturan perundang – undangan dengan tuntas dan jelas. Senada dengan itu,
Satjipto Rahardjo berpendapat, dalam sejarah dijumpai munculnya bentuk – bentuk
kejahatan baru yang tidak siap dihadapi oleh perundang – undangan yang ada.
Beliau berpendapat, salah satu sifat penting dari hukum tertulis terletak pada
kekakuanya (Lex dura sed tamen scripta – hukum itu keras/kaku,
tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi
dokumen tertulis, maka perhatian bergeser kepada pelik – pelik pengunaannya
sebagai sebuah dokumen tertulis. Lebih jauh beliau mengatakan hukum,
perundang – undangan, atau peraturan pada umumnya dirancang berdasarkan asumsi
– asumsi tertentu.
Sulit ditemui penegak hukum yang menggunakan moralnya
untuk membaca teks hukum, untuk itu disamping memerlukan penegak hukum yang
jujur, maka penegak hukum juga harus berani, berani mengutamakan kemanfaatan
dan keadilan diatas kepastian hukum, serta berani melawan kepentingan. Harus
diakui, memang praktik peradilan kita terlalu kaku, dalam artian masih menganut
asas legalitas yang menjadi ciri utama aliran positivis, “ Nullum
delictum, nulla poena sine praevia lege punali ”, dimana segala
perbuatan tidak dapat dipidana sebelum ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur.
Undang – undang yang berasal dari organ (badan,
lembaga) otoritas publik yang berwenang melakukan pembentukan aturan, hukum
yang tertulis, adalah bukan satu – satunya hukum yang mempunyai arti
sebagai sumber hukum. Juga pada hukum yang tidak tertulis dapat diberikan
arti. Yang dipandang sebagai aturan – aturan hukum tidak tertulis adalah
aturan – aturan yang disimpulkan dari kecermatan kemasyarakatan, pandangan
tentang pergaulan antara sesama warga masyarakat, pandangan – pandangan tentang
moral dan kesopanan dan pandangan – pandangan tentang kewajaran dan kelayakan.
Kepentingan dari sebuah pelaksanaan peradilan yang baik yang bertumpu
pada kebenaran kadang – kadang harus dikesampingkan demi kepentingan
kepentingan kemasyarakatan yang lain.
Hukum di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai
kepentingan, seperti yang dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman, ada tiga yang
mempengaruhi keberlakuan hukum, yaitu substansi, struktur dan kultur. Tentunya seluruh
masyarakat sudah tahu, bahwa struktur penegak hukum kita merupakan faktor utama
yang menjadi penyebab terhambatnya pencapaian keadilan, keteraturan akan
semakin jauh apabila struktur hukum tidak mampu memahami substansi hukum,
struktur hukum di Indonesia harus diakui masih memahami hukum sebatas
perundang-undangan tertulis, sistem pendidikan hukumpun menawarkan hukum
sebatas norma, sehingga hasil dari pendidikan hukum yang normatif ini membawa
pengaruh terhadap struktur hukum yang normatif pula. Keresahan ini yang
menjadikan Prof. Satjipto Rahardjo mengembangkan pemikiran hukum progresif.
Dalam pembangunan hukum, upaya pencapaian penegakan
hukum tidak terbatas pada adanya aturan yang bersifat normatif saja, sejak
hukum itu memasuki era hukum tertulis yang menjadi salah satu ciri hukum
modern, panggung hukum berubah menjadi panggung hukum tertulis dan menjadi
sebuah skema. Hukum sebagai skema adalah hukum sebagaimana dijumpai dalam teks
atau perundang – undangan atau hukum yang dirumuskan dengan sengaja secara
rasional, disini hukum sudah mengalami pergeseran bentuk dari hukum yang muncul
secara serta merta (interactional law) menjadi hukum yang
dibuat dan diundangkan (legislatet law).
Pengakuan terhadap hukum yang holistik akan membawa
implikasi pemikiran yang obyektif, memberikan ruang terhadap hukum-hukum yang
tidak dilirik oleh para legislatif yaitu kearifan lokal (local wisdom). Konsitusi
telah mengakui kearifan lokal dan masyarakat adat sebagai bagian dari hukum
nasional dalam pasal 18H UUD RI 1945, walaupun mempunyai tendensi
mengenyampingkannya. Setelah amandemen pengakuan terhadap kearifan lokal
mengalami pergeseran bentuk yang terkesan mematikan perlahan hukum adat. Hukum
negara (State Law) memang sangat mendominasi hukum nasional kita
yang bisa disebut legal centralism. Pluralisme hukum (Legal
pluralism) menjadi wacana yang terpinggirkan, masih kalah perkasa oleh
keperkasaan state law.
Pluralisme Hukum adalah suatu keniscayaan, sementara
sentralisme hukum merupakan suatu mitos, utopia, klaim, bahkan ilusi. Namun tak
dapat disangkal bahwa ideologi sentralisme hukum telah begitu menguasai alam
pikiran para ahli hukum dan ahli kajian sosial. Ideologi ini telah,
menina-bobokan mereka, hingga para ahli tersebut menjadikan sentalisme hukum
sebagai pijakan dasar dalam pengembangan teori hukum dan kajian sosial.
Fungsi hukum ialah memelihara kepentingan umum dalam
masyarakat, menjaga hak – hak manusia, mewujudkan keadilan dalam hidup bersama.
Ketiga tujuan ini tidak saling bertentangan, tetapi merupakan pengisian satu
konsep dasar, yakni bahwa manusia harus hidup dalam suatu masyarakat, dan bahwa
masyarakat itu harus diatur dengan baik. Namun, Otoritas positivisme
hukum akan mengakibatkan pencapaian keadilan dan kemanfaatan semakin jauh,
positivisme hukum seharusnya diimbangi oleh penghargaan terhadap nilai-nilai
masyarakat, karena pandangan yang parsial akan mengakibatkan ketimpangan,
pemahaman hukum harus secara holistik, tidak mengaburkan nilai-nilai dari mana
hukum itu berada, karena hukum ada karena adanya masyarakat, ibi
societas ibi ius.
Referensi :
Sudikno Mertokusumo, 2010, Penemuan Hukum, Universitas
Atmajaya, Jogjakarta.
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakkan Hukum Progresif, Kompas,
Jakarta.
J. A. Pontier, 2008, Penemuan Hukum, Penerjemah B. Arief
Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung.
John Griffiths, 2005, Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi
Konseptual, dalam Pluralisme Hukum : Sebuah Pendekatan
Interdisiplin, Huma, Jakarta.
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah,
Kanisius, Bandung.