Kamis, 12 September 2013

HUKUM PROGRESIF

MEMAHAMI HUKUM SECARA HOLISTIK

Oleh: Taufan, S.H.,M.H
         
Pemahaman hukum apabila berhenti pada pemahaman norma hukum(normwissenschaft) maka hukum akan mengalami suatu kemandekan. Praktek hukum di Indonesia saat ini masih didominasi oleh positivisme hukum. Hukum yang seharusnya merepresentasikan nilai-nilai masyarakat yang tercermin dalam Ideologi Pancasila beralih kepada produk politik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sarat dengan kepentingan partai politik. Hukum tidak lagi berasal dari masyarakat, pengaruhnya adalah hukum tidak mampu dan tidak efektif dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, sudah menjadi “patologi” bangsa ini dalam keterlambatan hukum membaca perkembangan perilaku manusia dan arah pola pikir manusia, hukum di Indonesia selalu terlambat membaca arah pertumbuhan dan perkembangan manusia, kemajuan yang pesat seringkali menimbulkan kekaburan, pertentangan ataupun kekosongan hukum, yang seharusnya tidak dipermasalahkan, keterlamabatan hukum itu seharusnya dijadikan sebuah momentum untuk memberikan peran yang lebih terhadap para penegak hukum, yang lebih tepatnya apabila mengutip pendapat Prof.Satjipo Rahardjo, penegak hukum seperti polisi, jaksa, maupun hakim harus bertindak progresif, menerobos positivisme hukum (rule breaking) untuk mencapai suatu keadilan maupun kemanfaatan hukum.Polisi memiliki kewenangan diskresi yang bisa dioptimalkan, dengan memperhatikan batasan-batasan nilai moral masyarakat, jaksa juga memiliki hak deponeering yang seharusnya bisa digunakan, dan juga hakim dapat menerapkan metode penemuan hukum (rechtvinding) yang oleh undang-undang juga diberikan kewenangan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, peraturan perundang-undangan tidak lengkap dan tidak jelas, kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu peraturan perundang – undangan dengan tuntas dan jelas. Senada dengan itu, Satjipto Rahardjo berpendapat, dalam sejarah dijumpai munculnya bentuk – bentuk kejahatan baru yang tidak siap dihadapi oleh perundang – undangan yang ada. Beliau berpendapat, salah satu sifat penting dari hukum tertulis terletak pada kekakuanya (Lex dura sed tamen scripta – hukum itu keras/kaku, tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, maka perhatian bergeser kepada pelik – pelik pengunaannya sebagai sebuah dokumen tertulis. Lebih jauh beliau mengatakan hukum, perundang – undangan, atau peraturan pada umumnya dirancang berdasarkan asumsi – asumsi tertentu.
Sulit ditemui penegak hukum yang menggunakan moralnya untuk membaca teks hukum, untuk itu disamping memerlukan penegak hukum yang jujur, maka penegak hukum juga harus berani, berani mengutamakan kemanfaatan dan keadilan diatas kepastian hukum, serta berani melawan kepentingan. Harus diakui, memang praktik peradilan kita terlalu kaku, dalam artian masih menganut asas legalitas yang menjadi ciri utama aliran positivis, “ Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege punali ”, dimana segala perbuatan tidak dapat dipidana sebelum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur.
Undang – undang yang berasal dari organ (badan, lembaga) otoritas publik yang berwenang melakukan pembentukan aturan, hukum yang  tertulis, adalah bukan satu – satunya hukum yang mempunyai arti sebagai sumber hukum. Juga pada hukum yang tidak tertulis dapat diberikan arti. Yang dipandang sebagai aturan – aturan hukum tidak tertulis adalah aturan – aturan yang disimpulkan dari kecermatan kemasyarakatan, pandangan tentang pergaulan antara sesama warga masyarakat, pandangan – pandangan tentang moral dan kesopanan dan pandangan – pandangan tentang kewajaran dan kelayakan. Kepentingan dari sebuah pelaksanaan peradilan yang baik yang bertumpu  pada kebenaran kadang – kadang harus dikesampingkan demi kepentingan kepentingan kemasyarakatan yang lain.
Hukum di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, seperti yang dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman, ada tiga yang mempengaruhi keberlakuan hukum, yaitu substansi, struktur dan kultur. Tentunya seluruh masyarakat sudah tahu, bahwa struktur penegak hukum kita merupakan faktor utama yang menjadi penyebab terhambatnya pencapaian keadilan, keteraturan akan semakin jauh apabila struktur hukum tidak mampu memahami substansi hukum, struktur hukum di Indonesia harus diakui masih memahami hukum sebatas perundang-undangan tertulis, sistem pendidikan hukumpun menawarkan hukum sebatas norma, sehingga hasil dari pendidikan hukum yang normatif ini membawa pengaruh terhadap struktur hukum yang normatif pula. Keresahan ini yang menjadikan Prof. Satjipto Rahardjo mengembangkan pemikiran hukum progresif.
Dalam pembangunan hukum, upaya pencapaian penegakan hukum tidak terbatas pada adanya aturan yang bersifat normatif saja, sejak hukum itu memasuki era hukum tertulis yang menjadi salah satu ciri hukum modern, panggung hukum berubah menjadi panggung hukum tertulis dan menjadi sebuah skema. Hukum sebagai skema adalah hukum sebagaimana dijumpai dalam teks atau perundang – undangan atau hukum yang dirumuskan dengan sengaja secara rasional, disini hukum sudah mengalami pergeseran bentuk dari hukum yang muncul secara serta merta (interactional law) menjadi hukum yang dibuat dan diundangkan (legislatet law).
Pengakuan terhadap hukum yang holistik akan membawa implikasi pemikiran yang obyektif, memberikan ruang terhadap hukum-hukum yang tidak dilirik oleh para legislatif yaitu kearifan lokal (local wisdom). Konsitusi telah mengakui kearifan lokal dan masyarakat adat sebagai bagian dari hukum nasional dalam pasal 18H UUD RI 1945, walaupun mempunyai tendensi mengenyampingkannya. Setelah amandemen pengakuan terhadap kearifan lokal mengalami pergeseran bentuk yang terkesan mematikan perlahan hukum adat. Hukum negara (State Law) memang sangat mendominasi hukum nasional kita yang bisa disebut legal centralism. Pluralisme hukum (Legal pluralism) menjadi wacana yang terpinggirkan, masih kalah perkasa oleh keperkasaan state law.
Pluralisme Hukum adalah suatu keniscayaan, sementara sentralisme hukum merupakan suatu mitos, utopia, klaim, bahkan ilusi. Namun tak dapat disangkal bahwa ideologi sentralisme hukum telah begitu menguasai alam pikiran para ahli hukum dan ahli kajian sosial. Ideologi ini telah, menina-bobokan mereka, hingga para ahli tersebut menjadikan sentalisme hukum sebagai pijakan dasar dalam pengembangan teori hukum dan kajian sosial.
Fungsi hukum ialah memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak – hak manusia, mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Ketiga tujuan ini tidak saling bertentangan, tetapi merupakan pengisian satu konsep dasar, yakni bahwa manusia harus hidup dalam suatu masyarakat, dan bahwa masyarakat itu harus diatur dengan baik. Namun, Otoritas positivisme hukum akan mengakibatkan pencapaian keadilan dan kemanfaatan semakin jauh, positivisme hukum seharusnya diimbangi oleh penghargaan terhadap nilai-nilai masyarakat, karena pandangan yang parsial akan mengakibatkan ketimpangan, pemahaman hukum harus secara holistik, tidak mengaburkan nilai-nilai dari mana hukum itu berada, karena hukum ada karena adanya masyarakat, ibi societas ibi ius.



Referensi :
Sudikno Mertokusumo, 2010, Penemuan Hukum, Universitas Atmajaya, Jogjakarta.
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakkan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta.
J. A. Pontier, 2008, Penemuan Hukum, Penerjemah B. Arief Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung.
John Griffiths, 2005, Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual, dalam Pluralisme Hukum : Sebuah Pendekatan Interdisiplin, Huma, Jakarta.
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Bandung.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar