Jumat, 28 September 2012

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK INDONESIA DALAM RUU SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

       Perubahan terhadap Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar - benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik Anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa.
        Adapun substansi yang diatur dalam Undang - undang ini antara lain mengenai penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), dan yang paling mendasar dalam Undang - undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Restoratif Justice dan Diversi, yaitu dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali kedalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Pada akhirnya proses ini harus bertujuan pada terciptanya keadilan restoratif baik bagi Anak maupun bagi Anak sebagai Korban.
          Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama - sama memecahkan masalah, menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan Anak Korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
          Dari kasus - kasus yang muncul adakalanya Anak berada dalam status Saksi dan/atau Korban, sehingga Anak Sebagai Saksi dan/atau Korban juga diatur dalam Undang - undang ini. Khusus mengenai Sanksi terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan usia Anak yaitu bagi Anak yang masih berusia kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhkan tindakan dan pidana.
          Yang dimaksud dengan batas umur minimum seorang anak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya, yaitu batas umur minimum seorang anak dapat dituntut dan diajukan dimuka sidang pengadilan dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang melanggar peraturan pidana.
          Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi perlindungan terhadap Anak, maka perkara Anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan pada pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan Umum. Dan proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahai masalah Anak. Namun sebelum masuk proses peradilan para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan yakni melalui Restoratif justice dan diversi.
          Undang - Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
          Kata ”peradilan” tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dalam Undang - undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah bagian dari badan peradilan umum, maka sidang perkara Anak dengan sendirinya mencakup berbagai lingkup wewenang badan peradilan umum.
          Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sistem peradilan pidana terhadap anak nakal berbeda dengan sistem peradilan pidana orang dewasa, di Indonesian juga terdapat kekhususan, dalam hal hukum acaranya, anak yang diduga melakukan tindak pidana dilakukan penahaanan ditempat yang berbeda dengan orang dewasa, ini bertujuan agar tidak terpengaruh orang dewasa, karena anak – anak cenderung meniru dan cepat mempelajari hal yang tidak diketahuinya. Dalam Pasal 1 Rancangan Undang undang Sistem Peradilan pidana anak seperti pasal 1 Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Penyidik yang melakukan penyidikan terhadap anak adalah penyidik anak, Penuntut Umum adalah penuntut umum anak, Hakim adalah hakim anak (maupun hakim banding dan kasasi). Dalam pasal 23 RUU disebutkan : Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas, Tujuan dari proses semua ini adalah agar anak lebih rileks dan tidak tertekan secara mental / psikologis serta bersedia menceritakan kejadian / hal yang di alami / diketahuinya. Ketentuan ini tidak berubah, masih tercantum dalam Rancangan Undang – undang sistem peradilan anak.
          Terhadap anak yang yang melakukan tindak pidana, sesuai pasal 68 RUU Sistem Peradilan Pidana, dijatuhkan pidana atau dikenakan tindakan :
Pasal 69
(1)   Pidana pokok bagi Anak terdiri atas :
a.  pidana peringatan;
b.  pidana dengan syarat :
1)  pembinaan diluar Lembaga
2)  pelayanan Masyarakat;atau
3)  pengawasan.
c.   latihan kerja;
d.  pembinaan dalam lembaga;dan
e.  penjara
(2)   pidana tambahan terdiri atas :
a.  perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;atau
b.  pemenuhan kewajiban adat
(3)   Apabila dalam hukum materil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan latihan kerja.

Sedangkan tindakan yang dapat diambil, adalah :
Pasal 74 :
Tindakan yang dapat kikenakan kepada anak meliputi :
a.  pengembalian kepada orangtua / wali;
b.  penyerahan kepada pemerintah;
c.   penyerahan kepada seseorang;
d.  perawatan dirumah sakit jiwa;
e.  perawatan dilembaga;
f.   kewajiban mengikuti suatu pendidikan formal dan / atau latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
g.  pencabutan surat ijin mengemudi;
h.  perbaikan akibat tindak pidana;dan / atau
i.    pemulihan.

        Tindakan yang yang dimaksud pada ayat 1 dapat diajukan oleh penuntut umum dalam tuntutannya, kecuali jika tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun.(pasal 74 ayat 2)
        Lady Wotton, menyatakan tujuan dari hukum pidana untuk mencegah terjadinya perbuatan - perbuatan yang dapat merusak masyarakat dan bukanlah untuk membalas kejahatan yang telah dilakukan pembuat dimasa yang lampau akan doktrin yang telah berlaku secara konvensional ini telah menempatkan mens rea ditempat yang salah.
        Marlina, menyatakan tujuan dari hukum pidana anak adalah untuk menyembuhkan kembali keadaan kejiwaan anak yang telah terguncang akibat perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Jadi tujuan pidana tidak semata-mata menghukum anak yang sedang bersalah, akan tetapi membina dan menyadarkan kembali anak yang telah melakukan kekeliruan aatau telah melakukan perbuatan menyimpang. Hal ini penting mengingat bahwa apa yang telah dilakukannya perbuatan salah yang melanggar hukum. Untuk itu penjatuhan pidana bukanlah satu - satunya upaya untuk memproses anak yang telah melakukan tindak pidana.
          Dalam sistem peradilan pidana pemidaan itu bukanlah merupakan tujuan akhir dan bukan pula merupakan satu - satunya cara untuk mencapai tujuan pidana atau tujuan sistem peradilan pidana. Banyak cara dapat ditempuh, dapat menggunakan hukum pidana maupun dengan cara diluar hukum pidana atau diluar pengadilan.Secara umum, hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.
          Di dalam pembangunan hukum, upaya pencapaian penegakan hukum tidak terbatas pada adanya aturan yang bersifat normatif saja, sejak hukum itu memasuki era hukum tertulis yang menjadi salah satu ciri hukum modern, panggung hukum berubah menjadi panggung hukum tertulis dan menjadi sebuah skema. Hukum sebagai skema adalah hukum sebagaimana dijumpai dalam teks atau perundang – undangan atau hukum yang dirumuskan dengan sengaja secara rasional, disini hukum sudah mengalami pergeseran bentuk dari hukum yang muncul secara serta merta (interactional law) menjadi hukum yang dibuat dan diundangkan (legislatet law).
          Mewujudkan kesejahteraan anak, menegakkan keadilan merupakan tugas pokok badan peradilan menurut Undang – undang. Peradilan tidak hanya mengutamakan penjatuhan pidana saja, tetapi juga perlindungan bagi masa depan anak, merupakan sasaran yang dicapai oleh Peradilan Pidana Anak. Filsafat Peradilan Anak adalah untuk mewujudkan kesejahteraan anak. Peradilan Pidana Anak hendaknya memberi pengayoman, bimbingan, pendidikan melalui putusan yang dijatuhkan. Aspek perlindungan anak dalam  Peradilan Pidana Anak ditinjau dari segi psikologi bertujuan agar anak terhindar kekerasan, ketelantaran, penganiayaan, tertekan, perlakuan tidak senonoh, kecemasan dan sebagainya.



Roeslan Saleh, 1982, Pertanggung Jawaban Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,Jakarta
Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama,Bandung
Susanto, Anthon F, 2004, Wajah Peradilan Kita, Refika Aditama, Bandung
Adam Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakkan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta
Made Sadhi Astuti, 2003, Hukum PidanA Anak dan Perlindungan Anak, UNM, Malang
Made Sadhi Astuti, 1997, Pemidanaan terhadap Anak sebagai pelaku Tindak Pidana, IKIP, Malang
Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung
RUU Sistem Peradilan Pidana Anak

DAMPAK PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH KORPORASI

           Negara berkembang seperti Indonesia sangat mendambakan pembangunan dalam bidang industri guna meningkatkan status serta kesejahteraan bangsa, dan pemerintah tentunya menyadari kemajuan teknologi yang mendorong penurunan kualitas lingkungan maupun kegiatan industri yang dilakukan korporasi berdampak besar pada lingkunganDalam proses pembangunan memang ditemui hambatan – hambatan yang terwujud sebagai bentuk – bentuk kejahatan, mulai dari kejahatan – kejahatan individual dan konvensional sampai ke kejahatan – kejahatan inkonvensional. Kejahatan - kejahatan utama yang patut memperoleh tekanan perhatian di negara – negara yang sedang membangun adalah kejahatan – kejahatan yang melembaga serta kejahatan – kejahatn struktural yang berkisar pada bentuk – bentuk, pengebirian, pemerasan, dan penindasan hak – hak dasar manusia, baik sebagai perorangan maupun dalam ikatan kelompoknya. Telah cukup banyak studi dan penelitian di Indonesia yang mengungkapkan masih berlangsungnya proses pemelaratan dinegeri ini. Kemiskinan merupakan bentuk kekerasan struktural dengan korban yang demikian banyak. Kejahatan Korporasi sangat besar dampaknya bagi masyarakat luas, secara ekonomi mulai dari kemiskinan yang akibatnya akan meluas, kriminalitas yang semakin tinggi, pendidikan semakin rendah, mengancurkan seluruh tatanan sosial, krisis moral, dan menjalar ke segala struktur.
         Pemerintah Indonesia menyadari bahwa lingkungan y`ng baik menjadi hak setiap manusia, didalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI 1945) pasal 28H disebutkan :“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.Serta tercermin pula dalam konsep demokrasi yang terkait dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan wawasan lingkungan, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 33 ayat (4) UUD RI 1945 : “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” 
         Kecurangan dan penyelewengan kerap dilakukan oleh korporasi, baik konspirasi dengan pejabat ataupun secara individual, kecurangan terhadap lingkungan ini semata hanya mengejar keuntungan, tidak memikirkan dampak perusakan dan pencemaran akibat dari aktifitas yang mereka lakukan.
         Secara istilah korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama – sama sebagai subyek hukum tersendiri, suatu personafikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggotakan tetapi mempunyai hak dan kewajiban anggota masing – masing.
         Selama lebih dari tiga abad, dasar-dasar dan ciri-ciri hukum korporasi dikdmbangkan seperti badan yang diakui oleh negara, yang memiliki hak untuk dapat mempunyai milik bagi tujuan-tujuan umum, hak untuk menuntut dan dituntut dan eksistensinya yang melampaui masa hidup dari para anggotanya.
        Secara umum korporasi memiliki lima ciri penting yaitu :
1.  Merupakan subyek hukum buatan yang memiliki kedudukan hukum khusus
2.  Memiliki jangka waktu hidup yang tak terbatas
3.  Memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis tertentu
4.  Dimiliki oleh pemegang saham
5.  Tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya sebatas saham yang dimilikinya.
         Korporasi adalah salah satu bentuk dari organisasi yang kegiatan utamanya adalah melakukan kegiatan bisnis. Berdasarkan tipologi Blau dan Scott (1962) diatas, yang memperoleh manfaat utama dari organisasi bisnis atau korporasi adalah pemiliknya. Pemilik korporasi ini ditilik menurut sejarah perkembangannya dimulai dengan organisasi bisnis milik keluarga. Pelaksana dari organisasi bisnis adalah pemiliknya beserta anak-anak atau kerabatnya. Lambat laun kepemilikan oleh keluaraga menjadi berkurang, sebagian saham korporasi dijual kepada pihak lain, baik perorangan maupun publik. Pelaksana sehari-hari dari korporasi tidak selalu merupakan pemilik atau pemegang saham, tetapi dipercayakan kepada manajer profesional yang digaji. Dilihat dari tujuannya, korporasi adalah organisasi badan usaha yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan keuangan. Sebagai badan usaha, resiko keuangan yang ditanggung oleh pemiliknya atau pemegang sahamnya dialihkan menjadi resiko badan usaha.
       Data Worl Health Organization (WHO), akibat pencemaran udara yang sangat hebat, Indonesia menanggung kerugian ekonomi sebesar US$424,3 juta pada 1990 dan meningkat menjadi US$634 juta pada 2000. Data dari hasil penelitian JUDP III (Jakarta Urban Development Project) menunjukkan biaya yang dipikul masyarakat akibat menurunnya IQ anak akibat dampak pencemaran udara diperkirakan sebesar Rp 176 miliar pada 1990 dan diperkirakan 2005 akan meningkat menjadi Rp 254,4 miliar.
       Kerugian ekonomi akibat pencemaran air tanah terjadi juga di Kota Makassar mencapai Rp43,3 triliun, Kerugian ekonomi ini akibat berbagai pencemaran, termasuk 70 persen dari pencemaran air tanah. Masalah pencemaran dan sanitasi yang buruk telah memberi andil pada kerugian ekonomi dengan mencermati fenomena di lapangan di antaranya fungsi kanal telah mengalami pergeseran dari saluran air menjadi tempat pembuangan limbah.
       Menurut Suparmoko, lingkungan memiliki tiga fungsi utama, yaitu : sebagai sumber bahan mentah yang dapat diproses di berbagai sektor ekonomi untuk memenuhi kebutuhan manusia; sebagai tempat pengolah limbah alami, dan sebagai pemberi jasa atau pelayanan langsung pada kehidupan manusia.
            Dampak lingkungan kegiatan industri tidak jarang menimbulkan aspek sosial ekonomi dengan masyarakat sekitar. Keluhan masyarakat terhadap dampak lingkungan dari aktifitas industri banyak terjadi di Indonesia. Hal ini karena dampak lingkungan dapat mengganggu kehidupan masyarakat seperti penurunan produktivitas hasil pertanian, perikanan dan gangguan kesehatan terhadap warga masyarakat sekitar. Dari aspek sosial ekonomi, permasalahan yang timbul akibat pencemaran/perusakan lingkungan ini khususnya dialami oleh mereka yang mengalami kerugian ekonomi akibat rusaknya lahan yang menjadi mata pencaharian mereka.
Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi secara jelas telah mengakibatkan kerugian fisik yang luar biasa. Penjualan obat yang tidak aman, gas buangan yang melampaui ambang batas yang ditentukan, produk makanan yang tidak layak dikonsumsi dan lain sebagainya telah menyebabkan kematian, kesakitan, baik secara kronis maupun akut ribuan korbannya. Sutherland dalam kaitan ini telah menyatakan bahwa pelanggaran yang telah berbeda telah mengakibatkan korban yang berbeda pula. Bila menyangkut pelanggaran korporasi, maka korbannya meliputi berbagai kelas korban yaitu : konsumen , pesaing, pemegang saham , investor, pegawai , negara.
Korban pelanggaran konsumen sering tidak menyadari bahwa dirinya adalah korban pelanggaran konsumen. Misal volume barang cair yang tidak sesuai dengan volume yang tertera pada kemasan, atau isi barang tidak sesuai dengan labelnya. Banyak pasien yang tidak sadar bahwa dokter sering melakukan tindakan operasi yang sesungguhnya tidak diperlukan atau tidak akan memberi hasil sesuai dengan harapan pasien dan keluarganya. Korban produksi konsumtif (misal obat – obatan, minuman dan makanan) tidak menyadari akan bahaya dari produk yang dikonsumsinya. Orang yang tinggal di daerah yang tercemar lingkungannya karena limbah, tidak akan merasakan akibatnya seketika tetapi membutuhkan waktu bertahun – tahun bagi munculnya gejala penyakit yang terkait dengan buruknya lingkungan tempat ia tinggal. Dapat disimpulkan bahwa menyangkut pencemaran lingkungan kita semua adalah korban. Kita semua juga korban kejahatan korporasi.



Edi Setiadi & Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Graha Ilmu, Yogyakarta
I.S Ssanto, 2011, Kriminologi, Genta Publishing, Yogyakarta, 
Muhammad Mustofa, 2010, Kleptokrasi, Kencana, Jakarta
M.Suparmoko, 2006Panduan dan analisis valuasi ekonomi, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UGM. Yogyakarta.

Rabu, 26 September 2012

MENOLAK OTORITAS POSITIVISME


         Hukum Indonesia saat ini berada dibawah hegemoni paradigma positivisme hukum yang merupakan kepenjangtanganan paradigma Cartesian-Newtonian. Positivisme hukum adalah aliran pemikiran dalam hukum yang memperoleh pengaruh kuat dari aliran positivisme ilmu (pada umumnya). Dalam devinisinya yang paling tradisional tentang hakekat hukum, positivisme hukum memaknai hukum sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan.Positivisme hukum memaknai hukum sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan, bahwa hukum adalah apa yang ditulis itu. Sehingga pengaruhnya adalah segala bentuk kejahatan dikenai hukum positif yang berlaku yaitu hukum pidana, sesuai asas legalitas pada pasal 1 dan pidana sesuai pasal 10 KUHP.
    Dalam konsep sistem hukum terdapat dua sistem besar sebagai patokan negara memberlakukan hukum, yaitu sistem hukum anglo saxon dan eropa kontinental, sistem hukum anglo saxon memandang hukum tidak tertulis sebagai hukum, sebaliknya eropa kontinental memandang hukum sebagai hanya norma tertulis. Sistem hukum Eropa kontinental berkembang di negara – negara Eropa daratan yang sering disebut sebagai “Civil Law” yang semula berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku dikekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Justinianus abad VI sebelum masehi. Prinsip utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa Kontinental itu ialah “hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik didalam kodifikasi atau kompilasi tertentu, prinsip dasar ini dianut mengingat bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah “kepastian hukum”
      Pemahaman terhadap hukum sebagai norma tertulis berawal dari filsafat positivisme, sebagaimana keilmuan eksakta hukum juga ingin menunjukan eksistensinya sebagai sesuatu yang nyata dan valid, bukan sesuatu yang abstrak sehingga hukum ditulis dalam sejarah pertama sekali dalam bentuk codex hammurabbi. Paradigma yang dibangun oleh ilmuwan hukum yunani kemudian bergeser ke Romawi adalah catatan penting dalam sejarah hukum sebagai norma tertulis, kemudian Perancis mengadopsi paradigma yang sama di ikuti oleh Belanda. Perancis dan Belanda adalah dua negara yang menjajah beberapa dunia, sehingga negara jajahan terbawa arus kedalam positivisme hukum. Indonesia sebagai negara jajahan Belanda ikut dalam panggung positivisme, bahkan setelah merdeka Indonesia mengkodifikasi hukum yang berasal dari pemerintah kolonial Belanda, sampai saat inipun hukum Indonesia masih terbelenggu postivisme. Hukum Belanda merupakan hukum eropa yang termasuk kedalam mazhab individualisme, sehingga apabila diterapkan di masyarakat Indonesia yang dikenal kolektif menimbulkan problematik di berbagai aspek.
        Hukum tertulis memiliki andil besar dalam menciptakan keadilan, hukum yang dipandang dari kacamata positivistik semata akan berakibat buruk, karena masyarakat akan terus berkembang kearah yang tidak dapat dijangkau oleh hukum tertulis. Menurut Satjipto Rahardo dalam sejarah dijumpai munculnya bentuk – bentuk kejahatan baru yang tidak siap dihadapi oleh perundang – undangan yang ada. Beliau berpendapat, salah satu sifat penting dari hukum tertulis terletak pada kekakuanya (Lex dura sed tamen scripta – hukum itu keras/kaku, tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, maka perhatian bergeser kepada pelik – pelik pengunaannya sebagai sebuah dokumen tertulis.Lebih jauh beliau mengatakan hukum, perundang – undangan, atau peraturan pada umumnya dirancang berdasarkan asumsi – asumsi tertentu.
         Di dalam pembangunan hukum, upaya pencapaian penegakan hukum tidak terbatas pada adanya aturan yang bersifat normatif saja, sejak hukum itu memasuki era hukum tertulis yang menjadi salah satu ciri hukum modern, panggung hukum berubah menjadi panggung hukum tertulis dan menjadi sebuah skema. Hukum sebagai skema adalah hukum sebagaimana dijumpai dalam teks atau perundang – undangan atau hukum yang dirumuskan dengan sengaja secara rasional, disini hukum sudah mengalami pergeseran bentuk dari hukum yang muncul secara serta merta (interactional law) menjadi hukum yang dibuat dan diundangkan (legislatet law).
         Hukum itu bukanlah merupakan tujuan, tetapi sarana atau alat untuk mencapai tujuan yang sifatnya non – yuridis dan berkembang karena rancangan dari luar hukum. Faktor – faktor diluar hukum itulah yang membuat hukum itu dinamis. Hukum mengatur hubungan hukum. Hubungan hukum itu terdiri dari ikatan – ikatan antara individu dan masyarakat dan antara individu itu sendiri. Ikatan – ikatan itu tercermin pada hak dan kewajiban. Dalam mengatur hubungan – hubungan hukum itu caranya beraneka ragam kadang – kadang hanya dirumuskan kewajiban – kewajiban. Sebaliknya sering juga hukum merumuskan peristiwa – peristiwa tertentu yang merupakan syarat timbulnya hubungan – hubungan hukum.



Anthon F. Susanto, 2010, Dekonstruksi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta
Abdoel Djamali, 2005, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan ke-10, Rajawali Pers, Jakarta
Otje Salman & Anton F. Susanto, 2010, Teori Hukum, Cet.ke-6, Refika Aditama, Bandung
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakkan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta

Senin, 24 September 2012

UPAYA NON PENAL DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN


        Dalam sistem peradilan pidana pemidaan itu bukanlah merupakan tujuan akhir dan bukan pula merupakan satu - satunya cara untuk mencapai tujuan pidana atau tujuan sistem peradilan pidana. Banyak cara dapat ditempuh, dapat menggunakan hukum pidana maupun dengan cara diluar hukum pidana atau diluar pengadilan. Dilihat dari segi ekonomisnya sistem peradilan pidana disamping tidak efisien, juga pidana penjara yang tidak benar - benar diperlukan semestinya tidak usah diterapkan.
      Penegakan hukum dengan sarana penal merupakan salah satu aspek saja dari usaha masyarakat menanggulangi kejahatan. Disamping itu masih dikenal usaha masyarakat menanggulangi kejahatan melalui sarana non penal. Usaha non penal dalam menanggulangi kejahatan sangat berkaitan erat dengan usaha penal. Upaya non penal ini dengan sendirinya akan sangat menunjang penyelenggaraan peradilan pidana dalam mencapai tujuannya. Pencegahan atau atau menanggulangi kejahatan harus dilakukan pendekatan integral yaitu antara sarana penal dan non penal.
       Menurut M. Hamdan, upaya penaggulangan yang merupakan bagian dari kebijakan sosial pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) yang dapat ditempuh dengan 2 jalur, yaitu:
1.  Jalur penal, yaitu dengan menerapkan hukum pidana (criminal law application)
2.  Jalur nonpenal, yaitu dengan cara :
a.     Pencegahan tanpa pidana (prevention without punisment), termasuk di dalamnya penerapan sanksi administrative dan sanksi perdata.
b.     Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pembinaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment).
Secara sederhana dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan pada sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “non penal” lebih menitik beratkan pada sifat “preventif” (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.
Beberapa dekade terakhir berkembang ide-ide perbuatan tanpa pidana, artinya tidak semua tindak pidana menurut undang-undang pidana dijatuhkan pidana, serentetan pendapat dan beberapa hasil penelitian menemukan bahwa pemidanaan tidak memiliki kemanfaatan ataupun tujuan, pemidaan tidak menjadikan lebih baik. Karena itulah perlunya sarana nonpenal diintensifkan dan diefektifkan, disamping beberapa alasan tersebut, juga masih diragukannya atau dipermasalahkannya efektifitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. Di berbagai Kongres PBB mengenai “The Prevention of Crime and Treatment of Offenders” ditegaskan upaya-upaya strategis mengenai penanggulangan sebab-sebab timbulnya kejahatan.
Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata – mata dengan “penal”. Di sinilah keterbatasan jalur “penal” dan oleh karena itu, harus ditunjang oleh jalur “nonpenal”. Salah satu jalur “nonpenal” untuk mengatasi masalah – masalah sosial seperti dikemukakan diatas adalah lewat jalur “kebijakan sosial” (social policy). Yang dalam skema G.P. Hoefnagels di atas juga dimasukkan dalam jalur “prevention without punishment”. Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya - upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan.
Salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat (social hygiene), baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun kesehatan/ kesejahteraan keluarga (termasuk masalah kesejahteraan anak dan remaja), serta masyarakat luas pada umumnya. Penggarapan masalah “mental health”, “national mental health” dan “child welfare” ini pun dikemukakan dalam skema Hoefnagels di atas sebagai salah satu jalur “prevention (of crime ) without punishment” (jalur “nonpenal”). Prof. Sudarto pernah juga mengemukakan, bahwa “kegiatan karang taruna, kegiatan Pramuka dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama” merupakan upaya – upaya nonpenal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan.
Pembinaan dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat memang tidak berarti semata – mata kesehatan rohani/mental, tetapi juga kesehatan budaya dan nilai – nilau pandangan hidup masyarakat. Ini berarti penggarapan kesehatan masyarakat atau lingkungan sosial yang sehat (sebagai salah satu upaya nonpenal dalam strategi politik kriminal), tidak hanya harus berorientasi pada pendekatan religius tetapi juga berorientasi pada pendekatan identitas budaya nasional. Dilihat dari sisi upaya nonpenal ini berarti, perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk mengektifkan dan mengembangkan “extra legal system” atau “informal and traditional system” yang ada di masyarakat.
Upaya nonpenal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat  (secara materiil dan immateriil) dari faktor – faktor kriminogen. Ini berarti, masyarakat dengan seluruh potensinya harus dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan atau faktor “antikriminogen” yang merupakan bagian integral dari keseluruhan politik kriminal. Disamping upaya – upaya nonpenal dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan mengali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya nonpenal itu digali dari berbagai sumber lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif. Sumber lain itu misalnya, media pers/media massa, pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal dengan istilah “techno-prevention”) dan pemanfaatan potensi efek-preventif dari aparat penegak hukum. Mengenai yang terakhir ini, Prof. Sudarto pernah mengemukakan, bahwa kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara kontinu termasuk upaya nonpenal yang mempunyai pengaruh preventif bagi penjahat (pelanggar hukum) potensial. Sehubungan dengan hal ini, kegiatan razia/operasi yang dilakukan kepolisian di beberapa tempat tertentu dan kegiatan yang berorientasi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan komunikatif edukatif dengan masyarakat, dapat pula dilihat sebagai upaya nonpenal yang perlu diefektifkan.
         Tindakan hukum dikatakan “efektif” ketika perilaku bergerak kearah yang dikehendaki, ketika subyek patuh atau menurut, banyak tindakan hukum tidak “efektif” dalam pengertian ini. Orang-orang mengabaikan atau melanggar ketentuan.Lazimnya sanksi dibagi menjadi dua bagian, imbalan dan hukuman, yakni sanksi positf dan negatif. Gagasannya adalah bahwa orang-orang yang menjadi subyek hukum akan memilih satu dan menghindari yang lainnya. Para pembuat hukum berasumsi bahwa sanksi yang berlabel “hukuman” adalah bersifat menyakitkan dan “imbalan” adalah yang bersifat menyenangkan, sehingga konsekuensi perilaku yang dikehendaki akan mengikuti secara otomatis. Bentuk-bentuk hukuman yang lazim dalam hukum pidana adalah denda dan kurungan. Hukuman fisik atau hukuman jasmaniah lainnya, pada masa lalu, sering digunakan dalam hukum.
         Di indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya ketertiban dalam pembangunan, merupakan sesuatu yang dipandang penting dan sangat diperlukan.Upaya nonpenal merupakan kerangka pembangunan hukum nasional yang akan datang (ius constituendum). Pencegahan kejahatan harus mampu memandang realitas sosial masyarakat, hukum sebagai panglima harus mampu menciptakan suatu tatanan sosial melalui kebijakan sosial
         Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan – kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat kemajuan pembangunan  di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa, sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruhpembangunan hukum pada hakikatnya mencakup pembinaan hukum serta pembaharuan hukum. Pembinaan hukum pada hakikatnya berarti usaha – usaha untuk lebih menyempurnakan hukum yang sudah ada, sehingga sesuai dengan perkembangan masyarakat.
         Hukum sesungguhnya merupakan fasilitasi interaksi antara manusia yang bertujuan untuk mencapai keteraturan kehidupan sosial sehingga kaidah-kaidah hukum yang akan diterapkan haruslah memiliki kerangka falsafah, nilai kebudayaan dan basis sosial yang hidup di masyarakat. Satjipto Rahardjo mengatakan, hukum itu tertanam ke dalam dan berakar dalam masyarakatnya. Setiap kali hukum dan cara berhukum dilepaskan dari konteks masyarakatnya maka kita akan dihadapkan pada cara berhukum yang tidak substansil. Hukum itu merupakan pantulan dari masyarakatnya, maka tidak mudah memaksa rakyat untuk berhukum menurut cara yang tidak berakar pada nilai-nilai dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat itu. Selalu ada tarik menarik antara hukum yang berlaku dan diberlakukan dengan masyarakatnya. Hukum bukan institutif yang steril dar satu skema yang selesai. Hukum tidak ada di dunia abstrak melainkan juga berada dalam kenyataan masyarakat.
         Optimalisasi jalur non penal sejalan dengan cita-cita bangsa dan tujuan negara, seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat Pancasila. Segala bentuk pembangunan harus berangkat dari nilai-nilai Pancasila, karena pada hakikatnya pancasila merupakan tonggak konvergensi berbagai gagasan dan pemikiran mengenai dasar falsafah kenegaraan yang didiskusikan secara mendalam oleh para pendiri negara. Pancasila menjadi kesepakatan luhur (modus vivendi) yang kemudian ditetapkan sebagai dasar ideologi negara. Dalam hal ini, upaya non penal dalam pencegahan tindak pidana merupakan salah satu aspek cita-cita Pancasila, Pancasila menjadi dasar rasional mengenai asumsi tentang hukum yang akan dibangun sekaligus sebagai orientasi yang menunjukan kemana bangsa dan negara harus dibangun.



Susanto, Anthon F, 2004, Wajah Peradilan Kita, Refika Aditama, Bandung
M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Barda Nawawi, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Cet.Ke-2, Kencana, Jakarta
Lawrence M.Friedman, 2011, Sistem Hukum, Diterjemahkan oleh M. Khozim, Cet.ke-4, Nusa Media, Bandung
Soerjono Soekanto, 2007, Hukum Adat di Indonesia, Cet.ke-2, Rajawali Pers, Jakarta
Satjitpto Rahardjo, 2009, Hukum dan Prilaku : Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik, Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Mahfud MD, “Menguatkan Pancasila Sebagai Dasar Ideologi Negara”, Dimuat dalam Mahkamah Konstitusi dan Penguatan Pancasila, Majalah Konstitusi No.52-Mei 2011

Sabtu, 22 September 2012

KRIMINOLOGI: TEORI PSIKOANALISA DAN TINJAUAN ISLAM

Teori psikoanalisa Sigmund Freud tentang kriminalitas menghubungkan delinquent dan perilaku criminal dengan suatu “conscience” (hati nurani) yang baik dia begitu menguasai sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat mengontrol dorongan – dorongan si individu, dan bagi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi segera.
Seseorang melakukan perilaku yang terlarang karena hati nurani, atau superego-nya begitu lemah atau tidak sempurna sehingga ego-nya (yang berperan sebagai suatu penengah antara superego dan id) tidak mampu mengontrol dorongan-dorongan dari id (bagian dari kepribadian yang mengandung keinginan dan dorongan yang kuat untuk dipuaskan dan dipenuhi). Karena superego intinya merupakan suatu citra orang tua yang begitu mendalam, terbangun ketika si anak menerima sikap – sikap dan nilai – nilai moral orang tuanya, maka selanjutnya apabila ada ketiadaan citra seperti itu mungkin akan melahirkan id yang terkendali dan berikutnya delinquency.
Plato mengukapkan, jiwa manusia terdiri dari tiga bagian, bagian pikiran (logistikon), bagian perasaan dan nafsu, baik psikis maupun jasmani (epithumetikon), dan bagian rasa baik dan jahat (thumoeides). Jiwa itu teratur secara baik, bila dihasilkan suatu kesatuan yang harmonis antara ketiga bagian itu. Hal ini terjadi bila perasaan dan nafsu-nafsu dikendalikan dan ditundukkan pada akal budi melalui rasa baik dan jahat.
Dalam Al-Quran manusia diciptakan oleh allah SWT dengan sifat – sifat buruk, dalam Al-Quran manusia memiliki 15 sifat, yaitu : manusia itu lemah, gampang terperdaya, lalai, penakut / gampang khwatir, bersedih hati, tergesa-gesa, suka membantah, suka berlebih-lebihan, pelupa, suka berkeluh kesah, kikir,suka mengkhufuri nikmat, dzalim dan bodoh, suka menuruti prasangkanya, suka berangan – angan. Namun, dari ke 15 sifat manusia itu Islam memberikan solusi dalam Al-Quran.
Dalam khasanah pengetahuan islam, Ibnu Arabi telah menyatakan bahwa manusia sebagai wujud serba meliputi – keserbamencakupan, karena manusia diciptakan dalam citra atau bentuk Maha Pencipta. Pandangan ini tidak saja telah mengangkat derajat manusia, tetapi sekaligus bahwa manusia secara fisiologi telah ditentukan, baik kelebihan maupun keterbatasannya. Dalam pandangan Satre, seorang eksitensialis, manusia memiliki nilai khusus untuk disebut manusia yaitu kebebasan. Kebebasannya itulah yang telah menjadikannya sebagai manusia, sehingga menurut Sartre manusia menciptakan dirinya sendiri. Karena manusia benar-benar menjadi manusia hanya pada tingkat di mana dia menciptakan dirinya sendiri dengan tindakan-tindakan bebasnya,”manusia bukanlah sesuatu yang lain, kecuali bahwa ia menciptakan dirinya sendiri”.




Topo Santoso & Eva Achjani, 2001, Kriminologi, Rajawali Pers, Jakarta
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Bandung, hal.23
Otje Salman S. & Anthon F. Susanto, 2010, Teori Hukum, Cet.ke-6, Refika Aditama, Bandung
http://taufiqsuryo.wordpress.com/2010/01/01/15-sifat-manusia-dalam-al-quran/ 

TANYA JAWAB (1) : PENALARAN HUKUM DAN PENEMUAN HUKUM


1.      Apa perbedaan penalaran hukum dengan penemuan hukum?
Jawaban :
Penalaran hukum adalah suatu metode penemuan hukum, yang mengandung pengertian bahwa suatu aturan hukum yang ada yang dimaksudkan untuk suatu kejadian yang lain, namun dapat dibandingkan, telah diterapkan pada suatu kejadian kongkret yang sesungguhnya tidak tercakup dalam wilayah penerapan dari  aturan yang bersangkutan, dengan demikian tidak terjadi secara eksplisit. Dalam kejadian – kejadian terrebut  orang harus mengasumsikan bahwa  hakim berpendapat bahwa aturan itu dapat diterapkan pada kejadian konkret itu karena ia memperlihatkan kesamaan dengan fakta – fakta yang diuraikan (dipaparkan) dalam aturan itu, atau, jika penerapan analogikal ditolak, bahwa hakim itu berpendapat bahwa ihwalnya adalah tidak demikian. Sedangkan penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan – pertanyaan tentang hukum yang ditimbulkan oleh kejadian – kejadian konkret.
2.      Penafsiran apa yg dipakai untuk memperluas makna pasal 363 KUHP tentang pencurian dalam sebuah rumah / perkarangan yang tertutup yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang yg ada disitu tanpa sepengetahuan yang punya rumah, jika dikaitkan dengan pencurian didunia maya?
       Jawaban :
Salah satu unsur penemuan hukum adalah Hukum, artinya, peraturan perundang – undangan ada tetapi tidak jelas, kabur / ganda atau benturan norma (antinomi norm) sehingga memerlukan metode - metode penemuan hukum, dalam hal ini pasal 363 tentang pencurian dengan pemberatan tidak memerlukan penafsiran, karena sudah jelas, terkecuali apabila fakta memerluklan adanya penafsiran hukum, sedangkan pencurian dalam dunia maya sudah diatur dalam pasal 25 Undang – undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, dimana hukum khusus mengenyampikan hukum umum, lex specialis derogate legi generali.
3.      Tanggapan : Dalam makalah “Rechtsvinding” yang saya bahas, titik fokusnya adalah penemuan hukum itu sendiri, penemuan hukum harus dibedakan dari konstruksi hukum, dalam buku yang saya bahas, oleh J.A Pontier penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan – pertanyaan tentang hukum yang ditimbulkan oleh kejadian konkret, artinya hukumnya ada tetapi tidak jelas, kabur atau bermakna ganda untuk diterapkan pada fakta konkret sehingga memerlukan adanya penemuan hukum, sedangkan menurut Sudikno hukum tidak lengkap dan tidak jelas maka harus dicari dan ditemukan, Paul scholten juga berpendapat hukum itu ada tetapi harus terus ditemukan. Sedangkan konstruksi hukum yaitu apabila terjadi kekosongan hukum, dimana tujuan dari konstruksi hukum adalah mampu meliputi semua bidang hukum positif, tidak ada pertentangan logis dan mencerminkan keindahan. 

KLEPTOKRASI

Kleptokrasi diartikan sebagai korupsi tingkat tinggi (heavy corruption). Kleptokrasi merupakan peningkatan dari istilah kleptomani yang berarti kebiasaan mencuri dari seseorang yang tidak dilakukan untuk pencaharian, semacam gangguan psikologis yang relatif menetap. Pelakunya adalah orang-orang yang tidak mengalami kesulitan ekonomi, bahkan tidak jarang adalah orang yang dikenal publik, seperti pesohor. Indonesia saat ini dapat dikatakan memiliki ciri dari kleptokrasi, karena korupsi yang semakin parah dan terjadi disegala sektor kehidupan, keadaan ini menjadi tidak mudah untuk ditanggulangi. Ciri dari negara kleptokrasi antara lain adalah tingkat korupsi yang dilakukan oleh birokrasi sangat tinggi. Birokrasi dalam arti eksekutif, legislatif dan yudikatif. Negara kleptokrasi pada umumnya mengandalkan pembiayaan negara pada sumber daya alam yang dieksploitasi secara tidak terkendali, lebih memakmurkan birokrat yang korup dan korupsi mitranya daripada kemakmuran rakyatnya.
Bentuk kleptokrasi ini merupakan pola white collar crime di Indonesia, yaitu tindakan memperoleh keuntungan melalui korupsi sebagai tujuan organisasi korporasi, dapat terlaksana akibat permufakatan jahat antara korporasi dengan birokrat yang korup pula (Weber), kelompok pelaku kejahatan ini sulit dideteksi, dan tidak pernah merasa dirinya salah. Data menunjukan white collar crime di Indonesia dilakukan oleh korporasi dan birokrat, yang semakin beraneka ragam. Dalam kriminologi korupsi termasuk dalam lingkup white collar crime dan disebut kejahatan kontemporer, merupakan bentuk-bentuk tindakan sesungguhnya jauh lebih merugikan masyarakat dibandingkan kejahatan konvensional, pelakunya dapat menikmati kemakmuran yang didapat secara tidak sah tanpa diketahui secara kasat mata oleh masyarakat umum atau penegak hukum, oleh Sutherland white collar crime digunakan sebagai sebutan terhadap orang yang mempunyai status sosial tinggi yang melakukan pelanggaran hukum dalam jabatan pekerjaanya yang sah, kata white collar  merupakan penanda status pekerjaan yang terhormat lawan kata blue collar penanda status pekerjaan tukang.
Faktor-faktor yang menyebabkan Indonesia lahan kondusif yaitu bisa dilihat dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia, yaitu : konsep keluarga dalam tatanan sosial di Indonesia, tidak rasionalnya kebijakan upah yang melihat pada aspek status orang atau pekerjaannya daripada `spek fungsi dari pekerjaan, tradisi memberikan hadiah, serta kegiatan birokrasi pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk proyek.
sumber : Muhammad Mustofa, 2010, Kleptokrasi, Prenada Media, Jakarta.

PERADILAN ANAK CANADA

Pada tahun 2002, Parlemen Pemuda menetapkan undang-undang Peradilan Pidana untuk menggantikan UU Pelanggar muda.Pembukaan ini sinyal bahwa undang-undang itu dimaksudkan untuk menciptakan sistem yang jauh lebih lunak untuk peradilan anak dengan menyatakan bahwa:
Masyarakat Kanada harus memiliki sistem peradilan pidana pemuda yang perintah menghormati, memperhatikan kepentingan korban, menumbuhkan tanggung jawab dan menjamin akuntabilitas melalui konsekuensi yang bermakna dan efektif rehabilitasi dan reintegrasi, dan bahwa cadangan intervensi yang paling serius bagi jejahatan yang paling serius dan mengurangi lebih-ketergantungan pada penahanan untuk non-kekerasan orang muda.
Pembukaan ini juga mencatat bahwa Kanada merupakan pihak Konvensi PBB tentang Hak Anak dan bahwa orang-orang muda memiliki hak dan kebebasan, termasuk mengatur mereka dalam Piagam Kanada Hak dan Kebebasan dan memiliki "jaminan khusus dari hak dan kebebasan. Deklarasi Prinsip kemudian berisi pernyataan berikut:
Sistem peradilan pidana bagi orang muda harus terpisah dari yang orang dewasa dan menekankan: 1) rehabilitasi dan reintegrasi: 2) akuntabilitas adil dan proporsional, 3) perlindungan pribadi ditingkatkan untuk memastikan bahwa orang-orang muda yang diperlakukan secara adil dan bahwa hak-hak mereka, termasuk hak mereka untuk privasi, dilindungi.
Pertimbangan khusus berlaku sehubungan dengan proses terhadap orang-orang muda dan khususnya ... orang muda memiliki hak dan kebebasan dalam hak mereka sendiri, seperti hak untuk didengar dalam perjalanan dan untuk berpartisipasi dalam proses, selain keputusan untuk mengadili, yang mengarah pada keputusan yang mempengaruhi mereka, dan orang muda memiliki jaminan khusus dari hak asasi dan kebebasan.
Orang muda sehingga dijamin hak untuk dianggap tidak bersalah dan meminta pemberitahuan tuduhan terhadap mereka. UU ini juga memiliki ketentuan untuk uji cepat dan, dalam hubungan ini, mengakui bahwa orang-orang muda memiliki persepsi yang berbeda waktu. Penggunaaan Piagam Hak dan Kebebasan ke pengadilan pemuda pidana berarti bahwa mereka dijamin hak terhadap memberatkan diri sendiri dan hak untuk menggunakan bahasa Perancis atau bahasa Inggris dalam proses hukum.Hak untuk mendapatkan pengadilan yang adil juga menjamin orang muda hak untuk memiliki penerjemah.
Pemuda Peradilan Pidana Undang-Undang mendorong penggunaan tindakan-tindakan di luar hukum oleh polisi dan pengadilan untuk menangani kejahatan remaja. Langkah-langkah di luar hukum dirancang untuk tepat waktu, untuk memperbaiki kerusakan, untuk mendorong keluarga untuk terlibat, untuk memberikan korban kesempatan untuk berpartisipasi, dan menghormati hak dan kebebasan orang muda. Undang-undang ini juga mengatur sanksi di luar hukum seperti menempatkan pelanggar muda di program khusus.
Di pengadilan pemuda Kanada, terdakwa memiliki hak untuk nasihat. Terdakwa ditemukan bersalah karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman pemuda jika hakim menemukan bahwa semua alternatif diperbolehkan oleh Pemuda Peradilan Pidana UU tidak sesuai. Hakim harus mempertimbangkan pra-kalimat laporan. Kalimat maksimal remaja di bawah usia delapan belas dapat menerima untuk satu kejahatan adalah dua tahun dan hukuman maksimal untuk kejahatan ganda adalah tiga tahun.Namun, untuk pembunuhan tingkat pertama, juvenil dapat dihukum hingga sepuluh tahun dalam tahanan, dan untuk pembunuhan tingkat kedua, ia dapat dihukum sampai tujuh tahun dalam tahanan.Juga, untuk pelanggaran kekerasan tertentu, pemuda dapat dihukum kalimat dewasa lebih dari dua tahun dalam tahanan jika hakim dalam kasus ini menemukan bahwa hukuman pemuda tidak akan cukup untuk menahan orang muda bertanggung jawab atas nya atau perilakunya.
Pemuda Peradilan Pidana UU mengandung perlindungan bagi privasi orang muda.Bagian 110 dari Undang-undang umumnya melarang publikasi nama-nama orang muda atau informasi menghormati mereka, kecuali mereka telah dihukum karena kejahatan yang sangat serius tertentu atau telah diberi hukuman dewasa.Pengecualian diperbolehkan untuk mengidentifikasi orang muda yang dapat membahayakan orang lain atau untuk tujuan menangkap orang muda.

sumber : http://www.loc.gov/law/help/child-rights/canada.php#f45