Sejak
tahun 1901, didalam KUHP Belanda telah ditambahkan beberapa ketentuan pidana
yang baru khusus mengatur masalah tindak pidana anak yang dilakukan oleh anak –
anak beserta akibat hujumnya. Ketentuan – ketentuan pidana itu oleh para
penulis Belanda disebut sebagai hukum pidana anak. Ternyata ketentuan –
ketentuan pidana tersebut hanya sebagian saja telah dimasukan kedalam KUHP,
sebagaimana diatur dalam pasal – pasal 45, 46, dan 47 KUHP.Sebelum lahir Undang – undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, hukum pidana
anak diatur dalam KUHP hanya meliputti tiga pasal tersebut diatas, sedangkan
Undang – undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya sedikit sekali menyinggung tentang anak, yaitu pasal 153
(3), 153 (5), 171 sub a.
Surat
Kejaksaan Agung kepada Mahkamah Agung No.P.1/20, tanggal 30 Maret 1951
menjelaskan bahwa Anak Nakal adalah mereka yang menurut hukum pidana melakukan
perbuatan yang dapat dihukum yang belum berusia 16 (enam belas) tahun. Dalam
surat ini, Jaksa Agung menekankan bahwa menghadapkan anak – anak kedepan
pengadilan, hanya sebagai langkah terakhir (ultimum
remedium). Bagi anak nakalm masih dimunginkan ada penyelesaian lain yang
dipertimbangkan secara masak faedahnya. Lembaga yang dianggap tepat untuk
menyelesaikan hal ini adalah Kantor Pejabat Sosial dan Pro Juventute. Pro Juventute
didirikan pada tahun 1957 oleh Departemen Kehakiman yang selanjutnya bernama
Pra Yuwana.
Tahun
1979 bertepatan dengan peringatan ulang tahun ke-20 Deklarasi Hak - Hak Anak
dicanangkan sebagai Tahun Anak
Internasional, Pemerintah Polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen
yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan
mengikat secara yuridis. Indonesia menyambut baik resolusi tersebut dengan
melahirkan Undang - undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Lahirnya
Undang – undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
menjadi acuan pertama peradilan terhadap anak nakal, selain itu undang – undang
ini ditujukan untuk memperbaiki hukum pidana anak di Indonesia, agar putusan
pengadilan anak menjadi lebih baik dan bekualitas, karena putusan hakim akan
mempengaruhi kehidupan anak dimasa yang akan datang. Apabila dikaji dasar pertimbangan
sosiologis maupun filofofis dibentuknya undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, antara lain karena disadari bahwa anak merupakan
generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, serta sebagai sumber daya insansi
bagi pembangunan nasional. Atas dasar hal itu, terhadap anak diperlukan
pembinaan yang terus menerus baik fisik, mental, maupun kondisi sosialnya,
serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan
bangsa di masa depan.Termasuk, munculnya fenomena
penyimpangan perilaku di kalangan anak,
bahkan perbuatan melanggar hukum yang dapat merugikan baik bagi dirinya
sendiri, maupun masyarakat.
Menurut
Soedarto “pemidanaan anak meliputi segala aktifitas pemeriksaan dan pemutusan
perkara yang menyangkut kepentingan anak”. Menurut analisis sejarah Eropa dan
Amerika, ikut campurnya pengadilan dalam kehidupan anak dan keluarga ditujukan
kepada menanggulangi keadaan buruk, seperti kriminalitas anak dan terlantarnya
anak.
Peradilan
pidana anak meliputi: (1) sebelum sidang peradilan; (2) selama pada saat sidang
peradilan; (3) setelah sidang peradilan. Perlindungan anak adalah suatu usaha
untuk melindungi anak agar anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara
seimbang dan manusiawi. Perwujudannya berupa pembinaan, pembimbingan,
pendampingan, penyertaan, pengawasan, pencegahan, pengaturan, penjaminan yang
edukatif yang mendidik konstruktif, integratif, kreatif yang positif dan usaha
ini tidak mengabaikan aspek – aspek mental, fisik dan sosial anak.
Tindak pidana anak atau anak
nakal batas usia pertanggungjawaban pidana anak, sesuai pasal 1 Undang – undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Pasal 1
Dalam Undang - undang ini yang
dimaksud dengan :
1. Anak
adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan)
tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
kawin.
Yang
dimaksud dengan batas umur minimum seorang anak dapat dipertanggungjawabkan
atas tindak pidana yang dilakukannya, yaitu batas umur minimum seorang anak
dapat dituntut dan diajukan dimuka sidang pengadilan dan dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang melanggar peraturan pidana.
Dalam
Pasal 1 ayat 2, dijelaskan mengenai anak nakal :
2. Anak Nakal adalah :
a. anak yang melakukan tindak pidana;
atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturanperundang-undangan maupun
menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, sistem peradilan pidana terhadap anak nakal berbeda dengan sistem
peradilan pidana orang dewasa, di Indonesian juga terdapat kekhususan, dalam
hal hukum acaranya, anak yang diduga melakukan tindak pidana dilakukan penahaanan
ditempat yang berbeda dengan orang dewasa, ini bertujuan agar tidak terpengaruh
orang dewasa, karena anak – anak cenderung meniru dan cepat mempelajari hal
yang tidak diketahuinya. Sesuai pasal 1, Penyidik yang melakukan penyidikan
terhadap anak adalah penyidik anak, Penuntut Umum adalah penuntut umum anak,
Hakim adalah hakim anak (maupun hakim banding dan kasasi). Dalam pasal 6
disebutkan : Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas
lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas, serta Pasal 8
(1) Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup, tujuannya adalah agar
anak lebih rileks dan tidak tertekan secara mental / psikologis serta bersedia
menceritakan kejadian / hal yang di alami / diketahuinya.
Dalam pemeriksaan anak nakal, Penyidik
wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan, proses penyidikan
terhadap perkara Anak Nakal wajib dirahasiakan (Pasal 42)
Pengadilan yang berwenang mengadili
kasus anak adalah Pengadilan Anak, Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan
kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum (Pasal 2 UUPA), artinya
bahwa Pengadilan Anak itu adalah bagian dari Badan Peradilan Umum yaitu
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi untuk memeriksa perkara anak nakal dan
bermuara pada Mahkamah Agung sebagai Lembaga Peradilan Tertinggi. Undang –
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan landasan
kerangka hukum Indonesia. Pasal 10 ayat (1) Undang – undang Nomor 4 Tahun 2004
menentukan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dalam pasal 23 dan pasal 24 dapat
dijatuhkan pidana atau tindakan terhadap anak nakal :
Pasal 23
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan
kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat
dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.
(3) Selain pidana pokok sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana
tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti
rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan
tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 24
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan
kepada Anak Nakal ialah :
a. mengembalikan kepada orang tua,
wali, atau orang tua asuh;
b. menyerahkan kepada negara untuk
mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau
c. menyerahkan kepada Departemen
Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang
pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang
ditetapkan oleh Hakim.
Pasal 25
(1) Terhadap Anak Nakal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(2) Terhadap Anak Nakal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf b, Hakim menjatuhkan tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24.
Masa
penahanan terhadap anak yang melakukan tindak pidana lebih singkat (pasal
44-49), hukumannya lebih ringan, maksimum hukuman 10 tahun (pasal 22-32). Peran
petugas Kemasyarakatan yang terdiri dari Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja
Sosial dan Pekerja Sosial Sukarela dari Organisasi Sosial Kemasyarakatan,
berperan penting dalam peradilan anak (pasal 34-39).
Sistem
peradilan pidana anak di Indonesia terhadap anak berbeda dengan sistem
peradilan pidana orang dewasa, tentunya disini ada perbedaan tujuan atau
sasaran tertentu yang ingin dituju dari peradilan pidana terhadap anak, seperti
yang tercantum dalam pertimbangan lahirnya Undang – undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, peradilan pidana anak bertujuan : Bahwa untuk
melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan
dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih
mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan
pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.
Hukum
pidana untuk anak yang diatur dalam Undang - undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak dianggap belum memberikan perlindungan kepada anak yang
berkonflik dengan hukum. Tujuan dan dasar pemikiran dari peradilan pidana anak
tidak dapat dilepaskan dari tujuan utama mewujudkan kesejahteraan anak yang
pada dasarnya merupakan bagian integral dari kesejahteraan sosial.
Penerapan
hukum pidana untuk menanggulangi anak nakal sampai saat ini belum mempunyai
pengaruh yang sangat signifikan terhadap menurunnya tingkat kenakalan anak di
Indonesia. Melihat fakta yang ada, tampaknya esensi dikeluarkannya undang - undang
Pengadilan Anak sebagai wujud perlindungan terhadap anak bermasalah sangat jauh
dari apa yang diharapkan.
Lady Wotton,
menyatakan tujuan dari hukum pidana untuk mencegah terjadinya perbuatan - perbuatan
yang dapat merusak masyarakat dan bukanlah untuk membalas kejahatan yang telah
dilakukan pembuat dimasa yang lampau akan doktrin yang telah berlaku secara
konvensional ini telah menempatkan mens rea ditempat yang salah.
Marlina,
menyatakan tujuan dari hukum pidana anak adalah untuk menyembuhkan kembali
keadaan kejiwaan anak yang telah terguncang akibat perbuatan pidana yang telah
dilakukannya. Jadi tujuan pidana tidak semata-mata menghukum anak yang sedang
bersalah, akan tetapi membina dan menyadarkan kembali anak yang telah melakukan
kekeliruan aatau telah melakukan perbuatan menyimpang. Hal ini penting
mengingat bahwa apa yang telah dilakukannya perbuatan salah yang melanggar hukum.
Untuk itu penjatuhan pidana bukanlah satu - satunya upaya untuk memproses anak
yang telah melakukan tindak pidana.
Mewujudkan
kesejahteraan anak, menegakkan keadilan merupakan tugas pokok badan peradilan
menurut Undang – undang. Peradilan tidak hanya mengutamakan penjatuhan pidana
saja, tetapi juga perlindungan bagi masa depan anak, merupakan sasaran yang
dicapai oleh Peradilan Pidana Anak. Filsafat Peradilan Anak adalah untuk
mewujudkan kesejahteraan anak, sehingga terdapat hubungan erat antara Peradilan
Pidana Anak dengan Undang – undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak. Peradilan Pidana Anak hendaknya memmsberi pengayoman, bimbingan,
pendidikan melalui putusan yang dijatuhkan. Aspek perlindungan anak dalam Peradilan Pidana Anak ditinjau dari segi
psikologi bertujuan agar anak terhindar kekerasan, ketelantaran, penganiayaan,
tertekan, perlakuan tidak senonoh, kecemasan dan sebagainya.
Made Sadhi
Astuti, 1997, Pemidanaan terhadap Anak
sebagai pelaku Tindak Pidana, IKIP, Malang
Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Anak dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung
Nurini,
Bahan Kuliah Hukum Pidana Anak, Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya
Roeslan Saleh, 1982, Pertanggung
Jawaban Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,Jakarta
Marlina, 2009, Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, Refika Aditama,Bandung
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak