Senin, 21 Januari 2013

PENALARAN HUKUM OLEH HAKIM


Ilmu penalaran atau logika adalah ilmu dan kecakapan meanalar, berpikir dengan tepat (science and art of correct thinking). Dengan kata lain ditunjuk sasaran atau bidang logika, yaitu kegiatan pikiran atau akal budi manusia. dengan berpikir dimaksudkan kegiatan akal untuk mengolah pengetahuan yang telah kita terima melalui panca indera, dan ditunjukan untuk mencapai suatu kebenaran. Berpikir adalah bicara dengan dirinya sendiri didalam batin “ (Plato, Aristoteles) : mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunjukan alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari berbagai hal yang berhubungan satu sama lain, mengapa atau untuk apa sesuatu terjadi, serta membahas suatu realitas.”
Pengetahuan manusia bermula dari pengalaman-pengalaman konkret, pengalaman sensitivo-rasional: fakta, objek-objek, kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dilihat atau dialami. Tetapi akal manusia tidak puas hanya dengan mengetahui fakta saja. Akal manusia ingin mengerti mengapa sesuatu itu demikian adanya. Maka manusia bertanya terus dan mencari bagaimana hal-hal yang diketahui itu saling berhubungan satu dan lainnya, hubungan apa yang terdapat antara gejala-gejala yang kita alami, bagaimana kejadian yang satu mempengaruhi, menyebabkan atau ditentukan oleh kejadian yang lain. Mengerti sungguh-sungguh berarti mengerti bagaimana dan mengapa sesuatu itu demikian.
          Kalau kita bertanya: apa yang kita lihat, maka jawabannya ialah: objek-objek, barang-barang, fakta: pohon yang tumbang, awan yang tebal, puncak gunung api, dan sebagainya. Sekarang kita tanya lebih lanjut: apa arti dari fakta yang kita lihat itu? Mengapa keadaan itu demikian? Apa yang terjadi disana? Apakah ada hubungan tertentu antara fakta yang dilihat itu? Ini jelas merupakan pertanyaan lain. Sekarang kita tanyakan penjelasan dari fakta, yaitu apa sebab-sebab terjadinya fakta tersebut. Disini baru mulai dibutuhkan pemikiran dalam arti sebenarnya dan dengan segala lika-likunya. Sebab, sangat mungkin kita sependapat tentang fakta itu sendiri (bahwa memang ada pohon-pohon yang tumbang, dan sebagainya), tetapi bisa tidak sependapat tentang penjelasan fakta itu, yaitu mengapa terjadi demikian. Suatu penjelasan yang menunjukan kaitan atau hubungan antara dua hal atau lebih, yang atas dasar alasan-alasan tertentu dan dengan langkah-langkah tertentu sampai pada suatu kesimpulan kita sebut sebagai suatu penalaran/pemikiran/penyimpulan.
Tujuan pemikiran manusia adalah mencapai pengetahuan yang benar dan sedapat mungkin pasti. Tetapi dalam kenyataannya hasil pemikiran (=kesimpulan) maupun alasan-alasan yang diajukan belum tentu selalu benar, benar artinya sesuai dengan kenyataan. Jadi, apabila yang dipikirkan itu betul-betul demikian, cocok dengan realitas. Salah artinya tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi, apabila apa yang dipikirkan atau dikatakan itu tidak cocok dengan realitas yang sebenarnya.
Jadi, ukuran untuk menentukan apakah suatu pemikiran atau ucapan itu benar atau tidak benar, bukanlah rasa senang atau tidak senang, enak didengar atau tidak enak didengar, melainkan cocok atau tidak dengan realitas atau fakta; suatu hal atau peristiwa dibahas dengan semestinya atau tidak. Misalnya, bila dikatakan : “ini terjadi karena tanah longsor”, padahal dalam kenyataannya tidak terjadi tanah longsor, maka ucapan atau penjelasan tersebut tidak benar, alias salah (betapapun saya merasa yakin atas ucapan tersebut, atau biarpun dikemukakan dengan penuh keyakinan, dengan suara keras, dan sebagainya). Sebab, faktanya atau kenyataannya tidak ada tanah longsor ditempat itu.
Begitu pentingnya berpikir Rane Discrates sampai pada pernyataan, “cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku ada. Berpikir merupakan sifat manusia, berpikir yang benar-benar berpikir esensi dari realitas yang ada. Oleh karenanya penalaran merupakan kegiatan setiap manusia, Dalam rangka memecahkan masalah hukum dengan cepat, tepat, dan benar, diperlukan bantuan ilmu pendukung/penunjang yang disebut Penalaran Hukum.  Penalaran hukum dapat didefinisikan sebagai proses berfikir secara logis dan analitik pada bidang hokum. Hakim memiliki peran yang sangat vital dalam menerapkan penalaran hukum, hakim sebagai “wakil tuhan” dalam penjatuhan hukuman, yang harus memutus berdasarkan hasil pikiran logis ataupun penalarannya.
Tugas hakim menurut Hakim Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes Jr., bahwa memutus bukan semata-mata proses silogisme matematis dan mekanis, namun sebuah makana yang sangat luas “... the life of the law has not been logic; it is has been expperience. The felt necessities of the time, the prevalent moral and political theories, institution of public policy avomed or unconscious, even the prejudices which judges share with their fellow...” Holmes juga mengatakan, “The law embodies the story of a nation’s development through many centuries, and it can not be dealt with as if it contained only the axioms and corollaries of a book of mathematics”. Dengan demikian, putusan hakim merupakan cermin dari sikap, moralitas, serta penalaran.
          Sumaryono mendefinisikan penalaran sebagai sebuah proses mental dimana kita (melalui akal budi) bergerak dari apa yang telah kita ketahui menuju ke pengetahuan yang baru (hal yang belum kita kita ketahui). Atau, kita bergerak dari pengetahuan yang telah kita miliki ke pengetahuan yang baru yang berhubungan dengan pengetahuan  yang telah kita miliki tersebut. Semua bentuk penalaran selalu bertolak dari sesuatu yang sudah ada atau sudah kita ketahui. Kita tidak mungkin menalar bertolak dari ketidaktahuan. Selalu ada sesuatu yang yang tersedia yang kita pergunakan sebagai suatu titik tolak untuk menalar. Titik tolak tersebut kita namakan “yang telah diketahui”, yaitu sesuatu yang dapat dijadikan sebagai suatu premis, evidensi, bukti, dasar, bahkan alasan-alasan darimana hal “yang belum diketahui”, dapat disimpulkan. Hal yang dapat disimpulkan itulah yang disebut konklusi. Inilah kiranya yang merupakan alasan mengapa penalaran dapat juga didefinisikan sebagai “berpikir konklusif”, “berpikir untuk menarik kesimpulan”.
          Jadi, penyimpulan dapat dimengerti sebagai sebuah proses mental dimana kita bergerak dari satu proposisi atau lebih menuju ke proposisi lain yang mempunyai hubungan dengan proposisi yang sebelumnya. Ini merupakan proses penggabungan sejumlah proposisi baru, yaitu konklusi, dapat diturunkan darinya, dengan kata lain, inilah yang merupakan sebuah proses penarikan kesimpulan dari sebuah premis atau kombinasi sejumlah premis.
J.A. Pontier dalam bukunya rechtvinding berpendapat bahwa penalaran merupakan bagian dari penemuan hukum, Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan – pertanyaan tentang hukum yang ditimbulkan oleh kejadian - kejadian konkret. Undang – undang yang berasal dari organ (badan, lembaga) otoritas publik yang berwenang melakukan pembentukan aturan, hukum yang  tertulis, adalah bukan satu – satunya hukum yang mempunyai arti sebagai sumber hukum. Juga pada hukum yang tidak tertulis dapat diberikan arti. Yang dipandang sebagai aturan – aturan hukum tidak tertulis adalah aturan – aturan yang disimpulkan dari kecermatan kemasyarakatan, pandangan tentang pergaulan antara sesama warga masyarakat, pandangan – pandangan tentang moral dan kesopanan dan pandangan – pandangan tentang kewajaran dan kelayakan. Penemuan hukum merupakan keharusan oleh hakim, dalam penemun hukum ini penalaran merupakan proses yang harus dilakukan, penalaran hukum adalh kegiatan hakim dalam penemuan hukum, bagaimana menerapkan hukum pada kejadian-kejadian konkret, guna mencapai suatu kebenaran. Kualitas dan kredibilitas seorang hakim ditentukan oleh putusan yang dibuatnya, sebagaimana ungkapan bahwa mahkota atau wibawa hakim terletak pada putusannya. Kewibawaan hakim akan luntur dengan sendirinya kalau putusan-putusannya tidak berpihak lagi kepada nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Berkenaan dengan sebuah sengketa tertentu, hakim dapat melihat (membayangkan) suatu penyelesaian yang tidak bertumpu pada penerapan aturan yang sederhana. Dapat saja terjadi bahwa hakim pada pandangan pertama mengenali keadaan fakta-fakta (feitenbestand) seperti fakta-fakta yang diuraikan dalam sebuah aturan undang-undang. Kejadian konkret itu memperlihatkan kesamaan dengan kejadian yang diuraikan dalam aturan undang-undang itu. Namun pada penelaahan lebih jauh tampak adanya sejumlah unsur yang ternyata tidak sama. Kejadian konkret itu juga tidak diuraikan dalam aturan-aturan yang lain. Dengan demikian, maka hakim dapat saja berpendapat bahwa kejadian konkret itu jelas-jelas tidak memerlukan pengaturan yuridik atau bahwa undang-undang menunjukan adanya kekosongan (leemte). Jika sekarang hakim meletakkan titik berat pada unsur-unsur yang sama dan dari dalamnya menyimpulkan bahwa akibat-akibat hukum dari aturan itu juga harus terjadi dalam kejadian yang terhadapnya harus diberikan putusan, maka orang mengatakan bahwa hakim itu melakukan suatu penerapan analogikal (argumentum per analogiam) atas aturan tersebut. Didalam peradilan, bentuk penalaran ini biasanya tidak dipaparkan secara utuh, melainkan secara singkat saja ditetapkan bahwa disitu telah terjadi penerapan analogikal.


E. Sumaryono, 1999, Dasar-dasar Logika, Kanisius, Yogyakarta
Eman Suparman, dalam Makna Hukum dan Tugas Hakim (Problematik hukum dan etika-sebuah pendekatan konseptual), Konggres Ilmu Hukum “Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia”, tanggal 19-20 Oktober 2012, Semarang.
J. A. Pontier, 2008, Penemuan Hukum, Penerjemah B. Arief Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung.
Jazim Hamidi, 2012, Materi Kuliah Penalaran Hukum, Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang.
W. Poespoprodjo dan E.K.T. Gilarso, 2011, Logika Ilmu Menalar, Cet.ke-IV, Pustaka Grafika, Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar