Pidana mati dalam tindak pidana korupsi apabila tindak
pidana tersebut terdapat adanya alasan pemberatan pidana, pidana mati itu dapat
dijatuhkan bilamana ada alasan pemberatan pidana, yaitu apabila melakukan
tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu tersebut
dijelaskan dalam penjelasan mengenai pasal 2 ayat (2).
Pasal 2 ayat (2)
“Dalam hal
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.
Penjelasan
pasal 2 ayat (2) disebutkan, “Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam
ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi
pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan
terhadap dana - dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya,
bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi”.
Sejak hukum pidana berlaku di Indonesia yang kemudian
dicantumkan sebagai Wetboek van
Strafrecht vor Nederlandsch Indie, tujuan diadakan dan dilaksanakan hukuman
mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak meghendaki adanya
gangguan terhadap ketenteraman yag sangat ditakuti umum. Dengan suatu putusan
hukuman mati bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dan kejahatan lain yang
diancam dengan hukuman sama, diharapkan masyarakat menjadi takut. Dengan
demikian, jangan sampai melakukan tindak pidana pembunuhan atau kejahata
lainnya yang dapat dipidana mati. Disamping itu, suatu pendirian “dalam
mempertahankan tertib hukum dengan mempidana mati seseorang karena tingkah
lakunya yang dianggap membahayakan” ada ditangan pemerintah. Oleh karena itu,
hukuman mati menurut pemerintah adalah yang sesuai dengan rasa keadilanya.
Di negara Belanda sendiri
hukuman mati itu sejak tahun 1870 dihapuskan. Hukuman itu hanya berlaku dalam
Peradilan Militer untuk kejahatan berat yang dilakukan oleh anggota militer dan
dalam sidang menurut pendapat hakim perlu dijatuhkan (diputus) hukuman mati.
Dalam perkembanganya pada tahun 1952, hukuman mati berlaku hanya sebagai tindak
pidana perang yang dilaksanakan kalau majelis hakim mempunyai keyakinan sama.
Cesare Beccaria sebagai
pelopor aliran klasik dalam hal pidana mati tidak setuju, sebab :
a. Pidana mati tidak dapat
mencegah seseorang melakukan tindak pidana dan merupakan tindakan yang brutal
serta kejam.
b. Pidana mati menyia – nyiakan
sumber daya manusia, yang merupakan modal utama suatu negara.
c. Pidana mati menggoncangkan
rasa susila masyarakat, yang sebenarnya oleh hukum justru harus diperkuat.
d. Berdasarkan doktrin kontrak
sosial, maka tidak seorangpun yang mempunyai hak alamiah akan menyerahkan
jiwanya dan tidak seorangpun dengan kontrak sosial dapat dianugerahi hak hidup
dan mati.
Perihal pemberlakuan hukuman
mati di Indonesia memang menjadi wacana yang terus digulirkan beberapa tahun
terakhir, beberapa pihak mengusulkan untuk dihapuskan karena bertentangan
dengan hak asasi manusia dan pihak lain yang tak kalah garang berteriak tetap
dipertahankan karena hukuman mati dirasa akan menimbulkan efek jera bagi
masyarakat lainya sehingga takut untuk berbuat jahat, penghapusan hukuman mati
akan meningkatkan angka kejahatan. Rencana
pemerintah merevisi Undang
– undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi wacana menarik
akhir – akhir ini, menimbulkan pro – kontra di kalangan masyarakat, sejumlah
kalangan menuding, jika disahkan undang - undang tersebut justru menyuburkan
tindak pidana korupsi. Dalam draft revisi Undang
– undang Nomor 31 tahun 1999 ini pidana mati dan pidana minimal dihilangkan,
menurut mantan menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar pasal
ini dihilangkan karena pemberlakuan hukuman mati dinilai menghalangi upaya
pengembalian uang hasil tindak pidana korupsi yang di simpan di luar negeri
selain itu juga mengacu pada Konvensi
Internasional anti Korupsi, menurutnya Konvensi Internasional anti Korupsi
cenderung menghilangkan pidana mati sebagai ancaman hukumannya walau Indonesia
masih mengenal ancaman hukuman mati.Sedangkan menurut Ketua Tim Perumus RUU Tipikor Andi Hamzah pertimbangan
merevisi merevisi undang – undang ini yaitu, undang – undang ini sudah tidak
sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi dan lebih banyak melindungi pelaku
tindak pidana korupsi, hukuman mati dihilangkan karena jika ada pidana mati koruptor yang lari keluar
negeri tidak bisa diekstradisi, dan revisi undang – undang ini ancaman pidana
lebih berat dan lebih luas.Pasal 2 Undang – undang
Nomor 31 Tahun 1999 yang mencantumkan hukuman mati memang memiliki banyak
kelemahan sehiggaa masih banyak celah yang bisa digunakan oleh para koruptor,
hukuman mati hanya diberlakukan pada tindak pidana korupsi dalam keadaan
tertentu, dimana dalam penjelasannya keadaan tertentu tersebut yaitu dilakukan terhadap dana - dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis
ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Abdoel Djamali, 2005,
Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan
ke-10, Rajawali Pers, Jakarta.
Muladi dan Barda Nawawi,
2005, Teori – teori dan Kebijakan Pidana,
Cetakan ke-3, Alumni, Bandung
Undang
– undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang
– undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar