Jumat, 12 Oktober 2012

DISKRESI KEPOLISIAN


Dalam sistem peradilan pidana pemidaan itu bukanlah merupakan tujuan akhir dan bukan pula merupakan satu - satunya cara untuk mencapai tujuan pidana atau tujuan sistem peradilan pidana. Banyak cara dapat ditempuh, dapat menggunakan hukum pidana maupun dengan cara diluar hukum pidana atau diluar pengadilan.Secara umum, hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.
Diskresi sebagai salah satu wewenang yang diberikan kepada Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI)  merupakan upaya pencapaian penegakan hukum, dan diskresi merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri. Di dalam Undang – undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia maupun Undang - undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, terdapat wewenang - wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk bertindak lain menurut penilaiannya sendiri.
Di negara Belanda mengenai wewenang Kepolisian dinyatakan dengan tegas oleh pengadilan tertinggi Hooge Raad dalam arrestnya pada tanggal 19 Maret 1917 bahwa tindakan polisi dapat dianggap rechmatig (sah) walaupun tanpa : “Speciale wettelijke machtinging” (pemberian kekuasaan secara khusus oleh undang - undang ) dengan pembatasan harus didasarkan kepada wewenang umum (elgemene bevoegdhied) dan harus termasuk lingkungan kewajiban - kewajiban (plichmatigheid) dari pada si petugas itu.
Di Indonesia tercantum dalam Undang – undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia pasal 18, disebutkan :
(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang – undangan, serta kode etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Wewenang untuk melakukan tindakan yang diberikan kepada POLRI umumnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu : wewenang - wewenang umum yang mendasarkan tindakan yang dilakukan polisi dengan azas Legalitas dan Plichmatigheid yang sebagian bersifat preventif dan yang kedua adalah wewenang khusus sebagai wewenang untuk melaksanakan tugas sebagai alat negara penegak hukum khususnya untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, dimana sebagian besar bersifat represif.
Unsur – unsur kewajiban sebagai syarat agar tindakan itu dianggap sah yang kemudian dikenal sebagai 4 (empat ) prinsip plichtmatigheid yang terdiri dari :
a. Notwendigkeit yaitu menginginkan adanya tindakan yang betul – betul diperlukan, tetapi juga tidak boleh dari pada apa yang seharusnya menurut kewajiban si petugas.
b. Sachlichkeit menghendaki tindakan yang zakelijk, menurut ukuran - ukuran Kepolisian tidak boleh didorong oleh motif - motif perorangan.
c.   Zweckmussingkeit ingin tindakan - tindakan yang betul - betul mencapai tujuan. Tindakan manakah dari sekian jumlahnya alternatif tidak menjadi soal, asas tujuan dapat dicapai.
d.   Verhathism assighheit menghendaki adanya keseimbangan antara cara atau alat yang dipergunakan dengan obyek dari pada tindakan, ini dilakukan agar yang ditindak tidak lebih menderita dari pada apa yang seperlunya saja.
Didalam hukum positif atau perundang – undangan tidak disebutkan secara rinci tindakan lain polisi, tetapi dalam tindakannya itu polisi dibatasi oleh undang – undang, menjadi hal yang dilematis bagi polisi, disatu sisi bertujuan mencari keadilan tetapi disatu sisi lain harus tetap mengikuti arah hukum, sehingga polisi berubah fungsi menjadi robot pemerintah, bertindak adil yang kadang terbentur nleh hukum tertulis.
Pemberian diskresi kepada polisi menurut Chambliss dan Seidman pada hakekatnya bertentangan dengan negara yang didasarkan pada hukum. Diskresi ini menghilangkan kepastian terhadap apa yang akan terjadi. Tetapi suatu tatanan dalam masyarakat yang sama sekali dilandaskan pada hukum juga merupakan suatu ideal yang tidak akan dapat dicapai. Di sini dikehendaki, bahwa semua hal dan tindakan diatur oleh peraturan yang jelas dan tegas, suatu keadaan yang tidak dapat dicapai.
Dengan dimilikinya kekuasaan diskresi oleh polisi maka polisi memiliki kekuasaan yang besar karena polisi dapat mengambil keputusan dimana keputusannya bisa diluar ketentuan perundang-undangan, akan tetapi dibenarkan atau diperbolehkan oleh hukum. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Samuel Walker bahwa: ”Satu hal yang dapat menjelaskan berkuasanya kepolisian atau lembaga lain dalam melaksanakan tugas, yaitu adanya diskresi atau wewenang yang diberikan oleh hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas sendiri”.
Sekalipun polisi dalam melakukan diskresi terkesan melawan hukum, namun hal itu merupakan jalan keluar yang memang diberikan oleh hukum kepada polisi guna memberikan efisiensi dan efektifitas demi kepentingan umum yang lebih besar, selanjutnya diskresi memang tidak seharusnya dihilangkan. Hal ini seperti pendapat yang dikemukakan oleh Anthon F. Susanto bahwa diskresi tidak dapat dihilangkan dan tidak seharusnya dihilangkan. Diskresi merupakan bagian integral dari peran lembaga atau organisasi tersebut. Namun, diskresi bisa dibatasi dan dikendalikan, misalnya dengan cara diperketatnya perintah tertulis serta adanya keputusan terprogram yang paling tidak mampu menyusun dan menuntut tindakan diskresi. Persoalannya, keputusan-keputusan tidak terprogram sering muncul dan membuka pintu lebar - lebar bagi pengambilan diskresi.
Meskipun diskresi dapat dikatakan suatu kebebasan dalam mengambil keputusan, akan tetapi hal itu bukan hal yang sewenang-wenang dapat dilakukan oleh polisi. Menurut Skolnick adalah keliru untuk berpendapat, bahwa diskresi itu disamakan begitu saja dengan kesewenang - wenangan untuk bertindak atau berbuat sekehendak hati polisi.
Tindakan yang diambil oleh polisi menurut Skolnick bahwa, Tindakan yang diambil oleh polisi didasarkan kepada pertimbangan - pertimbangan yang didasarkan kepada prinsip moral dan prinsip kelembagaan, sebagai berikut:
a. Prinsip moral, bahwa konsepsi moral akan memberikan kelonggaran kepada seseorang, sekalipun ia sudah melakukan kejahatan.
b. Prinsip kelembagaan, bahwa tujuan istitusional dari polisi akan lebih terjamin apabila hukum itu tidak dijalankan dengan kaku sehingga menimbulkan rasa tidak suka dikalangan warga negara biasa yang patuh pada hukum.
Mengingat kekuasaan diskresi yang menjadi wewenang polisi itu sangat luas, maka diperlukan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh petugas, terutama didalam menilai suatu perkara. Hal ini diperlukan guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan mengingat diskresi oleh polisi didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif pada diri polisi sendiri. Sebagai contoh didalam melaksanakan KUHAP polisi sebelum mengadakan penyidikan didahului dengan kegiatan penyelidikan. Sesungguhnya fungsi penyelidikan ini merupakan alat penyaring atau filter terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi apakah dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Untuk mencegah tindakan sewenang-wenang atau arogansi petugas tersebut yang didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif, menurut buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara polisi maka :
Tindakan diskresi oleh polisi dibatasi oleh:
1.    Asas keperluan, bahwa tindakan itu harus benar-benar  diperlukan.
2.    Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian.
3.  Asas tujuan, bahwa tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu gangguan atau tidak terjadinya suatu kekhawatiran terhadap akibat yang lebih besar .
4.   Asas keseimbangan, bahwa dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak.
Tugas pokok kepolisian secara profesional sesuai pasal 13 Undang -  undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Terkait dengan profesionalisme ini adalah juga adanya diskresi suatu profesi melakukan pekerjaannya. Diskresi ini juga ada pada setiap anggota kepolisian dalam melakukan profesinya.
Terdapat beberapa aturan perundang - undangan yang langsung maupun tidak berhubungan dengan masalah diskresi kepolisian ini. Dalam ketentuan Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP pada Pasal 7 (j), memberikan wewenang kepada penyidik yang karena kewajibannya dapat melakukan tindakan apa saja yang menurut hukum bertanggungjawab.
Konsep mengenai diskresi kepolisian terdapat dalam pasal 18 Undang undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, yang berbunyi :
(1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. 
Rumusan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum Kepolisian (plichtmatigheids beginsel) yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum. Secara umum, kewenangan ini dikenal sebagai “diskresi kepolisian” yang keabsahannya didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk tugas kewajiban. Substansi Pasal 18 ayat (1) Undang - undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian merupakan konsep kewenangan kepolisian yang baru diperkenalkan walaupun dalam kenyataan sehari-hari selalu digunakan. Oleh karena itu, pemahaman tentang “diskresi kepolisian” dalam pasal 18 ayat (1)  Undang - undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian harus dikaitkan juga dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam pasal 1, 32, dan 33 Undang - undang Nomor 2 tahun 2002 sehingga terlihat adanya jaminan bahwa petugas Kepolisisan Negara Republik Indonesia akan mampu mengambil tindakan secara tepat dan professional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
Rumusan dalam pasal 18 ayat (2) Undang - undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia merupakan rambu - rambu bagi pelaksanaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu selain asas keperluan, tindakan diskresi tetap harus sesuai dan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.Sehingga polisi memang benar-benar mempunyai wewenang untuk melakukan diskresi sebagai contoh dalam hal penyidikan seperti menghentikan, mengenyampingkan perkara atau tidak melaksanakan tindakan terhadap suatu pelanggaran, tetapi dalam batas yang telah ditetapkan dalam undang - undang.
Dengan adanya diskresi kepolisian maka akan mempermudah polisi didalam menjalankan tugasnya, pada saat penyelidikan, penyidikan atau didalam menghadapi perkara pidana yang dinilai kurang efisien jika dilanjutkan ke proses selanjutnya.



Adam Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta
Warsito Hadi Utomo, 2005, Hukum Kepolisian Di Indonesia, Prestasi Pustaka,  Jakarta
Satjipto Raharjo & Anton Tabah, 1993, Polisi Pelaku Dan Pemikir, Gramedia Pustaka  Utama Jakarta
Anthon  F Susanto, 2004, Wajah Peradilan Kita, Refika Aditam, Bandung
MABESPOLRI, 2002, Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara POLRI Di Lapangan. Jakarta.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar