Kritis Terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Munculnya
gerakan hukum kritis menjadi ksatria ditengah ketidakberdayaan kaum marjinal terhadap kapitalisme yang tak terbendung di era modern ini, sehingga
diharapkan mampu melumpuhkan dominasi positivisme yang kian perkasa. Perjalanan
positivisme hukum banyak memakan korban, ketidakmampuan aparat penegak hukum
memaknai hukum dengan hati nurani menjadikan keadilan dan kemanfaatan hukum
dikorbankan demi mencapai kepastian hukum. Lembaga peradilan yang seharusnya
independen sudah terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik dan
kekuasaan, masyarakat tidak memiliki kepercayaan lagi terhadap negara, keadaan
kini semakin diperparah oleh lembaga-lembaga negara yang saling berbenturan.
Alternative Dispute
Resolution (ADR) atau
dalam bahasa Indonesia dikenal dengan beberapa macam istilah, seperti
alternatif penyelesaian sengketa (APS), pilihan penyelesaian sengketa (PPS),
mekanisme penyelesaian sengketa (MAPS), pilihan penyelesaian sengketa diluar
pengadilan dan berbagai istilah lainnya, merupakan suatu pilihan ditengah
krisis kepercayaan terhadap lembaga peradilan saat ini.
Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
merupakan undang-undang yang lahir guna penyelesaian sengketa perdata di
samping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan
melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, sebagai
jalan alternatif yang bertujuan efisiensi waktu serta biaya atas proses
peradilan umum yang dirasa memerlukan waktu yang lama sehingga menghabiskan
biaya yang mahal. Peradilan umum diselenggarakan berdasar atas asas sederhana,
murah, dan cepat, upaya arbitrase dan penyelesaian sengketa merupakan
kelengkapan atas sistem peradilan dan sebagai jalan yang ditempuh untuk
memangkas waktu dan biaya terhadap perkara perdata. Lahirnya undang-undang ini diharapkan
menjadi acuan bagi para pihak yang bersengketa, sehingga tidak berorientasi
kepada peradilan umum semata.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 (UU No. 30 Tahun 1999), walau berjudul
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), namun hampir keseluruhan
isinya mengatur mengenai arbitrase, sementara pengaturan mengenai APS lainnya
tidak dijabarkan secara detail. Pengaturan APS hanya dimuat dalam Pasal 1 angka
10 (definisi) dan Pasal 6. Selebihnya Undang-Undang ini mengatur mengenai
Arbitrase. Mekanisme APS lainnya seperti konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli sangat minim dimuat dalam Undang-Undang ini.
Bahkan pengertian dari masing-masing mekanisme APS tersebut tidak didefiniskan
dalam Undang-Undang ini. Dalam Ketentuan Umum, hanya istilah Arbitrase yang
didefinisikan secara tegas (Pasal 1 angka 1). Sedangkan istilah konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli tidak didefinisikan secara
tegas namun hanya dicantumkan sebagai bagian dari APS (Pasal 1 angka 10)
Model Alternatif Penyelesaian Sengketa
Negosiasi, Mediasi, Konsultasi, Konsiliasi, atau Penilaian Ahli
merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang tercantum dalam UU No. 30 Tahun
1999.
a. Negosiasi
Negoisasi adalah komunikasi dua
arah dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat keduabelah pihak memiliki
berbagai kepentingan yang sama atau berbeda.
Keuntungan Negoisasi : Mengetahui
pandanga pihak lawan; Kesempatan mengutarakan isi hati untuk didengar piha
lawan; Memungkinkan sengketa secara bersama-sama; Mengupayakan solusi terbaik
yang dapat diterima oleh keduabelah pihak; Tidak terikat kepada kebenaran fakta
atau masalah hukum; Dapat diadakan dan diakhiri sewaktu waktu. Sedangkan kelemahan Negoisasi : Tidak dapat
berjalan tanpa adanya kesepakatan dari keduabelah pihak; Tidak efektif jika
dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang mengambil kesepakatan; Sulit berjalan
apabila posisi para pihak tidak seimbang; Memungkinkan diadakan untuk menunda
penyelesaian untuk mengetahui informasi yang dirahasiakan lawan; Dapat membuka
kekuatan dan kelemahan salahsatu pihak; Dapat membuat kesepakan yang kurang
menguntungkan.
b. Mediasi
Mediasi berarti menengahi atau
penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator). Dengan demikian sistem
mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah). Dari
pengertian di atas, mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa
sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation
(berperkara di pengadilan). Pada mediasi, para pihak yang bersengketa, datang
bersama secara pribadi. Saling berhadapan antara yang satu dengan yang lain.
Para pihak berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga yang netral. Peran
dan fungsi mediator, membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian
yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi
adalah compromise atau kompromi di antara para pihak. Dalam mencari kompromi,
mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari
kemenangan. Sebab kalau timbul gejala yang seperti itu, para pihak akan
terjebak pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari
kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have may way and you have your way).
Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there
is no the way). Manfaat yang paling mennjol, antara lain: Penyelesaian
cepat terwujud (quick). Biaya Murah (inexpensive), Bersifat Rahasia
(confidential), Bersifat Fair dengan Metode Kompromi, Hubungan kedua belah
pihak kooperatif, Hasil yang dicapai WIN-WIN,
Tidak Emosional.
c. Konsultasi
Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan
yang diberikan dalam UU No. 30 Tahun 1999 mengenai makna maupun arti dari
konsultasi. Jika melihat pada Black's Law Dictionary dapat diketahui bahwa yang
dimaksud dengan konsultasi(consultation) adalah : Act of
consulting or conferring : e.g. patient with doctor, client with lawyer.
Deliberation of persons on some subject. Dari rumusan yang diberikan
dalam Black's Law Dictionary tersebut dapat diketahui, bahwa
pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal
antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang
merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut
untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut.
Didalam konsultasi, klien adalah bebas
untuk menentukan sendiri keputusan yang akan ia ambil untuk kepentingannya
sendiri, walau demikian tidak menutup kemungkinan klien akan dapat
mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan tersebut. Ini
berarti dalam konsultasi, sebagai suatu bentuk pranata alternative penyelesaian
sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa
yang ada tidak dominan sama sekali, konsultan hanyalah memberikan pendapat
(hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan
mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak,
meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan
bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang
bersengketa tersebut.
d. Konsoliasi
UU No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan
suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi.
Bahhkan tidak dapat ditemui satu ketentuan pun dalam UU No. 30 Tahun 1999
ini mengatur mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga
alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 angka
10 dan Alenia ke-9 Penjelasan Umum Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tersebut.
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan
mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan
sengketa secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit dibedakan. Namun menurut
Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini, yaitu konsiliasi lebih formal
daripada mediasi. Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu atau
suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi. Persidangan suatu
komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap, yaitu tahap tertulis dan
tahap lisan. Dalam tahap pertama, (sengketa yang diuraikan secara tertulis)
diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan
keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap
pendengaran, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Kelebihan dari alternatif
penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini hampir sama dengan mediasi yakni:
cepat, murah, dan dapat diperoleh hasil yang efektif. Sedangkan yang menjadi kelemahan alternatif penyelesaian
sengketa melalui konsiliasi ini adalah bahwa putusan dari lembaga konsiliasi
ini tidak mengikat, sehingga sangat tergantung sepenuhnya pada para pihak yang
bersengketa.
Kelemahan Undang-undang
Dalam
Penjelasan Umum UU No. 30 Tahun 1999, tersirat pertimbangan filosofis
pembentukan Undang-Undang ini, yaitu dalam rangka mengakomodir perkembangan
dunia usaha dan lalu lintas di bidang perdagangan baik nasional maupun
internasional serta perkembangan hukum pada umumnya. Bila ini yang menjadi
dasar filosofis pembentukan UU No. 30 Tahun 1999 maka sebenarnya Undang-Undang
ini belum sepenuhnya mengakomodir landasan filosofis dari diadakannya
alternatif penyelesaian sengketa itu sendiri.
Undang-undang
No. 30 Tahun 1999 memakai nama “Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa”, Namun substansinya lebih banyak mengatur tentang lembaga arbitrase,
sedangkan untuk alternative penyelesaian sengketa yang lain (konsultasi,
negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli) tidak
diatur secara jelas dalam Undang-undang ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa
Nama Undang-undang ini (Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa) tidak
mencerminkan isi dari Undang-undang ini. Sehingga kedepannya pembentuk
Undang-undang lebih memperhatikan dalam merumuskan nama yang tepat sesuai
dengan substansi yang diatur dalam pembaharuan Undang-Undang ini dimasa yang
akan datang.
Penafsiran sistematis pasal
1 angka 1 dikaitkan dengan Pasal 1 angka 10 UU No. 30 Tahun 1999 menunjukan
bahwa Arbitrase dan APS adalah dua hal yang berbeda yang masing-masing berdiri
sendiri. Dalam UU No. 30 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa “Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.” Sedangkan dalam Pasal 1 angka 10 dinyatakan bahwa
“Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian
di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.” Dengan demikian, Arbitrase merupakan suatu proses tersendiri
yang secara tegas dibedakan dari APS yang hanya mencakup konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Campur tangan berlebih
dari Pengadilan juga menyebabkan arbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak
atau pengusaha yang bonafide
(bonafid) atau jujur dan dapat dipercaya. Para pihak yang bonafid adalah mereka
yang memiliki kredibilitas dan integritas, artinya patuh terhadap kesepakatan,
pihak yang dikalahkan harus secara suka rela melaksanakan putusan arbitrase.
Sebaliknya, jika ia selalu mencari-cari peluang untuk menolak melaksanakan
putusan arbitrase, perkara melalui arbitrase justru akan memakan lebih banyak
biaya, bahkan lebih lama daripada proses di pengadilan. Misalnya, pengusaha
yang dikalahkan tidak setuju dengan suatu putusan arbitrase, maka ia dapat
melakukan berbagai cara untuk mendapatkan stay of execution (penundaan
pelaksanaan putusan) dengan membawa perkaranya ke pengadilan.
Dengan adanya campur
tangan pengadilan pada dasarnya kompetensi absulot penyelesaian sengketa arbitrase
menjadi rancu. Hal ini tentunya menghilangkan esensi arbitrase sebagai
mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih cepat, murah, dan proses yang
sederhana dibanding proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi).
Dengan demikian, ketentuan di atas merupakan ketentuan yang inkonsisten dan counter
productive (kontra produktif) terhadap
tujuan UU No. 30 Tahun 1999. Ketentuan yang bersifat counter productive seyogyanya
tidak tercantum dalam UU No. 30 Tahun 1990. Prinsip yang harus ditekankan di
sini adalah prinsip limited court involvement (Keterlibatan pengadilan yang terbatas). Pengadilan
seyogyanya tidak ikut campur dalam penyelesaian sengketa arbitrase sehingga
kompetensi absolut yang diberikan kepada lembaga arbitrase tidak dirancukan dengan
campur tangan pengadilan tersebut.
Rekomendasi
Maka dari ini UU No. 30 Tahun 1999 perlu segera direvisi, beberapa alasan perlunya revisi UU No. 30 Tahun 1999 adalah ditinjau
dari segi komposisi pasal dan jumlah ketentuannya, UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
nampak tidak adil. Sebab, lembaga arbitrase dalam undang-undang ini dibahas secara lengkap dalam ketentuan yang jumlahnya 80 pasal.
Sedangkan ketentuan mengenai alternatif penyelesaian sengketa hanya disebutkan
hanya dalam 2 pasal saja. Yakni dalam Pasal 1 butir (10), dan Pasal 6 yang
terdiri dari 9 ayat.
Menurut saya, undang-undang ini perlu
direvisi dengan beberapa alternatif. Pertama,
menghilangkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 butir (10) dan Pasal 6.
Sehingga nama UU ini menjadi UU Arbitrase. Sedangkan pengaturan alternatif
penyelesaian sengketa (ADR) dibuatkan UU sendiri yang isinya lengkap dan
tuntas. Kedua, jika UU No. 30 Tahun 1999 direvisi dengan
tetap diberi nama UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, namun
isinya harus ada keseimbangan jumlah ketentuan pasal ADR secara secara
proporsional. Pertimbangan lainnya adalah ADR dalam sejarahnya sangat
berkaitan erat dengan soal-soal sengketa perdata. Bidang bisnis dan perdagangan
termasuk dalam bidang yang sangat membutuhkan penyelesaian sengekata di luar
pengadilan. Karena bagi kalangan bisnis, lebih menyukai pilihan penyelesaian
sengketa yang tidak bertele-tele seperti di pengadilan. Hal itu logis, karena dalam ADR dikenal metode negosiasi. Menurut penulis,
dalam proses negosiasi itu pasti terdapat keinginan dari para pihak untuk
menyelesaikan perkara secara win win solution (saling
menguntungkan).
Seiring dengan reformasi di bidang hukum yang disesuaikan dengan
perkembangan binsis dan perdagangan, saat ini sudah ada perubahan-perubahan
terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait. Pertama, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Merupakan produk peraturan
perundang-undangan pasca reformasi, dan sebagai pengganti dari undang-undang yang lama yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Kedua, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Merupakan produk peraturan
perundang-undangan pasca reformasi, dan sebagai pengganti dari undang-undang yang lama yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Ketiga, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Merupakan produk peraturan
perundang-undangan pasca reformasi, dan sebagai pengganti dari undang-undang yang lama yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Sejalan dengan pemikiran itu, maka lahirnya peraturan terbaru mengenai Undang-Undang Penanaman Modal dan Undang-Undang Perseroan Terbatas itu sudah seharusnya menjadi pertimbangan untuk
merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.